Kisah Cinta Nabi Muhammad dan Khadijah – berikut ini adalah cerita cinta
khadijah r.a. dan Rasulullah SAW. Dia adalah Khadijah r.a, seorang wanita
janda, bangsawan, hartawan, cantik dan budiman. Ia disegani oleh masyarakat
Quraisy khususnya, dan bangsa Arab pada umumnya. Sebagai seorang pengusaha, ia
banyak memberikan bantuan dan modal kepada pedagang-pedagang atau melantik
orang-orang untuk mewakili urusan-urusan perniagaannya ke luar negeri.
Banyak pemuda Quraisy yang ingin
menikahinya dan sanggup membayar mas kawin berapa pun yang dikehendakinya,
namun selalu ditolaknya dengan halus kerana tak ada yang berkenan di hatinya.
Bermimpi melihat matahari turun
kerumahnya.
Pada suatu malam ia bermimpi melihat
matahari turun dari langit, masuk ke dalam rumahnya serta memancarkan sinarnya
merata kesemua tempat sehingga tiada sebuah rumah di kota Makkah yang luput
dari sinarnya.
Mimpi itu diceritakan kepada sepupunya
yang bernama Waraqah bin Naufal. Dia seorang lelaki yang berumur lanjut, ahli
dalam mentakbirkan mimpi dan ahli tentang sejarah bangsa-bangsa purba. Waraqah
juga mempunyai pengetahuan luas dalam agama yang dibawa oleh Nabi-Nabi
terdahulu.
Waraqah berkata: “Takwil dari mimpimu itu
ialah bahwa engkau akan menikah kelak dengan seorang Nabi akhir zaman.” “Nabi
itu berasal dari negeri mana?” tanya Khadijah bersungguh-sungguh. “Dari kota
Makkah ini!” ujar Waraqah singkat. “Dari suku mana?” “Dari suku Quraisy juga.”
Khadijah bertanya lebih jauh: “Dari keluarga mana?” “Dari keluarga Bani Hasyim,
keluarga terhormat,” kata Waraqah dengan nada menghibur. Khadijah terdiam
sejenak, kemudian tanpa sabar meneruskan pertanyaan terakhir: “Siapakah nama
bakal orang agung itu, hai sepupuku?” Orang tua itu mempertegas: “Namanya Muhammad SAW. Dialah bakal suamimu!”
Khadijah pulang ke rumahnya dengan
perasaan yang luar biasa gembiranya. Belum pernah ia merasakan kegembiraan
sedemikian hebat. Maka sejak itulah Khadijah senantiasa bersikap menunggu dari
manakah gerangan kelak munculnya sang pemimpin itu.
Lamaran dari khadijah kepada Rasulullah
s.a.w
Muhammad Al-Amiin muncul di rumah
Khadijah. Wanita usahawan itu berkata
Khadijah: “Hai Al-Amiin, katakanlah apa
keperluanmu!” (Suaranya ramah, bernada dermawan. Dengan sikap merendahkan diri
tapi tahu harga dirinya)
Muhammad SAW berbicara lurus, terus
terang, meskipun agak malu-malu tetapi pasti.
Muhammad SAW: “Kami sekeluarga memerlukan
nafkah dari bagianku dalam rombongan niaga. Keluarga kami amat memerlukannya
untuk mencarikan jodoh bagi anak saudaranya yang yatim piatu”
(Kepalanya tertunduk, dan wanita hartawan
itu memandangnya dengan penuh ketakjuban)
Khadijah: “Oh, itukah….! Muhammad, upah
itu sedikit, tidak menghasilkan apa-apa bagimu untuk menutupi keperluan yang
engkau maksudkan,”. “Tetapi biarlah, nanti saya sendiri yang mencarikan calon
isteri bagimu”.(Ia berhenti sejenak, meneliti).
Kemudian meneruskan dengan tekanan suara
memikat dan mengandung isyarat
Khadijah: “Aku hendak mengawinkanmu
dengan seorang wanita bangsawan Arab. Orangnya baik, kaya, diinginkan oleh
banyak raja-raja dan pembesar-pembesar Arab dan asing, tetapi ditolaknya.
Kepadanyalah aku hendak membawamu”.
khadijah (Khadijah tertunduk lalu
melanjutkan): “Tetapi sayang, ada aibnya…! Dia dahulu sudah pernah bersuami.
Kalau engkau mau, maka dia akan menjadi pengkhidmat dan pengabdi kepadamu”.
Pemuda Al-Amiin tidak menjawab. Mereka
sama-sama terdiam, sama-sama terpaku dalam pemikirannya masing-masing. Yang
satu memerlukan jawapan, yang lainnya tak tahu apa yang mau dijawab. Khadijah
r.a tak dapat mengetahui apa yang terpendam di hati pemuda Bani Hasyim itu,
pemuda yang terkenal dengan gelaran Al-Amiin (jujur). Pemuda Al-Amiin itupun
mungkin belum mengetahui siapa kira-kira calon yang dimaksud oleh Khadijah r.a.
Rasulullah SAW minta izin untuk pulang
tanpa sesuatu keputusan yang ditinggalkan. Ia menceritakan kepada Pamannya.
Rasulullah SAW: “Aku merasa amat
tersinggung oleh kata-kata Khadijah r.a. Seolah-olah dia memandang enteng
dengan ucapannya ini dan itu “anu dan anu….” Ia mengulangi apa yang dikatakan
oleh perempuan kaya itu.
‘Atiqah juga marah mendengar berita itu.
Dia seorang perempuan yang cepat naik darah kalau pihak yang dinilainya
menyinggung kehormatan Bani Hasyim. Katanya: “Muhammad, kalau benar demikian,
aku akan mendatanginya”.
‘Atiqah tiba di rumah Khadijah r.a dan
terus menegurnya: “Khadijah, kalau kamu mempunyai harta kekayaan dan
kebangsawan, maka kamipun memiliki kemuliaan dan kebangsawanan. Kenapa kamu
menghina puteraku, anak saudaraku Muhammad?”
Khadijah r.a terkejut mendengarnya. Tak
disangkanya bahwa kata-katanya itu akan dianggap penghinaan. Ia berdiri
menyabarkan dan mendamaikan hati ‘Atiqah:
Khadijah : “Siapakah yang sanggup
menghina keturunanmu dan sukumu? Terus terang saja kukatakan kepadamu bahwa
dirikulah yang kumaksudkan kepada Muhammad SAW. Kalau ia mau, aku bersedia
menikah dengannya; kalau tidak,aku pun berjanji tak akan bersuami hingga mati”.
Pernyataan jujur ikhlas dari Khadijah r.a
membuat ‘Atiqah terdiam. Kedua wanita bangsawan itu sama-sama cerah. Percakapan
menjadi serius. “Tapi Khadijah, apakah suara hatimu sudah diketahui oleh
sepupumu Waraqah bin Naufal?” tanya ‘Atiqah sambil meneruskan: “Kalau belum
cobalah meminta persetujuannya.” “Ia belum tahu, tapi katakanlah kepada
saudaramu, Abu Thalib, supaya mengadakan perjamuan sederhana. Jamuan minum,
dimana sepupuku diundang, dan disitulah diadakan majlis lamaran”, Khadijah r.a
berkata seolah-olah hendak mengatur siasat. Ia yakin Waraqah takkan keberatan
karena dialah yang menafsirkan mimpinya akan bersuamikan seorang Nabi akhir
zaman.
‘Atiqah pulang dengan perasaan tenang,
puas. Pucuk dicinta ulam tiba. Ia segera menyampaikan berita gembira itu kepada
saudara-saudaranya: Abu Thalib, Abu Lahab, Abbas dan Hamzah. Semua riang
menyambut hasil pertemuan ‘Atiqah dengan Khadijah “Itu bagus sekali”, kata Abu
Thalib, “tapi kita harus bermusyawarah dengan Muhammad SAW lebih dulu.”
Khadijah yang cantik
Sebelum diajak bermusyawarah, maka
terlebih dahulu ia pun telah menerima seorang perempuan bernama Nafisah, utusan
Khadijah r.a yang datang untuk menjalin hubungan kekeluargaan. Utusan peribadi
Khadijah itu bertanya:
Nafisah : “Muhammad, kenapa engkau masih
belum berfikir mencari isteri?”
Muhammad SAW menjawab: “Hasrat ada,
tetapi kesanggupan belum ada.”
Nafisah “Bagaimana kalau seandainya ada
yang hendak menyediakan nafkah? Lalu engkau mendapat seorang isteri yang baik,
cantik, berharta, berbangsa dan sekufu pula denganmu, apakah engkau akan
menolaknya?”
Rasulullah SAW: “Siapakah dia?” tanya
Muhammad SAW.
Nafisah : “Khadijah!” Nafisah berterus
terang. “Asalkan engkau bersedia, sempurnalah segalanya. Urusannya serahkan
kepadaku!”
Usaha Nafisah berhasil. Ia meninggalkan
putera utama Bani Hasyim dan langsung menemui Khadijah r.a, menceritakan
kesediaan Muhammad SAW. Setelah Muhammad SAW menerima pemberitahuan dari
saudara-saudaranya tentang hasil pertemuan dengan Khadijah r.a, maka baginda
tidak keberatan mendapatkan seorang janda yang usianya lima belas tahun lebih
tua daripadanya.
Betapa tidak setuju, apakah yang kurang
pada Khadijah? Ia wanita bangsawan, cantik, hartawan, budiman. Dan yang utama
karena hatinya telah dibukakan Tuhan untuk mencintainya, telah ditakdirkan akan
dijodohkan dengannya. Kalau dikatakan janda, biarlah! Ia memang janda umur
empat puluh, tapi janda yang masih segar, bertubuh ramping, berkulit putih dan
bermata jeli. Maka diadakanlah majlis yang penuh keindahan itu.
Hadir Waraqah bin Naufal dan beberapa
orang-orang terkemuka Arab yang sengaja dijemput. Abu Thalib dengan resmi
meminang Khadijah r.a kepada saudara sepupunya. Orang tua bijaksana itu setuju.
Tetapi dia meminta tempoh untuk berunding dengan wanita yang berkenaan.
Pernikahan Muhammad dengan Khadijah
Khadijah r.a diminta pendapat. Dengan
jujur ia berkata kepada Waraqah: “Hai anak sepupuku, betapa aku akan menolak
Muhammad SAW padahal ia sangat amanah, memiliki keperibadian yang luhur,
kemuliaan dan keturunan bangsawan, lagi pula pertalian kekeluargaannya luas”.
“Benar katamu, Khadijah, hanya saja ia tak berharta”, ujar Waraqah. “Kalau ia
tak berharta, maka aku cukup berharta. Aku tak memerlukan harta lelaki.
Kuwakilkan kepadamu untuk menikahkan aku dengannya,” demikian Khadijah r.a
menyerahkan urusannya.
Waraqah bin Naufal kembali mendatangi Abu
Thalib memberitakan bahwa dari pihak keluarga perempuan sudah bulat mufakat dan
merestui bakal pernikahan kedua mempelai. Lamaran diterima dengan persetujuan
mas kawin lima ratus dirham. Abu Bakar r.a, yang kelak mendapat sebutan
“Ash-Shiddiq”, sahabat akrab Muhammad SAW. sejak dari masa kecil, memberikan
sumbangan pakaian indah buatan Mesir, yang melambangkan kebangsawaan Quraisy,
sebagaimana layaknya dipakai dalam upacara adat istiadat pernikahan agung,
apalagi karena yang akan dinikahi adalah seorang hartawan dan bangsawan pula.
Peristiwa pernikahan Muhammad SAW dengan
Khadijah r.a berlangsung pada hari Jum’at, dua bulan sesudah kembali dari
perjalanan niaga ke negeri Syam. Bertindak sebagai wali Khadijah r.a ialah
pamannya bernama ‘Amir bin Asad.
Waraqah bin Naufal membacakan khutbah
pernikahan dengan fasih, disambut oleh Abu Thalib sebagai berikut: “Alhamdu
Lillaah, segala puji bagi Allah Yang menciptakan kita keturunan (Nabi) Ibrahim, benih (Nabi) Ismail, anak cucu Ma’ad, dari keturunan Mudhar.
“Begitupun kita memuji Allah SWT Yang menjadikan kita penjaga rumah-Nya,
pengawal Tanah Haram-Nya yang aman sejahtera, dan menjadikan kita hakim
terhadap sesama manusia.
“Sesungguhnya anak saudaraku ini,
Muhammad bin Abdullah, kalau akan ditimbang dengan laki-laki manapun juga,
niscaya ia lebih berat dari mereka sekalian. Walaupun ia tidak berharta, namun
harta benda itu adalah bayang-bayang yang akan hilang dan sesuatu yang akan
cepat perginya. Akan tetapi Muhammad SAW, tuan-tuan sudah mengenalinya siapa
dia. Dia telah melamar Khadijah binti Khuwailid. Dia akan memberikan mas kawin
lima ratus dirham yang akan segera dibayarnya dengan tunai dari hartaku sendiri
dan saudara-saudaraku.
“Demi Allah SWT, sesungguhnya aku
mempunyai firasat tentang dirinya bahwa sesudah ini, yakni di saat-saat
mendatang, ia akan memperolehi berita gembira (albasyaarah) serta
pengalaman-pengalaman hebat. “Semoga Allah memberkati pernikahan ini”.
Penyambutan untuk memeriahkan majlis pernikahan itu sangat meriah di rumah
mempelai perempuan. Puluhan anak-anak lelaki dan perempuan berdiri berbaris di
pintu sebelah kanan di sepanjang lorong yang dilalui oleh mempelai lelaki,
mengucapkan salam marhaban kepada mempelai dan menghamburkan harum-haruman
kepada para tamu dan pengiring.
Selesai upacara dan tamu-tamu bubar,
Khadijah r.a membuka isi hati kepada suaminya dengan ucapan: “Hai Al-Amiin,
bergembiralah! Semua harta kekayaan ini baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak, yang terdiri dari bangunan-bangunan, rumah-rumah, barang-barang
dagangan, hamba-hamba sahaya adalah menjadi milikmu. Engkau bebas
membelanjakannya ke jalan mana yang engkau redhai !”
Itulah sebagaimana Firman Allah SWT yang
bermaksud: “Dan Dia (Allah) mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu
Dia memberikan kekayaan”. (Adh-Dhuhaa:
Alangkah bahagianya kedua pasangan mulia
itu, hidup sebagai suami isteri yang sekufu, sehaluan, serasi dan secita-cita.
Dijamin Masuk Syurga
Khadijah r.a mendampingi Muhammad SAW.
selama dua puluh enam tahun, yakni enam belas tahun sebelum dilantik menjadi
Nabi, dan sepuluh tahun sesudah masa kenabian. Ia isteri tunggal, tak ada
duanya, bercerai karena kematian. Tahun wafatnya disebut “Tahun Kesedihan”
(‘Aamul Huzni).
Khadijah r.a adalah orang pertama sekali
beriman kepada Rasulullah SAW. ketika wahyu pertama turun dari langit. Tidak
ada yang mendahuluinya. Ketika Rasulullah SAW menceritakan pengalamannya pada
peristiwa turunnya wahyu pertama yang disampaikan Jibril ‘alaihissalam, dimana
beliau merasa ketakutan dan menggigil menyaksikan bentuk Jibril a.s dalam rupa
aslinya, maka Khadijahlah yang pertama dapat mengerti makna peristiwa itu dan
menghiburnya, sambil berkata:
“Bergembiralah dan tenteramkanlah hatimu.
Demi Allah SWT yang menguasai diri Khadijah r.a, engkau ini benar-benar akan
menjadi Nabi Pesuruh Allah bagi umat kita. “Allah SWT tidak akan
mengecewakanmu. Bukankah engkau orang yang senantiasa berusaha untuk
menghubungkan tali persaudaraan? Bukankah engkau selalu berkata benar? Bukankah
engkau senantiasa menyantuni anak yatim piatu, menghormati tamu dan mengulurkan
bantuan kepada setiap orang yang ditimpa kemalangan dan musibah?”
Khadijah r.a membela suaminya dengan
harta dan dirinya di dalam menegakkan kalimah tauhid, serta selalu menghiburnya
dalam duka derita yang dialaminya dari gangguan kaumnya yang masih ingkar
terhadap kebenaran agama Islam, menangkis segala serangan caci maki yang
dilancarkan oleh bangsawan-bangsawan dan hartawan Quraisy. Layaklah kalau
Khadijah r.a mendapat keistimewaan khusus yang tidak dimiliki oleh
wanita-wanita lain yaitu, menerima ucapan salam dari Allah SWT. yang
disampaikan oleh malaikat Jibril a.s kepada Rasulullah SAW. disertai salam dari
Jibril a.s peribadi untuk disampaikan kepada Khadijah radiallahu ‘anha serta
dihiburnya dengan syurga.
Kesetiaan Khadijah r.a diimbangi oleh
kecintaan Nabi SAW kepadanya tanpa terbatas. Nabi SAW pernah berkata: “Wanita
yang utama dan yang pertama akan masuk Syurga ialah Khadijah binti Khuwailid,
Fatimah binti Muhammad SAW., Maryam binti ‘Imran dan Asyiah binti Muzaahim,
isteri Fir’aun”.
Wanita Terbaik
Sanjungan lain yang banyak kali diucapkan
Rasulullah SAW. terhadap peribadi Khadijah r.a ialah: “Dia adalah seorang
wanita yang terbaik, karena dia telah percaya dan beriman kepadaku di saat
orang lain masih dalam kebimbangan, dia telah membenarkan aku di saat orang
lain mendustakanku; dia telah mengorbankan semua harta bendanya ketika orang
lain mencegah kemurahannya terhadapku; dan dia telah melahirkan bagiku beberapa
putera-puteri yang tidak ku dapatkan dari isteri-isteri yang lain”.
Putera-puteri Rasulullah SAW. dari
Khadijah r.a sebanyak tujuh orang: tiga lelaki (kesemuanya meninggal di waktu
kecil) dan empat wanita. Salah satu dari puterinya bernama Fatimah, dinikahkan
dengan Ali bin Abu Thalib, sama-sama sesuku Bani Hasyim. Keturunan
dari kedua pasangan inilah yang dianggap sebagai keturunan langsung dari
Rasulullah SAW.
Perjuangan Khadijah
Tatkala Nabi SAW mengalami rintangan dan
gangguan dari kaum lelaki Quraisy, maka di sampingnya berdiri dua orang wanita.
Kedua wanita itu berdiri di belakang da’wah Islamiah, mendukung dan bekerja
keras mengabdi kepada pemimpinnya, Muhammad SAW : Khadijah bin Khuwailid dan
Fatimah binti Asad. Oleh karena itu Khadijah berhak menjadi wanita terbaik di
dunia. Bagaimana tidak menjadi seperti itu, dia adalah Ummul Mu’minin,
sebaik-baik isteri dan teladan yang baik bagi mereka yang mengikuti teladannya.
Khadijah menyiapkan sebuah rumah yang
nyaman bagi Nabi SAW sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan membantunya
ketika merenung di Gua Hira’. Khadijah adalah wanita pertama yang beriman
kepadanya ketika Nabi SAW berdoa (memohon) kepada Tuhannya. Khadijah adalah
sebaik-baik wanita yang menolongnya dengan jiwa, harta dan keluarga. Peri hidupnya
harum, kehidupannya penuh dengan kebajikan dan jiwanya sarat dengan kebaikan.
Rasulullah SAW bersabda :”Khadijah
beriman kepadaku ketika orang-orang ingkar, dia membenarkan aku ketika
orang-orang mendustakan dan dia menolongku dengan hartanya ketika orang-orang
tidak memberiku apa-apa.”
Kenapa kita bersusah payah mencari
teladan di sana-sini, padahal di hadapan kita ada “wanita terbaik di dunia,”
Khadijah binti Khuwailid, Ummul Mu’minin yang setia dan taat, yang bergaul
secara baik dengan suami dan membantunya di waktu berkhalwat sebelum diangkat
menjadi Nabi dan meneguhkan serta membenarkannya.
Khadijah mendahului semua orang dalam
beriman kepada risalahnya, dan membantu beliau serta kaum Muslimin dengan jiwa,
harta dan keluarga. Maka Allah SWT membalas jasanya terhadap agama dan Nabi-Nya
dengan sebaik-baik balasan dan memberinya kesenangan dan kenikmatan di dalam
istananya, sebagaimana yang diceritakan Nabi SAW, kepadanya pada masa hidupnya.
Ketika Jibril A.S. datang kepada Nabi
SAW, dia berkata :”Wahai, Rasulullah, inilah Khadijah telah datang membawa
sebuah wadah berisi kuah dan makanan atau minuman. Apabila dia datang kepadamu,
sampaikan salam kepadanya dari Tuhannya dan aku, dan beritahukan kepadanya
tentang sebuah rumah di syurga dari mutiara yang tiada keributan di dalamnya
dan tidak ada kepayahan.” [HR. Bukhari dalam "Fadhaail Ashhaabin Nabi SAW.
Imam Adz-Dzahabi berkata:"Keshahihannya telah disepakati."]
Bukankah istana ini lebih baik daripada
istana-istana di dunia, hai, orang-orang yang terpedaya oleh dunia ? Sayidah
Khadijah r.a. adalah wanita pertama yang bergabung dengan rombongan orang
Mu’min yang orang pertama yang beriman kepada Allah di bumi sesudah Nabi SAW.
Khadijah r.a. membawa panji bersama Rasulullah SAW sejak saat pertama, berjihad
dan bekerja keras. Dia habiskan kekayaannya dan memusuhi kaumnya. Dia berdiri
di belakang suami dan Nabinya hingga nafas terakhir, dan patut menjadi teladan
tertinggi bagi para wanita.
Betapa tidak, karena Khadijah r.a. adalah
pendukung Nabi SAW sejak awal kenabian. Ar-Ruuhul Amiin telah turun kepadanya
pertama kali di sebuah gua di dalam gunung, lalu menyuruhnya membaca ayat-ayat
Kitab yang mulia, sesuai yang dikehendaki Allah SWT. Kemudian dia menampakkan
diri di jalannya, antara langit dan bumi. Dia tidak menoleh ke kanan maupun ke
kiri sehingga Nabi SAW melihatnya, lalu dia berhenti, tidak maju dan tidak
mundur. Semua itu terjadi ketika Nabi SAW berada di antara jalan-jalan gunung
dalam keadaan kesepian, tiada penghibur, teman, pembantu maupun penolong.
Nabi SAW tetap dalam sikap yang demikian
itu hingga malaikat meninggalkannya. Kemudian, beliau pergi kepada Khadijah
dalam keadaan takut akibat yang didengar dan dilihatnya. Ketika melihatnya,
Khadijah berkata :”Dari mana engkau, wahai, Abal Qasim ? Demi Allah, aku telah
mengirim beberapa utusan untuk mencarimu hingga mereka tiba di Mekkah, kemudian
kembali kepadaku.” Maka Rasulullah SAW menceritakan kisahnya kepada Khadijah
r.a.
Khadijah r.a. berkata :”Gembiralah dan
teguhlah, wahai, putera pamanku. Demi Allah yang menguasai nyawaku, sungguh aku
berharap engkau menjadi Nabi umat ini.” Nabi SAW tidak mendapatkan darinya,
kecuali peneguhan bagi hatinya, penggembiraan bagi dirinya dan dukungan bagi
urusannya. Nabi SAW tidak pernah mendapatkan darinya sesuatu yang menyedihkan,
baik berupa penolakan, pendustaan, ejekan terhadapnya atau penghindaran
darinya. Akan tetapi Khadijah melapangkan dadanya, melenyapkan kesedihan,
mendinginkan hati dan meringankan urusannya. Demikian hendaknya wanita ideal.
Itulah dia, Khadijah r.a., yang Allah SWT
telah mengirim salam kepadanya. Maka turunlah Jibril A.S. menyampaikan salam
itu kepada Rasul SAW seraya berkata kepadanya :”Sampaikan kepada Khadijah salam
dari Tuhannya. Kemudian Rasulullah SAW bersabda :”Wahai Khadijah, ini Jibril
menyampaikan salam kepadamu dari Tuhanmu.” Maka Khadijah r.a. menjawab :”Allah
yang menurunkan salam (kesejahteraan), dari-Nya berasal salam (kesejahteraan),
dan kepada Jibril semoga diberikan salam (kesejahteraan).”
Sesungguhnya ia adalah kedudukan yang
tidak diperoleh seorang pun di antara para shahabat yang terdahulu dan pertama
masuk Islam serta khulafaur rasyidin. Hal itu disebabkan sikap Khadijah r.a.
pada saat pertama lebih agung dan lebih besar daripada semua sikap yang
mendukung da’wah itu sesudahnya. Sesungguhnya Khadijah r.a. merupakan nikmat
Allah yang besar bagi Rasulullah SAW. Khadijah mendampingi Nabi SAW selama
seperempat abad, berbuat baik kepadanya di saat beliau gelisah, menolongnya di
waktu-waktu yang sulit, membantunya dalam menyampaikan risalahnya, ikut serta
merasakan penderitaan yang pahit pada saat jihad dan menolong- nya dengan jiwa
dan hartanya.
Rasulullah SAW bersabda :”Khadijah
beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkari. Dia membenarkan aku ketika
orang-orang mendustakan. Dan dia memberikan hartanya kepadaku ketika
orang-orang tidak memberiku apa-apa. Allah mengaruniai aku anak darinya dan
mengharamkan bagiku anak dari selain dia.” [HR. Imam Ahmad dalam
"Musnad"-nya, 6/118]
Diriwayatkan dalam hadits shahih, dari
Abu Hurairah r.a., dia berkata :”Jibril datang kepada Nabi SAW, lalu berkata
:”Wahai, Rasulullah, ini Khadijah telah datang membawa sebuah wadah berisi
kuah, makanan atau minuman. Apabila dia datang kepadamu, sampaikan kepadanya
salam dari Tuhan-nya dan beritahukan kepadanya tentang sebuah rumah di syurga,
(terbuat) dari mutiara yang tiada suara ribut di dalamnya dan tiada kepayahan.”
[Shahih Bukhari, Bab Perkawinan Nabi SAW dengan Khadijah dan Keutamaannya,
1/539]
rujukan:Tokoh-tokoh Wanita di Sekitar Rasulullah
SAW karangan Muhammad Ibrahim Saliim.
Baca Selengkapnya (http://al-syahbana.blogspot.com) - TAMPILKAN SELALU LINK SUMBER : http://al-syahbana.blogspot.com/2013/04/kisah-cinta-nabi-muhammad-dan-khadijah_3460.html#ixzz37y4UtIl4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar