Sabtu, 28 Maret 2015

Tasbih nya di puter

Dalil penggunaan alat tasbih

ﻋﻦ ﺳﻌﺪ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻭﻗﺎﺹ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺃﻧﻪ ﺩﺧﻞ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻭﺑﻴﻦ ﻳﺪﻳﻬﺎ ﻧﻮﻯ ﺃﻭ ﺣﺼﻰ ﺗﺴﺒﺤﺒﻪ ﻓﻘﺎﻝ :ﺃﺧﺒﺮﻙ ﺑﻤﺎ ﻫﻮ ﺃﻳﺴﺮ ﻋﻠﻴﻚ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺃﻭ ﺃﻓﻀﻞ؟ ﻓﻘﺎﻝ : ﺳﺒﺤﺎﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺪﺩ ﻣﺎ ﺧﻠﻖ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻭﺳﺒﺤﺎﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺎ ﻋﺪﺩ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ ﻭﺳﺒﺤﺎﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺪﺩ ﻣﺎ ﺑﻴﻦ ﺫﻟﻚ ﻭﺳﺒﺤﺎﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺪﺩ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺧﺎﻟﻖ ﻭﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﻣﺜﻞ ﺫﻟﻚ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻛﺒﺮ ﻣﺜﻞ ﺫﻟﻚ ﻭﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺜﻞ ﺫﻟﻚ ﻭﻻ ﺣﻮﻝ ﻭﻻ ﻗﻮﺓ ﺇﻻ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻣﺜﻞ ﺫﻟﻚ

(رواه أبو دوود و الترمذى و الحاكم)


Daripada Saad bin Abi Waqqas RA 
Sesungguhnya Rasulullah SAW menemui seorang wanita yang sedang bertasbih dengan biji tamar atau batu.
Nabi SAW bersabda: Aku hendak memberitahu perkara yang lebih mudah dari apa yang engkau lakukan atau yang lebih baik. Iaitu ucapan zikir “maha suci Allah sebanyak bilangan makhluk di langit, maha suci Allah sebanyak bilangan makhluk di bumi, maha suci Allah sebanyak bilangan mahkluk yang berada di antara langit dan bumi, maha suci Allah sebanyak bilangan mahkluk yang Allah ciptakan, segala puji bagi Allah sebanyak itu juga, Allah maha besar sebanyak itu juga, Allah maha besar sebanyak itu juga, tiada tuhan melainkan Allah sebanyak itu juga dan tiada daya dan kekuatan melainkan dengan Allah sebanyak itu juga.
(Hadis riwayat Abu Daud, Tirmizi dan al-Hakim.)

Sahabat yang menggunakan alat bantu zikir. Qasim bin Abdur Rahman berkata: “Abu Darda memiliki biji kurma yang diletakkan dalam beg plastic. Apabila telah selesai solat subuh beliau akan mengeluarkannya satu persatu sambil bertasbih sehinggalah habis biji kurma tersebut dikeluarkan.”

Naim bin Muharrar bin Abu Hurairah cucu Abu hurairah telah berkata:“Sesungguhnya Abu Hurairah
memiliki 2000 lembar benang . Beliau tidak akan tidurmelainkan setelah bertasbih sebanyak lembaran benang tersebut.”Pandangan UlamaImam Syaukani menyatakan:“Dua hadis yang lain menunjukkan kepada
pengharusan bertasbih dengan batu dan biji kurma.

Demikian juga harus dengan tasbih kerana tiada perbezaan diantara keduanya.
Ini berdasarkan mendiamkan apa yang dilakukan oleh dua wanita tersebut dalam dua hadis. Tiada bangkangan Nabi SAW terhadap perbuatan wanita yang bertasbih menunjukkan pengharusan dan baginda menunjukkan zikir yang lebih baik tidak menafikan pengharusan.”Imam Ibnul Jauzi berkata:“Sesungguhnya berzikir dengan tasbih adalah sunat berdasarkan hadis Sofiyah yang bertasbih dengan biji kurma atau batu.
Dalam kitab Dururul Mukhtar (mazhab Hanafi) ada menyebutkan: “Tidak mengapa mengunakan tasbih
sekiranya tidak riya"

Kalau ndak punya tasbih ya pake jari


Dahulu mereka bertasbih dan menghitungnya dengan jari jemarinya sebagaimana dalam hadits,

وَأَنْ يَعْقِدْنَ بِالأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولاَتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ

"Dan hitunglah dengan jari jemari, karena sesungguhnya (jari-jemari itu) akan ditanya dan akan berbicara." (HR. Abu Daud dan Tirmizi)

hadits shahih riwayat Aisyah yang menyatakan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menghitung bilangan tasbih-nya dengan memakai tangan kanan. Aisyah berkata,

إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُعْحِبُهُ التَّيَمُّنُ فِيْ تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُوْرِهِ وَفِيْ شَأْنِهِ كُلِّهِ

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu memulai (mendahulukan) yang kanan, dalam memakai sendal, bersisir, bersuci, dan dalam segala hal.” (HR. Bukhari)

Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

"Rasulullah selalu berdzikir kepada Allah dalam setiap kesempatannya". [HR Bukhari dan Muslim].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ

"Barangsiapa yang mengucapkan “subhaanallah” setiap selesai shalat 33 kali, “alhamdulillah” 33 kali dan “Allahu Akbar” 33 kali; yang demikian berjumlah 99 dan menggenapkannya menjadi seratus dengan “La ilaha illallahu wahdahu la syarikalah, la hul mulku walahul hamdu wa huwa ‘la kulli syai-in qadir”

 (لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ)

akan diampuni kesalahannya, sekalipun seperti buih lautan" [HR Muslim dari Abu Hurairah]. 

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى

"Setiap pergelangan salah seorang dari kamu adalah shadaqah, setiap tasbih shadaqah, setiap tahmid shadaqah, tahlil shadaqah, takbir shadaqah, mengajak kepada kebaikan shadaqah dan mencegah dari kemungkaran shadaqah dan semua itu cukup dengan dua raka’at dhuha". [HR Bukhari dan Muslim].

Abdullah bin Umar, beliau berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْقِدُ التَّسْبِيحَ قَالَ ابْنُ قُدَامَةَ بِيَمِينِهِ

"Saya melihat Rasulullah menghitung tasbih (dzikirnya); Ibnu Qudamah mengatakan dengan tangan kanannya". [3] [3]. HR Abu Dawud, Bab tasbih bil hasha, no. 1502.

Hadits Abu Hurairah, ia berkata:

كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَبِّحُ بِالْحَصَى

"Rasulullah bertasbih dengan menggunakan kerikil." [7] 
[7]. HR Abu Al Qashim Al Jurjaani dalam Tarikh Jurjaan, no. 68. Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muhammad bin Rabi’ah Al Qudami yang sering membuat hadits munkar dan maudhu. Dan didhaifkan oleh Syaikh Albani dalam Silsilah, no.1002. << hadis dhoif boleh diamalkan.

Hadits Shafiyah binti Hayyi (isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) yang berbunyi:

عَنْ كِنَانَةَ مَوْلَى صَفِيَّةَ قَال سَمِعْتُ صَفِيَّةَ تَقُولُ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آلَافِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا فَقَالَ لَقَدْ سَبَّحْتِ بِهَذِهِ أَلَا أُعَلِّمُكِ بِأَكْثَرَ مِمَّا سَبَّحْتِ بِهِ فَقُلْتُ بَلَى عَلِّمْنِي فَقَالَ قُولِي سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ خَلْقِهِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ صَفِيَّةَ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ مِنْ حَدِيثِ هَاشِمِ بْنِ سَعِيدٍ الْكُوفِيِّ وَلَيْسَ إِسْنَادُهُ بِمَعْرُوفٍ وَفِي الْبَاب عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ

"Dari Kinanah budak Shafiyah berkata, saya mendengar Shafiyah berkata: Rasulullah pernah menemuiku dan di tanganku ada empat ribu nawat (bijian korma) yang aku pakai untuk menghitung dzikirku. Aku berkata,”Aku telah bertasbih dengan ini.” Rasulullah bersabda,”Maukah aku ajari engkau (dengan) yang lebih baik dari pada yang engkau pakai bertasbih?” Saya menjawab,”Ajarilah aku,” maka Rasulullah bersabda,”Ucapkanlah :

سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ خَلْقِهِ

"Maha Suci Allah sejumlah apa yang diciptakan oleh Allah dari sesuatu"
(HR Tirmidzi, beliau berkata,”Hadist ini gharib. Saya tidak mengetahuinya, kecuali lewat jalan ini, yaitu Hasyim bin Sa’id Al Kufi.” Ibnu Hajar dalam kitab At Taqrib menyebutnya dhaif (lemah), begitu juga gurunya, Kinanah Maula Shafiyah didhaifkan oleh Al Adzdi).

Kedua : Hadits yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash:

ﻋﻦ ﺳﻌﺪ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻭﻗﺎﺹ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ قَالَ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ أَلَا أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذَلِكَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ قَالَ أَبُو عِيسَى وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ حَدِيثِ سَعْدٍ

"Dia (Sa’ad bin Abi Waqqash) bersama Rasulullah menemui seorang wanita dan di tangan wanita tersebut ada bijian atau kerikil yang digunakan untuk menghitung tasbih (dzikir). Rasulullah bersabda,”Maukah kuberitahu engkau dengan yang lebih mudah dan lebih afdhal bagimu dari pada ini? (Ucapkanlah): Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya di langit, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya di bumi, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya diantara keduanya, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya sejumlah yang Dia menciptanya, dan ucapan: اللَّهُ أَكْبَرُ seperti itu, َالْحَمْدُ لِلَّهِ seperti itu, dan لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ seperti itu.” 
(HR Abu Dawud, 4/ 366; At Tirmidzi, no. 3568 dan berkata,”Hadits hasan gharib.” Nasai’i dalam Amal Al Yaum wa Lailah; Ath Thabrani dalam Ad Du’a, 3/ 1584; Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab, 1/347 Al Baghawi, dalam Syarhu As Sunnah, 1279 dan lainnya. Semua sanadnya bersumber pada Sa’id bin Abi Hilal. Ibnu Hajar menganggapnya “shaduuq”).

firman Allah :

أَصْحَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَئِذٍ خَيْرٌ مُّسْتَقَرًّا وَأَحْسَنُ مَقِيلاً

"Penghuni-penghuni surga pada hari itu lebih baik tempat tinggalnya dan lebih indah tempat istirahatnya".
[Al Furqon : 24].

Tasbih Bukan Bid’ah


وعد التسبيح بالأصابع سنة كما قال النبى للنساء سبحن وإعقدن بالأصابع فإنهن مسؤولات مستنطقات

Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Menghitung tasbih dengan jari itu dianjurkan. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para wanita, “Bertasbihlah dan hitunglah dengan jari karena sesungguhnya jari jemari itu akan ditanyai dan diminta untuk berbicara.

وأما عده بالنوى والحصى ونحو ذلك فحسن وكان من الصحابة رضى الله عنهم من يفعل ذلك وقد رأى النبى أم المؤمنين تسبح بالحصى واقرها على ذلك وروى أن أبا هريرة كان يسبح به

Sedangkan berdzikir dengan menggunakan biji atau kerikil atau pun semisalnya maka itu adalah perbuatan yang baik. Di antara para sahabat ada yang melakukannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melihat salah seorang isterinya bertasbih dengan menggunakan kerikil dan beliau membiarkannya. Terdapat pula riwayat yang menunjukkan bahwa Abu Hurairah bertasbih dengan menggunakan kerikil.

وأما التسبيح بما يجعل فى نظام من الخرز ونحوه فمن الناس من كرهه ومنهم من لم يكرهه

Adapun bertasbih dengan menggunakan manik-manik yang dirangkai menjadi satu (sebagaimana biji tasbih yang kita kenal saat ini, pent) maka ulama berselisih pendapat. Ada yang menilai hal tersebut hukumnya makruh, ada pula yang tidak setuju dengan hukum makruh untuk perbuatan tersebut.

وإذا أحسنت فيه النية فهو حسن غير مكروه

(Kesimpulannya)
jika orang yang melakukannya itu memiliki niat yang baik (baca: ikhlas) maka berzikir dengan menggunakan biji tasbih adalah perbuatan yang baik dan tidak makruh.

وأما إتخاذه من غير حاجة أو إظهاره للناس مثل تعليقه فى العنق أو جعله كالسوار فى اليد او نحو ذلك فهذا إما رياء للناس أو مظنة المراءاة ومشابهة المرائين من غير حاجة

Adapun memiliki biji tasbih tanpa ada kebutuhan untuk itu atau mempertontonkan biji tasbih kepada banyak orang semisal dengan mengalungkannya di leher atau menjadikannya sebagai gelang di tangan atau semisalnya maka status pelakunya itu ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, dia riya’ dengan perbuatannya tersebut. Kemungkinan kedua, dimungkinkan dia akan terjerumus ke dalam perbuatan riya’ dan perbuatan tersebut adalah perbuatan menyerupai orang-orang yang riya’ tanpa ada kebutuhan.

الأول محرم

Jika benar kemungkinan pertama maka hukum perbuatan tersebut adalah haram.

والثاني أقل أحواله الكراهة

Jika yang tepat adalah kemungkinan yang kedua maka hukum yang paling ringan untuk hal tersebut adalah makruh.

فإن مراءاة الناس فى العبادات المختصة كالصلاة والصيام والذكر وقراءة القرآن من أعظم الذنوب

Sesungguhnya memamerkan ibadah mahdhah semisal shalat, puasa, dzikir dan membaca al Qur’an kepada manusia adalah termasuk dosa yang sangat besar”.

Sumber:

Majmu Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah jilid 22, hal 506, cetakan standar.

Sejarah Tasbih Dan Hukumnya

Dzikrullah, merupakan amalan yang sangat dianjurkan oleh Allah Jalla Jalaluhu dan RasulNya, dan diperintahkan untuk melakukannya sebanyak-banyaknya, sebagaimana firmanNya, artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya".
[Al Ahzab : 41]

Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

"Rasulullah selalu berdzikir kepada Allah dalam setiap kesempatannya".
[HR Bukhari dan Muslim].

Dzikir dibagi menjadi dua.

Pertama, dzikir mutlaq. Yaitu dzikir yang tidak terkait dengan waktu, jumlah, tempat dan keadaan. Semua perbuatan dan perkataan yang bisa mengingatkan seseorang kepada Allah Jalla Jalaluhu, termasuk dalam dzikir jenis ini, seperti: membaca Al Qur’an, menuntut ilmu, dan lainnya. Seseorang bisa melakukan dzikir kapan saja, berapapun jumlahnya selama tidak bertentangan dengan hal-hal yang sudah ditetapkan dalam agama.

Sunah dzikir setelah sholat


Kedua, dzikir muqayyad. Yaitu dzikir yang terikat dengan tempat, seperti: dzikir di Arafah, di Multazam, ketika masuk dan keluar masjid, kamar mandi dan lainnya. Atau terikat dengan jumlah, waktu dan cara. Oleh karenanya, dalam pelaksanaannya juga terikat dengan tata cara yang pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antara contoh dzikir yang terikat dengan jumlah, waktu dan cara, misalnya sebagaimana disabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ

"Barangsiapa yang mengucapkan “subhaanallah” setiap selesai shalat 33 kali, “alhamdulillah” 33 kali dan “Allahu Akbar” 33 kali; yang demikian berjumlah 99 dan menggenapkannya menjadi seratus dengan “La ilaha illallahu wahdahu la syarikalah, la hul mulku walahul hamdu wa huwa ‘la kulli syai-in qadir”

(لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ),

akan diampuni kesalahannya, sekalipun seperti buih lautan"
[HR Muslim dari Abu Hurairah].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى.

"Setiap pergelangan salah seorang dari kamu adalah shadaqah, setiap tasbih shadaqah, setiap tahmid shadaqah, tahlil shadaqah, takbir shadaqah, mengajak kepada kebaikan shadaqah dan mencegah dari kemungkaran shadaqah dan semua itu cukup dengan dua raka’at dhuha".
[HR Bukhari dan Muslim].

Beliau (Syaikh Athiyah) tidak menyebutkan dalilnya harus dengan ruas jari [2]. Yang pasti, menurut beliau, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menghitung dzikirnya dengan jari tangannya, sebagaimana disebutkan oleh Abdullah bin Umar, beliau berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْقِدُ التَّسْبِيحَ قَالَ ابْنُ قُدَامَةَ بِيَمِينِهِ.

"Saya melihat Rasulullah menghitung tasbih (dzikirnya); Ibnu Qudamah mengatakan dengan tangan kanannya".

Saat sekarang ini, kita sering melihat -khususnya selesai shalat-, orang menghitung dzikirnya dengan menggunakan alat tasbih, yaitu semacam biji-bijian terbuat dari kayu, tulang atau lainnya yang dirangkai dengan benang atau tali, yang jumlahnya biasanya seratus biji. Orang Arab menyebutnya subhah, misbahah, tasaabih, nizaam, atau alat.

Sementara orang-orang sufi menyebutnya al mudzakkirah billah (pengingat kepada Allah), raabitatul qulub (pengikat hati), hablul washl atau sauth asy syaithan (cambuk syaitan).

Karena dzikir merupakan bagian dari ibadah atau dianggap sebagai ibadah, maka kita harus mengetahui hukumnya, agar benar dalam mengamalkannya.

Bagaimana hukum menggunakan alat-alat tersebut?

Pertama: Hadits Shafiyah binti Hayyi (isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) yang berbunyi:

عَنْ كِنَانَةَ مَوْلَى صَفِيَّةَ قَال سَمِعْتُ صَفِيَّةَ تَقُولُ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آلَافِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا فَقَالَ لَقَدْ سَبَّحْتِ بِهَذِهِ أَلَا أُعَلِّمُكِ بِأَكْثَرَ مِمَّا سَبَّحْتِ بِهِ فَقُلْتُ بَلَى عَلِّمْنِي فَقَالَ قُولِي سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ خَلْقِهِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ صَفِيَّةَ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ مِنْ حَدِيثِ هَاشِمِ بْنِ سَعِيدٍ الْكُوفِيِّ وَلَيْسَ إِسْنَادُهُ بِمَعْرُوفٍ وَفِي الْبَاب عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ

"Dari Kinanah budak Shafiyah berkata, saya mendengar Shafiyah berkata: Rasulullah pernah menemuiku dan di tanganku ada empat ribu nawat (bijian korma) yang aku pakai untuk menghitung dzikirku. Aku berkata,”Aku telah bertasbih dengan ini.” Rasulullah bersabda,”Maukah aku ajari engkau (dengan) yang lebih baik dari pada lafal yang engkau bertasbih?” Saya menjawab,”Ajarilah aku,” maka Rasulullah bersabda,”Ucapkanlah :

سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ خَلْقِهِ. 

(Maha Suci Allah sejumlah apa yang diciptakan oleh Allah dari sesuatu).”

Kedua : Hadits yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash:

أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ قَالَ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ أَلَا أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذَلِكَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ قَالَ أَبُو عِيسَى وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ حَدِيثِ سَعْدٍ.

"Dia (Sa’ad bin Abi Waqqash) bersama Rasulullah menemui seorang wanita dan di tangan wanita tersebut ada bijian atau kerikil yang digunakan untuk menghitung tasbih (dzikir). Rasulullah bersabda,”Maukah kuberitahu engkau dengan yang lebih mudah dan lebih afdhal bagimu dari pada ini? (Ucapkanlah): Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya di langit, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya di bumi, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya diantara keduanya, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya sejumlah yang Dia menciptanya, dan ucapan: اللَّهُ أَكْبَرُ seperti itu, َالْحَمْدُ لِلَّهِ seperti itu, dan لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ seperti itu".

Ketiga : Hadits Abu Hurairah, ia berkata:

كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَبِّحُ بِالْحَصَى

"Rasulullah bertasbih dengan menggunakan kerikil."
(HR Abu Al Qashim Al Jurjaani dalam Tarikh Jurjaan, no. 68. Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muhammad bin Rabi’ah Al Qudami yang sering membuat hadits munkar dan maudhu. Dan didhaifkan oleh Syaikh Albani dalam Silsilah, no.1002) << boleh mengamalkan hadis doif

Adapun hadits Sa’ad bin Abi Waqqash yang menyebutkan beliau melihat wanita yang memegang bijian untuk bertasbih, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menawarkan sesuatu yang lebih mudah, yang akan dijarkan kepadanya dan lebih afdhal. Lafadz “afdhal” atau “aisar” (lebih mudah), bukan berarti yang lainnya itu baik atau mudah juga.

Sebagaimana firman Allah :

أَصْحَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَئِذٍ خَيْرٌ مُّسْتَقَرًّا وَأَحْسَنُ مَقِيلاً


"Penghuni-penghuni surga pada hari itu lebih baik tempat tinggalnya dan lebih indah tempat istirahatnya".
[Al Furqon : 24].

Contoh lainnya, juga sebagaimana dalam firman Allah Jalla Jalaluhu.

ءَآاللهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ


"Apakah Allah yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?"
[An Naml : 59].


Jari-Jari Tasbih memutar tasbih


jari-jari tasbih

“Berdasarkan dalil yang sahih Nabi Muhammad itu berdzikir dengan menggunakan jarinya.” Bangkak ngedumel.

“Ada masalah kang?” Sahut Mbah Lalar.

“Tentu saja bermasalah, kenapa Mbah Lalar berdzikir menggunakan tasbih, ajaran dari mana itu? Bangkak semakin sewot.

“Lho, saya juga menggunakan tangan kok!” Mbah Lalar bernada serius.

“Lha, yang Mbah pegang itu apa?” Tanya Kang Bangkak.

“Tasbih….” Jawab Mbah Lalar singkat.

“Terus, katanya pake tangan?”, desak Bangkak.

“Lha iya, saya muter tasbih gak pake kaki ‘kan? Pake jari tangan ‘kan?”

Bangkak gelagapan, sambil berkelit ia sempat berujar, “tapi kan, anu, gak ada contoh, eh mirip pendeta…. Udah deh ana pamit salam alekum…”

“Wa alaikum salam wr wb, eh Kang tasbih saya seperti apa?” Mbah lalar melanjutkan godanya, sambil terkekeh kekeh

Tasbih muternya juga di tangan

Jari-Jari Tasbih memutar tasbih 
jari-jari tasbih

“Berdasarkan dalil yang sahih Nabi Muhammad itu berdzikir dengan menggunakan jarinya.” Bangkak ngedumel.

“Ada masalah kang?” Sahut Mbah Lalar.

“Tentu saja bermasalah, kenapa Mbah Lalar berdzikir menggunakan tasbih, ajaran dari mana itu? Bangkak semakin sewot.

“Lho, saya juga menggunakan tangan kok!” Mbah Lalar bernada serius.

“Lha, yang Mbah pegang itu apa?” Tanya Kang Bangkak.

“Tasbih….” Jawab Mbah Lalar singkat.

“Terus, katanya pake tangan?”, desak Bangkak.

“Lha iya, saya muter tasbih gak pake kaki ‘kan? Pake jari tangan ‘kan?”

Bangkak gelagapan, sambil berkelit ia sempat berujar, “tapi kan, anu, gak ada contoh, eh mirip pendeta…. Udah deh ana pamit salam alekum…”

“Wa alaikum salam wr wb, eh Kang tasbih saya seperti apa?”
Mbah lalar melanjutkan godanya, sambil terkekeh kekeh

Dalil muter Tasbih saat Dzikir

Dalil muter Tasbih saat Dzikir
Dalil penggunaan alat tasbih

ﻋﻦ ﺳﻌﺪ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻭﻗﺎﺹ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺃﻧﻪ ﺩﺧﻞ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻭﺑﻴﻦ ﻳﺪﻳﻬﺎ ﻧﻮﻯ ﺃﻭ ﺣﺼﻰ ﺗﺴﺒﺤﺒﻪ ﻓﻘﺎﻝ :ﺃﺧﺒﺮﻙ ﺑﻤﺎ ﻫﻮ ﺃﻳﺴﺮ ﻋﻠﻴﻚ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺃﻭ ﺃﻓﻀﻞ؟ ﻓﻘﺎﻝ : ﺳﺒﺤﺎﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺪﺩ ﻣﺎ ﺧﻠﻖ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻭﺳﺒﺤﺎﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺎ ﻋﺪﺩ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ ﻭﺳﺒﺤﺎﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺪﺩ ﻣﺎ ﺑﻴﻦ ﺫﻟﻚ ﻭﺳﺒﺤﺎﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺪﺩ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺧﺎﻟﻖ ﻭﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﻣﺜﻞ ﺫﻟﻚ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻛﺒﺮ ﻣﺜﻞ ﺫﻟﻚ ﻭﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺜﻞ ﺫﻟﻚ ﻭﻻ ﺣﻮﻝ ﻭﻻ ﻗﻮﺓ ﺇﻻ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻣﺜﻞ ﺫﻟﻚ

(رواه أبو دوود و الترمذى و الحاكم)

Daripada Saad bin Abi Waqqas RA 
Sesungguhnya Rasulullah SAW menemui seorang wanita yang sedang bertasbih dengan biji tamar atau batu.
Nabi SAW bersabda: Aku hendak memberitahu perkara yang lebih mudah dari apa yang engkau lakukan atau yang lebih baik. Iaitu ucapan zikir “maha suci Allah sebanyak bilangan makhluk di langit, maha suci Allah sebanyak bilangan makhluk di bumi, maha suci Allah sebanyak bilangan mahkluk yang berada di antara langit dan bumi, maha suci Allah sebanyak bilangan mahkluk yang Allah ciptakan, segala puji bagi Allah sebanyak itu juga, Allah maha besar sebanyak itu juga, Allah maha besar sebanyak itu juga, tiada tuhan melainkan Allah sebanyak itu juga dan tiada daya dan kekuatan melainkan dengan Allah sebanyak itu juga.
(Hadis riwayat Abu Daud, Tirmizi dan al-Hakim.)
 
Sahabat yang menggunakan alat bantu zikir.Qasim bin Abdur Rahman berkata:“Abu Darda memiliki biji kurma yang diletakkan dalam beg plastic. Apabila telah selesai solat subuh beliau akan mengeluarkannya satu persatu sambil bertasbih sehinggalah habis biji kurma tersebut dikeluarkan.”

Naim bin Muharrar bin Abu Hurairah cucu Abu hurairah telah berkata:“Sesungguhnya Abu Hurairah
memiliki 2000 lembar benang . Beliau tidak akan tidurmelainkan setelah bertasbih sebanyak lembaran benang tersebut.”Pandangan UlamaImam Syaukani menyatakan:“Dua hadis yang lain menunjukkan kepada
pengharusan bertasbih dengan batu dan biji kurma.
 
Demikian juga harus dengan tasbih kerana tiada perbezaan diantara keduanya.
Ini berdasarkan mendiamkan apa yang dilakukan oleh dua wanita tersebut dalam dua hadis. Tiada bangkangan Nabi SAW terhadap perbuatan wanita yang bertasbih menunjukkan pengharusan dan baginda menunjukkan zikir yang lebih baik tidak menafikan pengharusan.”Imam Ibnul Jauzi berkata:“Sesungguhnya berzikir dengan tasbih adalah sunat berdasarkan hadis Sofiyah yang bertasbih dengan biji kurma atau batu.
 
Dalam kitab Dururul Mukhtar (mazhab Hanafi) ada menyebutkan: “Tidak mengapa mengunakan tasbih
sekiranya tidak riya"

Kalau ndak punya tasbih ya pake jari


Dahulu mereka bertasbih dan menghitungnya dengan jari jemarinya sebagaimana dalam hadits,

وَأَنْ يَعْقِدْنَ بِالأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولاَتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ

"Dan hitunglah dengan jari jemari, karena sesungguhnya (jari-jemari itu) akan ditanya dan akan berbicara." (HR. Abu Daud dan Tirmizi)

hadits shahih riwayat Aisyah yang menyatakan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menghitung bilangan tasbih-nya dengan memakai tangan kanan. Aisyah berkata,

إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُعْحِبُهُ التَّيَمُّنُ فِيْ تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُوْرِهِ وَفِيْ شَأْنِهِ كُلِّهِ

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu memulai (mendahulukan) yang kanan, dalam memakai sendal, bersisir, bersuci, dan dalam segala hal.” (HR. Bukhari)

Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

"Rasulullah selalu berdzikir kepada Allah dalam setiap kesempatannya". [HR Bukhari dan Muslim].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ

"Barangsiapa yang mengucapkan “subhaanallah” setiap selesai shalat 33 kali, “alhamdulillah” 33 kali dan “Allahu Akbar” 33 kali; yang demikian berjumlah 99 dan menggenapkannya menjadi seratus dengan “La ilaha illallahu wahdahu la syarikalah, la hul mulku walahul hamdu wa huwa ‘la kulli syai-in qadir”

 (لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ)

akan diampuni kesalahannya, sekalipun seperti buih lautan" [HR Muslim dari Abu Hurairah]. 

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى.

"Setiap pergelangan salah seorang dari kamu adalah shadaqah, setiap tasbih shadaqah, setiap tahmid shadaqah, tahlil shadaqah, takbir shadaqah, mengajak kepada kebaikan shadaqah dan mencegah dari kemungkaran shadaqah dan semua itu cukup dengan dua raka’at dhuha". [HR Bukhari dan Muslim].

Abdullah bin Umar, beliau berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْقِدُ التَّسْبِيحَ قَالَ ابْنُ قُدَامَةَ بِيَمِينِهِ

"Saya melihat Rasulullah menghitung tasbih (dzikirnya); Ibnu Qudamah mengatakan dengan tangan kanannya". [3] [3]. HR Abu Dawud, Bab tasbih bil hasha, no. 1502.

Hadits Abu Hurairah, ia berkata:

كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَبِّحُ بِالْحَصَى

"Rasulullah bertasbih dengan menggunakan kerikil." [7] 
[7]. HR Abu Al Qashim Al Jurjaani dalam Tarikh Jurjaan, no. 68. Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muhammad bin Rabi’ah Al Qudami yang sering membuat hadits munkar dan maudhu. Dan didhaifkan oleh Syaikh Albani dalam Silsilah, no.1002. << hadis dhoif boleh diamalkan.

Hadits Shafiyah binti Hayyi (isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) yang berbunyi:

عَنْ كِنَانَةَ مَوْلَى صَفِيَّةَ قَال سَمِعْتُ صَفِيَّةَ تَقُولُ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آلَافِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا فَقَالَ لَقَدْ سَبَّحْتِ بِهَذِهِ أَلَا أُعَلِّمُكِ بِأَكْثَرَ مِمَّا سَبَّحْتِ بِهِ فَقُلْتُ بَلَى عَلِّمْنِي فَقَالَ قُولِي سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ خَلْقِهِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ صَفِيَّةَ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ مِنْ حَدِيثِ هَاشِمِ بْنِ سَعِيدٍ الْكُوفِيِّ وَلَيْسَ إِسْنَادُهُ بِمَعْرُوفٍ وَفِي الْبَاب عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ

"Dari Kinanah budak Shafiyah berkata, saya mendengar Shafiyah berkata: Rasulullah pernah menemuiku dan di tanganku ada empat ribu nawat (bijian korma) yang aku pakai untuk menghitung dzikirku. Aku berkata,”Aku telah bertasbih dengan ini.” Rasulullah bersabda,”Maukah aku ajari engkau (dengan) yang lebih baik dari pada yang engkau pakai bertasbih?” Saya menjawab,”Ajarilah aku,” maka Rasulullah bersabda,”Ucapkanlah :

سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ ما خلق الله

"Maha Suci Allah sejumlah apa yang diciptakan oleh Allah dari sesuatu"
(HR Tirmidzi, beliau berkata,”Hadist ini gharib. Saya tidak mengetahuinya, kecuali lewat jalan ini, yaitu Hasyim bin Sa’id Al Kufi.” Ibnu Hajar dalam kitab At Taqrib menyebutnya dhaif (lemah), begitu juga gurunya, Kinanah Maula Shafiyah didhaifkan oleh Al Adzdi).

Kedua : Hadits yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash:

ﻋﻦ ﺳﻌﺪ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻭﻗﺎﺹ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ قَالَ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ أَلَا أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذَلِكَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ قَالَ أَبُو عِيسَى وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ حَدِيثِ سَعْدٍ

"Dia (Sa’ad bin Abi Waqqash) bersama Rasulullah menemui seorang wanita dan di tangan wanita tersebut ada bijian atau kerikil yang digunakan untuk menghitung tasbih (dzikir). Rasulullah bersabda,”Maukah kuberitahu engkau dengan yang lebih mudah dan lebih afdhal bagimu dari pada ini? (Ucapkanlah): Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya di langit, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya di bumi, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya diantara keduanya, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya sejumlah yang Dia menciptanya, dan ucapan: اللَّهُ أَكْبَرُ seperti itu, َالْحَمْدُ لِلَّهِ seperti itu, dan لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ seperti itu.” 
(HR Abu Dawud, 4/ 366; At Tirmidzi, no. 3568 dan berkata,”Hadits hasan gharib.” Nasai’i dalam Amal Al Yaum wa Lailah; Ath Thabrani dalam Ad Du’a, 3/ 1584; Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab, 1/347 Al Baghawi, dalam Syarhu As Sunnah, 1279 dan lainnya. Semua sanadnya bersumber pada Sa’id bin Abi Hilal. Ibnu Hajar menganggapnya “shaduuq”).

firman Allah :

أَصْحَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَئِذٍ خَيْرٌ مُّسْتَقَرًّا وَأَحْسَنُ مَقِيلاً

"Penghuni-penghuni surga pada hari itu lebih baik tempat tinggalnya dan lebih indah tempat istirahatnya".
[Al Furqon : 24].

Tasbih Bukan Bid’ah


وعد التسبيح بالأصابع سنة كما قال النبى للنساء سبحن وإعقدن بالأصابع فإنهن مسؤولات مستنطقات

Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Menghitung tasbih dengan jari itu dianjurkan. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para wanita, “Bertasbihlah dan hitunglah dengan jari karena sesungguhnya jari jemari itu akan ditanyai dan diminta untuk berbicara.

وأما عده بالنوى والحصى ونحو ذلك فحسن وكان من الصحابة رضى الله عنهم من يفعل ذلك وقد رأى النبى أم المؤمنين تسبح بالحصى واقرها على ذلك وروى أن أبا هريرة كان يسبح به

Sedangkan berdzikir dengan menggunakan biji atau kerikil atau pun semisalnya maka itu adalah perbuatan yang baik. Di antara para sahabat ada yang melakukannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melihat salah seorang isterinya bertasbih dengan menggunakan kerikil dan beliau membiarkannya. Terdapat pula riwayat yang menunjukkan bahwa Abu Hurairah bertasbih dengan menggunakan kerikil.

وأما التسبيح بما يجعل فى نظام من الخرز ونحوه فمن الناس من كرهه ومنهم من لم يكرهه

Adapun bertasbih dengan menggunakan manik-manik yang dirangkai menjadi satu (sebagaimana biji tasbih yang kita kenal saat ini, pent) maka ulama berselisih pendapat. Ada yang menilai hal tersebut hukumnya makruh, ada pula yang tidak setuju dengan hukum makruh untuk perbuatan tersebut.

وإذا أحسنت فيه النية فهو حسن غير مكروه

(Kesimpulannya) jika orang yang melakukannya itu memiliki niat yang baik (baca: ikhlas) maka berzikir dengan menggunakan biji tasbih adalah perbuatan yang baik dan tidak makruh.

وأما إتخاذه من غير حاجة أو إظهاره للناس مثل تعليقه فى العنق أو جعله كالسوار فى اليد او نحو ذلك فهذا إما رياء للناس أو مظنة المراءاة ومشابهة المرائين من غير حاجة

Adapun memiliki biji tasbih tanpa ada kebutuhan untuk itu atau mempertontonkan biji tasbih kepada banyak orang semisal dengan mengalungkannya di leher atau menjadikannya sebagai gelang di tangan atau semisalnya maka status pelakunya itu ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, dia riya’ dengan perbuatannya tersebut. Kemungkinan kedua, dimungkinkan dia akan terjerumus ke dalam perbuatan riya’ dan perbuatan tersebut adalah perbuatan menyerupai orang-orang yang riya’ tanpa ada kebutuhan.

الأول محرم

Jika benar kemungkinan pertama maka hukum perbuatan tersebut adalah haram.

والثاني أقل أحواله الكراهة

Jika yang tepat adalah kemungkinan yang kedua maka hukum yang paling ringan untuk hal tersebut adalah makruh.

فإن مراءاة الناس فى العبادات المختصة كالصلاة والصيام والذكر وقراءة القرآن من أعظم الذنوب

Sesungguhnya memamerkan ibadah mahdhah semisal shalat, puasa, dzikir dan membaca al Qur’an kepada manusia adalah termasuk dosa yang sangat besar”.

Sumber:

Majmu Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah jilid 22, hal 506, cetakan standar.

Ibn Taimiyah Baik Dzikir dengan Tasbih

Ibn Taimiyah Menganggap Baik Dzikir dengan Tasbih, Albani Membid’ahkannya

Perbedaan Pendapat Antara Ibn Taymiyyah yang Memandang Baik Penggunaan Tasbih sementar al-Albani yang memandangnya sebagai Bid'ah Sesat

Masalah ini termasuk masalah-masalah cabang (furu- 'iyyah) dan bukan termasuk masalah-masalah prinsip akidah (ushul).

Saya ingin mengetengahkannya dalam risalah kecil ini. Hal tersebut agar pandangan para penuntut ilmu tertuju pada satu hal, yaitu bahwa sebagaimana pandangan Ibn Taymiyyah, al-Albani dan para propagandis salafi yang lain berbeda pendapat dalam pokok-pokok akidah, mereka juga berbeda pendapat dalam cabang masalah-masalah fiqih.

Dengan demikian, setelah itu kita tidak tahu mengapa al-Albani memerangi, memusuhi, mencela, dan me­mandang sesat setiap orang yang bertentangan dengannya dalam masalah apa pun, baik yang kecil maupun yang besar dan berpura-pura lupa pada perbedaan pendapat dalam masalah-masalah akidah yang terjadi di antara dirinya dan Ibn Taymiyyah.

Apa yang membungkamnya dari penilaian sesat terhadap Ibn Taimiyah sebagaimana menilai sesat lawan-lawannya yang lain dan tidak bersikap ramah kepada mereka seperti sikap ramah kepada Ibn Taymiy­yah yang merupakan sesama aktivis wahabi dan lain-lain. Apakah itu? adalah uang yang kem- bali dari proses-proses perniagaan di beberapa negeri yang merindukan Ibn Taymiyyah dan memandangnya sebagai pemimpin para pemimpin, atau apa?

Apakah al-Albani kehilangan keberanian ilmiah dan etika untuk berbicara tentang Ibn Taymiyyah sebagaimana dia berbicara tentang lawan-lawannya yang lain?

Masalah Tasbih


Dalam al-Fatawa (22: 506), Ibn Taymiyyah berkata dalam teks berikut:

"Menghitung tasbih dengan jari adalah Sunnah.
Nabi saw berkata kepada kaum perempuan, 'Bertasbihlah dan berhitunglah dengan jari kareni jari itu akan ditanya dan dijadikan bisa bicara.' Adapun menghitungnya dengan biji, kerikil, dan sebagainya adalah baik. Di antara para sahabat, ada yang melakukan hal itu. Nabi saw pernah melihat Ummul mu’minin bertasbih dengan kerikil dan beliau membiarkannya. Diriwayatkan bahwa Abu Hurairah juga bertasbih dengan kerikil."

"Tentang bertasbih dengan benda-benda yang diuntai, dia berkata bahwa itu adalah baik, tidak makruh."

(Kesimpulannya)
Jika orang yang melakukannya itu memiliki niat yang baik (baca: ikhlas) maka berzikir dengan menggunakan biji tasbih adalah perbuatan yang baik dan tidak makruh.

As-Syaukani, dalam bukunya Naylul-Awthar:
berkata dalam teks berikut: "Dua hadis yang lain yakni hadis dari Sayyidah Shafiyah dan Sa'ad menunjukkan bolehnya menghitung tasbih dengan biji dan kerikil. Demikian pula dengan tasbih, karena tidak ada perbedaan. Ini berdasarkan tidak adanya larangan Nabi saw. kepada dua perempuan yang melakukan hal tersebut. Menunjuk­kan pada sesuatu yang lebih utama tidak bertentangan dengan bolehnya."

Penolakan Keras Nashiruddin Al-Albani terhadap Tasbih


Al-Albani menganggap tasbih sebagai bid'ah mungkar dan menyebut orang yang menulis buku tentang kesunnahannya adalah termasuk bagian dari mereka. Hal itu dapat Anda temukan dalam ucapan dan takhrij al-Albani terhadap hadits: "Sebaik-baik yang mengingatkan adalah tasbih…" pada jilid 1 bukunya adh-Dhaif (1: 110-117, cetakan lama, dan 1: 184-193 cetakan baru):

“berdzikir dengan biji-bijian tasbih adalah bid’ah/ sesat”

Silakan dipikirkan!, Ibn Taimiyah yang merupakan soko guru Wahabi menganggap baik pemakaian tasbih namun al-Albani yang sesama Wahabi menolak keras dengan menganggap berdzikir dengan tasbih adalah bid'ah sesat. Na'udzubillah!.

Begitulah dimana-mana yang namanya ajaran sesat itu selalu tidak luput dari kontradiksi, termasuk ulama-ulama (wahabi)-nya sendiri.

Lalu bagaimana Ibn Taymiyyah dan asy-Syaukani tidak disesatkan oleh al-Albani saja?, sementara ulama terkini yang mengatakan kesunnahannya dianggap termasuk ahli bid'ah dan pengikut hawa nafsu? Mengapa ada pemihakan?

Berdzikir Menggunakan Tasbih

Menggunakan Tasbih
Berdzikir Menggunakan Tasbih
          
Al-Muhaddits asy-Syekh as-Sayyid ‘Abdullah al-Ghumari dalam Itqan ash-Shan’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, menuliskan sebagai berikut:

وَالسُّبْحَةُ  تَضْبِطُ الأَعْدَادَ  الْمَأْثُوْرَةَ،  وَلِلْوَسَائِلِ  حُكْمُ  الْمَقَاصِدِ،  فَالسُّبْحَةُ مَشْرُوْعَةٌ.

“Tasbih bisa menghitung jumlah-jumlah dzikir yang dianjurkan dalam sunnah. Dan karena alat-alat untuk ibadah memiliki hukum yang sama dengan tujuannya itu sendiri; yaitu ibadah, maka berarti tasbih juga disyari’atkan (Artinya, karena dzikir disyari’atkan maka alat untuk berdzikir-pun disyari’atkan)”[1].

Para ulama menyatakan bahwa berdzikir dengan menggunakan tasbih hukumnya boleh berdasarkan hadits-hadits berikut:
   
Hadits riwayat Sa’d ibn Abi Waqqash bahwa dia bersama Rasulullah melihat seorang perempuan sedang berdzikir. Di depan perempuan tersebut terdapat biji-bijian atau kerikil yang ia digunakan untuk menghitung dzikirnya. Lalu Rasulullah berkata kepadanya:

أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُعَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ، سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِيْ السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِيْ الأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذلِكَ وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذلِكَ وَالْحَمْدُ لله مِثْلَ ذلِكَ وَلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ مِثْلَ ذلِكَ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ مِثْلَ ذلِكَ (رواه الترمذي وحسّنه وصحّحه ابن حبّان والحاكم وحسّنه الحافظ ابن حجر في تخريج الأذكار)

“Aku beritahu kamu cara yang lebih mudah dari ini atau lebih afdlal. Bacalah: “Subhanallah ‘Adada Ma Khalaqa Fi as-Sama’, Subhanallah ‘Adada Ma Khalaqa Fi al-Ardl, Subhanallah ‘Adada Ma Baina Dzalika, Subhanallah ‘Adada Ma Huwa Khaliq”, (Subhanallah -maha suci Allah- sebanyak makhluk yang Dia ciptakan di langit, Subhanallah sebanyak makhluk yang Dia ciptakan di bumi, Subhanallah sebanyak makhluk yang Dia ciptakan di antara langit dan bumi, Subhanallah sebanyak semua makhluk yang Dia ciptakan). Kemudian baca “Allahu Akbar” seperti itu. Lalu baca “Alhamdulillah” seperti itu. Dan baca “La Ilaha Illallah” seperti itu. Serta baca “La Hawla Wala Quwwata Illa Billah” seperti itu. 
(HR. at-Tirmidzi dan dinilainya Hasan. Dinyatakan Shahih oleh Ibn Hibban dan al-Hakim. Serta dinilai Hasan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Takhrij al-Adzkar).

 2.  Hadits diriwayatkan dari Umm al-Mukminin, salah seorang istri Rasulullah, bernama Shafiyyah. Bahwa beliau (Shafiyyah) berkata:

دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَبَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آلاَفِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا، فَقَالَ: لَقَدْ سَبَّحْتِ بِهَذَا؟ أَلاَ أُعَلِّمُكِ بِأَكْثَرَ مِمَّا سَبَّحْتِ بِهِ؟ فَقَالَتْ: عَلِّمْنِيْ، فَقَالَ: قُوْلِيْ سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ مِنْ شَىْءٍ (رواه الترمذي والحاكم والطبرانيّ وغيرهم وحسّنه الحافظ ابن حجر في تخريج الأذكار)

“Suatu ketika Rasulullah menemuiku dan ketika itu ada di hadapanku empat ribu biji-bijian yang aku gunakan untuk berdzikir. Lalu Rasulullah berkata: Kamu telah bertasbih dengan biji-bijian ini?! Maukah kamu aku ajari yang lebih banyak dari ini? Shafiyyah menjawab: Iya, ajarkanlah kepadaku. Lalu Rasulullah bersabda: “Bacalah: “Subhanallah ‘Adada Ma Khalaqa Min Sya’i”
(HR. at-Tirmidzi, al-Hakim, ath-Thabarani dan lainnya, dan dihasankan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam kitab Nata-ij al-Afkar Fi Takhrij al-Adzkar)

Faedah Hadits:

Dalam dua hadits ini Rasulullah mendiamkan, artinya menyetujui (iqrar), dan tidak mengingkari sahabat yang berdzikir dengan biji-bijian dan kerikil-kerikil tersebut. Rasulullah hanya menunjukkan kepada yang lebih afdlal dari menghitung dzikir dengan biji-bijian atau kerikil. Dan ketika Rasulullah menunjukkan kepada sesuatu yang lebih afdlal (al-afdlal), hal ini bukan berarti untuk menafikan yang sudah ada (al-mafdlul). Artinya, yang sudah adapun (al-mafdlul) boleh dilakukan.

Dari iqrar Rasulullah ini dapat diambil dalil bahwa bertasbih dengan kerikil atau biji-bijian ada keutamaan atau faedah pahalanya.
Karena seandainya tidak ada keutamaannya, berarti Rasulullah menyetujui ibadah yang sia-sia, yang tidak berpahala, dan jelas hal ini tidak mungkin terjadi. Rasulullah tidak akan mendiamkan sesuatu yang tidak ada gunanya.

Syekh Mulla ‘Ali al-Qari ketika menjelaskan hadits Sa’d ibn Abi Waqqash di atas, dalam kitab Syarh al-Misykat, menuliskan sebagai berikut:

وَهذَا أَصْلٌ صَحِيْحٌ لِتَجْوِيْزِ السُّبْحَةِ بِتَقْرِيْرِهِ صَلّى اللهُ عَليْهِ وَسَلّمَ فَإِنَّهُ فِيْ مَعْنَاهَا، إِذْ لاَ فَرْقَ بَيْنَ الْمَنْظُوْمَةِ وَالْمَنْثُوْرَةِ فِيْمَا يُعَدُّ بِهِ.

“Ini adalah dasar yang shahih untuk membolehkan penggunaan tasbih, karena tasbih ini semakna dengan biji-bijian dan kerikil tersebut. Karena tidak ada bedanya antara yang tersusun rapi (diuntai dengan tali) atau yang terpencar (tidak teruntai) bahwa setiap itu semua adalah alat untuk menghitung dzikir”[2].

3. Hadits ‘Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah bersabda:
    

نِعْمَ الْمُذَكِّرُ السُّبْحَةُ (رواه الديلميّ في مسند الفردوس)

“Sebaik-baik pengingat kepada Allah adalah tasbih” (HR. ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus)

Faedah Hadits:

Hadits ini adalah hadits Dla’if. Hadits ini bukan Maudlu’ (palsu) seperti dikatakan oleh Nashiruddin al-Albani. Hadits ini mendukung dua hadits shahih di atas yang membolehkan bertasbih dengan tasbih. Maka hadits ini boleh dimaknai: bahwa “Sebaik-baik pengingat kepada Allah adalah alat dzikir yang dinamakan tasbih”.

Al-Muhaddits asy-Syekh ‘Abdullah al-Harari dalam risalahnya berjudul at-Ta’aqqub al-Hatsits ‘Ala Man Tha’ana Fima Shahha Min al-Hadits, menuliskan sebagai berikut:

ثُمَّ حَاصِلُ بَحْثِنَا أَنَّ الَّذِيْ تُعْطِيْهِ الْقَوَاعِدُ الْحَدِيْثِيَّةُ أَنَّ حَدِيْثَ: نِعْمَ الْمُذَكِّرُ السُّبْحَةُ ضَعِيْفٌ بِهذَا السَّنَدِ لَكِنَّهُ لاَ يُمْنَعُ الْعَمَلُ بِهِ، وَإِنَّمَا يُمْنَعُ الْعَمَلُ بِالضَّعِيْفِ – سِوَى الْمَوْضُوْعِ- إِذَا كَانَ شَدِيْدَ الضَّعْفِ وَهُوَ الَّذِيْ يَنْفَرِدُ بِهِ كَذَّابٌ، أَوْ مُتَّهَمٌ بِالْكَذِبِ، أَوْ مَنْ فَحُشَ غَلَطُهُ، فَهذَا السَّنَدُ لاَ يُعْلَمُ فِيْهِ أَحَدٌ مِنْ هؤُلاَءِ، وَلاَ نَصَّ أَحَدٌ مِنَ الْحُفَّاظِ بِهذَا التَّفَرُّدِ فِيْهِ، وَيَنْطَبِقُ عَلَيْهِ الشَّرْطُ الآخَرُ وَهُوَ الدُّخُوْلُ تَحْتَ أَصْلٍ عَامٍّ. وَالأَصْلُ العَامُّ هُنَا مَا يُؤْخَذُ مِنْ حَدِيْثِ التَّسْبِيْحِ بِالْحَصَى مِنْ صِحَّةِ الاسْتِعَانَةِ عَلَى الضَّبْطِ لِلْعَدَدِ بِكُلِّ مَا هُوَ فِيْ مَعْنَاهَا، فَلاَ مَانِعَ مِنْ جِهَةِ الْحَدِيْثِ مِنَ الْعَمَلِ، عَلَى أَنَّهُ قَدْ جَوَّزَ الْعَمَلَ بِالْحَدِيْثِ الضَّعِيْفِ مِنْ غَيْرِ قَيْدٍ بَعْضُ أَهْلِ الْحَدِيْثِ كَأَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَأَبِيْ دَاوُدَ وَابْنِ مَهْدِيٍّ وَابْنِ الْمُبَارَكِ كَمَا فِيْ التَّدْرِيْبِ وَغَيْرِهِ مِنْ كُتُبِ الاصْطِلاَحِ.

“Kemudian kesimpulan pembahasan kita sesuai kaedah-kaedah ilmu hadits, bahwa hadits “Ni’ma al-Mudzkkir as-Subhah” adalah Dla’if dengan sanad ini. Tetapi tidaklah dilarang mengamalkan hadits ini. Melainkan yang dilarang adalah mengamalkan hadits dla'if -selain maudlu’ (palsu)- apa bila hadits tersebut sangat lemah (Syadid adl-Dla’f). Hadits yang sangat lemah adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang kadzdzab (pendusta), atau dituduh berdusta atau sangat parah kesalahannya dalam meriwayatkan hadits.
Sedangkan dalam sanad hadits ini tidak terdapat perawi-perawi seperti itu, dan tidak ada seorang ahli hadits-pun yang menyatakan adanya tafarrud di dalamnya (hanya diriwayatkan oleh perawi dengan sifat-sifat yang disebutkan). Dalam hadits ini juga terdapat syarat lain (untuk dibolehkan mengamalkan hadits Dla’if yang bukan Maudlu’ dan bukan Syadid adl-Dla'f), yaitu masuk dalam dalil umum. Dan dalil umum dalam masalah ini diambil dari hadits bertasbih dengan kerikil dari sisi bahwa dibenarkan menggunakan alat untuk menghitung jumlah dzikir dengan apapun yang semakna dengan kerikil. Jadi jika dilihat kondisi hadits ini, tidak ada larangan untuk mengamalkannya.
Apalagi ada sebagian ahli hadits seperti al-Imam Ahmad ibn Hanbal, Abu Dawud, Ibn Mahdi, Ibn al-Mubarak yang membolehkan mengamalkan hadits Dla’if tanpa syarat atau ketentuan apapun seperti disebutkan dalam Tadrib ar-Rawi dan buku-buku ilmu Musthalah al-Hadits yang lain”[3].

Bahkan al-Muhaddits asy-Syekh ‘Abdullah al-Ghumari dalam Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, hlm. 45-46, menegaskan bahwa ketika orang berdzikir menggunakan biji-bijian, kerikil atau tasbih, sesungguhnya dia menghitung dzikir dengan jari-jari tangannya juga, karena dia menggunakan jari-jarinya untuk mengambil dan memegang biji-bijian atau kerikil tersebut, ia juga menggunakan jari-jarinya untuk menggerakkan dan memutar tasbih tersebut.

Berarti ia memperoleh pahala seperti halnya bila dia hanya menggunakan jari-jarinya untuk menghitung dzikirnya tersebut. Dengan demikian menghitung dzikir dengan biji-bijian, kerikil atau tasbih, berarti masuk dalam kesunnahan berdzikir dengan menggunakan jari-jari tangan yang disebutkan dalam hadits Yusairah[4]. Dalam hadits Ysairah ini Rasulullah bersabda:

عَلَيْكُنَّ بِالتَّسْبِيْحِ وَالتَّهْلِيْلِ وَالتَّقْدِيْسِ، وَلاَ تَغْفُلْنَ فَتَنْسَيْنَ الرَّحْمَةَ، وَاعْقِدْنَ بِالأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُوْلاَتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ (أخرجه ابن أبي شيبة وأبو داود والترمذيّ)

“Bacalah oleh kalian Tasbih, Tahlil dan Taqdis, dan jangan lupa memohon rahmat Allah, dan hitunglah dengan jari-jari tangan karena nanti di akhirat jari-jari tersebut akan ditanya dan nantinya akan berbicara dan menjawab”.
(HR. Ibn Abi Syaibah, Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Antara Menghitung Dzikir Dengan Jari Atau Tasbih
          
Dzikir yang dibaca oleh seseorang jika dihitung dengan jari-jari tangan kanan itu lebih afdlal. Karena hal itu yang dianjurkan oleh Rasulullah (Warid) dengan perkataan dan dengan perbuatannya sendiri. Sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa Rasulullah ketika bertasbih beliau menghitungnya dengan jari-jari tangan kanannya
(HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Hakim dan al-Baihaqi dalam Sunan-nya).

Namun demikian, hal ini bukan berarti menghitung dzikir dengan sesuatu yang lain tidak boleh, walaupun memang yang lebih afdlal menghitung dengan jari-jari tangan.

Dengan dalil bahwa suatu ketika Rasulullah mendapati salah seorang istrinya yang bernama Shafiyyah meletakkan empat ribu biji kurma dihadapannya yang ia gunakan untuk menghitung tasbihnya (HR. at-Tirmidzi, al-Hakim, ath-Thabarani dan lainnya). Dalam hadits ini Rasulullah tidak melarang, serta tidak mengingkari perbuatan Shafiyyah tersebut. Rasulullah hanya menunjukkan kepada Shafiyyah terhadap yang lebih mudah dan lebih afdlal, seperti yang telah kita kemukakan di atas dengan dalil-dalilnya.

Demikian juga ada beberapa sahabat lain yang menghitung bacaan dzikirnya dengan biji kurma, kerikil atau benang yang disimpulkan. Di antaranya sahabat Abu

Shafiyyah; salah seorang bekas budak Rasulullah, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam kitab az-Zuhd, dan kitab al-Jami’ fi al-‘Ilal wa Ma’rifat ar-Rijal.

Juga seperti yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Baghawi dalam kitab Mu’jam ash-Shahabah.

Termasuk di antaranya sahabat Sa’d ibn Abi Waqqash, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf, dan Ibn Sa’d dalam kitab ath-Thabaqaat.

Juga di antaranya sahabat Abu Hurairah, sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abdullah ibn Ahmad dalam kitab Zawaa-id az-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyah al-Auliya’, serta diriwayatkan adz-Dzahabi dalam kitab Tadzkirah al-Huffazh dan kitab Siyar A’lam an-Nubala’.

Kemudian pula di antaranya sahabat Abu ad-Darda’, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam kitab az-Zuhd, dan lainnya.
           
Dari sini para ulama menyimpulkan bahwa hukum menghitung dzikir dengan tasbih atau semacamnya adalah boleh, tidak haram, walaupun yang lebih baik (afdlal) menghitungnya dengan jari tangan kanan. Hukum yang serupa dengan ini adalah tentang shalat Rawatib al-Faraidl (Qabliyyah dan Ba’diyyah). Bahwa  yang lebih afdlal shalat sunnah Rawatib tersebut dilaksanakan di rumah, namun bukan berarti haram jika shalat sunnah tersebut dilakukan di masjid.
           
Bahkan al-Faqih al-‘Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, menuliskan bahwa sebagian ulama telah merinci tentang keutamaan berdzikir antara dengan jari-jari atau dengan untaian tasbih. Beliau menuliskan sebagai berikut:

 إِنْ أَمِنَ الْمُسَبِّحُ الْغَلَطَ كَانَ عَقْدُهُ بِالأَنَامِلِ أَفْضَلَ، وَإِلاَّ فَالسُّبْحَةُ أَفْضَلُ

“Jika orang yang berdzikir tidak khawatir salah hitung maka menghitung dzikir dengan jari-jari tangan hukumnya lebih afdlal. Namun jika ia khawatir salah hitung maka menghitung dengan tasbih lebih afdlal”[5].

Amaliah Para Ulama Salaf Dan Khalaf
           
Berikut ini sebagian para ulama Salaf dan para ulama Khalaf yang berdzikir menggunakan kerikil, biji kurma, atau semacam ikatan yang disimpulkan menjadi untaian tasbih. Di antaranya ialah:
   
Shafiyyah. Beliau adalah Umm al-Mu’minin, salah seorang istri Rasulullah. Dalam menghitung dzikir beliau menggunakan biji-biji kurma atau kerikil-kerikil seperti yang telah  kita sebutkan di atas. Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, al-Hakim, dan ath-Thabarani.
   
Abu Shafiyyah. Beliau adalah salah seorang bekas budak Rasulullah. Dalam menghitung dzikirnya beliau menggunakan kerikil-kerikil atau biji-biji kurma. Hadits ini dituturkan oleh al-Imam al-Baghawi dalam kitab Mu’jam ash-Shahabah, al-Hafizh Ibn ‘Asa-kir dalam kitab Tarikh Dimasyq, al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam kitab az-Zuhd dan kitab al-Jami’ Fi al-‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal, al-Imam al-Bukhari dalam kitab at-Tarikh al-Kabir, al-Imam Ibn Abi Hatim dalam kitab al-Jarh Wa at-Ta’dil, Ibn Sayyid an-Nas dalamkitab ‘Uyun al-Atsar, al-Imam al-Baihaqi dalam kitab Syu’ab al-Iman, dan Ibn Katsir dalam al-Bidayah Wa an-Nihayah.
   
Sa’ad ibn Abi Waqqash. Beliau adalah salah seorang sahabat Rasulullah terkemuka. Dalam berdzikir beliau menggunakan kerikil dan biji-biji kurma. Diriwayatkan oleh Ibn Sa’d dalam kitab ath-Thabaqat al-Kubra, dan Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf.
   
Abu Hurairah. Sahabat Rasulullah terkemuka ini memiliki benang dengan simpulannya sebanyak dua ribu bundelan. Sebelum tidur beliau berdzikir dengan menggunakan alat ini hingga selesai. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyah al-Awliya’, ‘Abdullah ibn Ahmad dalam kitab Zawa-id az-Zuhd, adz-Dzahabi dalam kitab Tadzkirah al-Huffazh dan Siyar A’lam an-Nubala’. Juga diriwayatkan bahwa Abu Hurairah berdzikir dengan mempergunakan biji kurma atau kerikil sebagaimana disebutkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan, dan Ahmad ibn Hanbal dalam kitab Musnad.
   
Abu ad-Darda’. Sahabat Rasulullah ini berdzikir dengan biji kurma ‘Ajwah, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam kitab az-Zuhd.
   
Abu Sa’id al-Khudri. Sahabat Rasulullah ini berdzikir dengan biji-bijian seperti yang dituturkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf.
    
Abu Muslim al-Khaulani, sebagaimana dituturkan oleh Abu al-Qasim ath-Thabari.
  
 Al-Imam al-Junaid al-Baghdadi. Beliau adalah pemimpin kaum sufi (Sayyid ath-Tha’ifah ash-Shufiyyah). Dalam berdzikir beliau mempergunakan untaian tasbih, sebagaimana dituturkan oleh Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat al-A’yan, al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab Tarikh Baghdad, dan al-Qadli ‘Iyadl dalam kitab al-Ghun-yah --Fahrasah Syuyukh al-Qadli ‘Iyadl--).
  
 Al-Hafizh al-Muhaddits al-Mujtahid Yahya ibn Sa’id al-Qaththan. Belaiu adalah ulama terkemuka yang telah mencapai derajat mujtahid mutlak. (w 198 H). dalam berdzikir selalu mempergunakan untaian tasbih, seperti yang dituturkan oleh adz-Dzahabi dalam kitab Tadzkirah al-Huffazh dan kitab Siyar A’lam an-Nubala’.
   
Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani. Ahli hadits terkemuka, yang digelar dengan “Amir al-Mu’minin Fi al-Hadits”. Dalam berdzikir beliau mempergunakan untaian tasbih, sebagaimana diituturkan oleh muridnya sendiri, yaitu al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab al-Jawahir Wa ad-Durar.
   
Abu Sa’id ‘Abd as-Salam ibn Sa’id ibn Hubaib al-Maliki (w 240 H) yang lebih dikenal dengan nama Sahnun. Beliau mengalungkan tasbih di lehernya dan berdzikir dengannya, seperti dituturkan oleh adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala’.
  
Al-Kharsyi al-Maliki (w 1101 H). Penulis Hasyiyah ‘Ala Mukhtashar Khalil, atau yang di sebut dengan Hasyiyah al-Kharsyi. Dan masih banyak para ulama lainnya.

Perkataan Sebagian Ulama Tentang Tasbih
   
Perkataan al-Junaid al-Baghdadi. Al-Qadli ‘Iyadl al-Maliki dalam kitab al-Ghun-yah, (Fahrasat Syuyukh al-Qadli ‘Iyadl). (Kitab berisi tentang guru-guru al-Qadli ‘Iyadl sendiri), meriwayatkan dari salah seorang gurunya, bahwa guru al-Qadli ‘Iyadl ini berkata:

    سَمِعْتُ أَبَا إِسْحَاقَ الْحَبَّالَ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ أَبَا الْحَسَنِ بْنَ الْمُرْتَفِقَ الصُّوْفِيَّ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ أَبَا عَمْرِو بْنَ عَلْوَانَ وَقَدْ رَأَيْتُ فِيْ يَدِهِ سُبْحَةً فَقُلْتُ: يَا أُسْتَاذُ مَعَ عَظِيْمِ إِشَارَتِكَ وَسَنِيِّ عِبَارَتِكَ وَأَنْتَ مَعَ السُّبْحَةِ فَقَالَ لِيْ: كَذَا رَأَيْتُ الْجُنَيْدَ بْنَ مُحَمَّدٍ وَفِيْ يَدِهِ سُبْحَةٌ فَسَأَلْتُهُ عَمَّا سَأَلْتَنِيْ عَنْهُ فَقَالَ لِيْ: كَذَا رَأَيْتُ أُسْتَاذِيْ بِشْرَ بْنَ الْحَارِثِ وَفِيْ يَدِهِ سُبْحَةٌ فَسَأَلْتُهُ عَمَّا سَأَلْتَنِيْ عَنْهُ فَقَالَ لِيْ: كَذَا رَأَيْتُ عَامِرَ بْنَ شُعَيْبٍ وَفِيْ يَدِهِ سُبْحَةٌ فَسَأَلْتُهُ عَمَّا سَأَلْتَنِيْ عَنْهُ فَقَالَ لِيْ: كَذَا رَأَيْتُ أُسْتَاذِيْ الْحَسَنَ بْنَ أَبِيْ الْحَسَنِ الْبِصْرِيَّ وَفِيْ يَدِهِ سُبْحَةٌ فَسَأَلْتُهُ عَمَّا سَأَلْتَنِيْ عَنْهُ فَقَالَ لِيْ: يَا بُنَيَّ، هذَا شَىْءٌ كُنَّا اسْتَعْمَلْنَاهُ فِيْ الْبِدَايَاتِ مَا كُنَّا بِالَّذِيْ نَتْرُكُهُ فِيْ النِّهَايَاتِ، أُحِبُّ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ تَعَالَى بِقَلْبِيْ وَيَدِيْ وَلِسَانِيْ.

    “Aku mendengar Abu Ishaq al-Habbal berkata: Aku mendengar Abu al-Hasan ibn al-Murtafiq ash-Shufi berkata: Aku mendengar Abu ‘Amr ibn ‘Alwan berkata ketika aku melihat tasbih di tangannya dan aku berkata kepadanya: “Wahai Guru-ku, dengan keagungan isyaratmu dan ketinggian tutur katamu masih juga-kah engkau menggunakan tasbih?!”. Beliau berkata kepadaku: “Demikian ini aku melihat al-Junaid ibn Muhammad dan di tangannya ada tasbih, lalu aku bertanya kepadanya tentang apa yang engkau tanyakan kepadaku, maka al-Junaid berkata kepadaku: Demikian ini aku melihat guruku Bisyr ibn al-Harits dan di tangannya ada tasbih, lalu aku bertanya kepadanya tentang apa yang engkau tanyakan kepadaku, maka Bisyr berkata kepadaku: Demikian ini aku melihat ‘Amir ibn Syu’aib dan di tangannya ada tasbih, lalu aku bertanya kepadanya tentang apa yang engkau tanyakan kepadaku, maka ‘Amir berkata kepadaku: Demikian ini aku melihat guruku; al-Hasan ibn Abu al-Hasan al-Bashri dan di tangannya ada tasbih, lalu aku bertanya kepadanya tentang apa yang engkau tanyakan kepadaku, maka al-Hasan berkata kepadaku: “Wahai anak-ku, tasbih ini adalah alat yang kita pakai saat kita memulai mujahadah kita, dan kita tidak akan pernah meninggalkannya di saat kita telah sampai pada puncak tingkatan kita sekarang. Aku ingin berdzikir; menyebut Allah dengan hati, tangan dan lidahku”[6].

2. al-Imam an-Nawawi (w 676 H) dalam kitab Tahdzib al-Asma’ Wa al-Lughat, menuliskan sebagai berikut:

 وَالسُّبْحَةُ بِضَمِّ السَّيْنِ وَإِسْكَانِ الْبَاءِ خَرَزٌ مَنْظُوْمَةٌ يُسَبَّحُ بِهَا مَعْرُوْفَةٌ تَعْتَادُهَا أَهْلُ الْخَيْرِ مَأْخُوْذَةٌ مِنَ التَّسْبِيْحِ. 

 “Subhah -dengan harakat dlammah pada huruf sin dan ba’ yang di-sukun-kan- adalah sesuatu yang dirangkai dan digunakan untuk berdzikir, umum diketahui dan biasa digunakan oleh Ahl al-Khair. Subhah diambil dari kata Tasbih”[7].

Mari kita renungkan perkataan al-Imam an-Nawawi: “Ta’taduha Ahl al-Khair”, artinya; Tasbih adalah alat yang biasa digunakan oleh Ahl al-Khair, yakni biasa digunakan oleh para Atqiya’, orang-orang yang mulia dan orang-orang saleh, serta lainnya. Demikian juga para wali Allah menggunakannya. Apakah pantas bila kemudian ada orang  berkata: “Menggunakan tasbih adalah kebiasaan ahli bid’ah dan orang-orang musyrik?!”. Hasbunallah.

3. al-‘Allamah asy-Syaikh  Ibn ‘Allan dalam Syarh al-Adzkar, menuliskan sebagai:

 وَحَاصِلُ ذلِكَ أَنَّ اسْتِعْمَالَهَا فِيْ أَعْدَادِ الأَذْكَارِ الْكَثِيْرَةِ -الَّتِيْ يُلْهِيْ الاشْتِغَالُ بِهَا عَنْ التَّوَجُّهِ لِلذِّكْرِ- أَفْضَلُ مِنَ الْعَقْدِ بِالأَنَامِلِ وَنَحْوِهِ، وَالْعَقْدُ بِالأَنَامِلِ فِيْمَا لاَ يَحْصُلُ فِيْهِ ذلِكَ سِيَّمَا الأَذْكَارُ عَقِبَ الصَّلاَةِ وَنَحْوُهَا أََفْضَلُ، وَاللهُ أَعْلَمُ.   

“Kesimpulannya, bahwa menggunakan tasbih dalam bilangan atau jumlah dzikir yang banyak -yang jika seseorang sibuk dengan bilangan yang banyak tersebut hingga ia tidak dapat konsentrasi dalam dzikir- hal itu lebih afdlal daripada menghitung dengan jari-jari tangan dan semacamnya. Sedangkan menghitung dengan jari-jari tangan dalam dzikir-dzikir yang tidak mengganggu konsentrasinya, apalagi seperti dzikir seusai shalat dan semacamnya, maka itu lebih afdlal (dari pada menghitung dengan tasbih)”[8].

Karenanya banyak dari para ulama kita yang memfatwakan kebolehan berdzikir dengan mempergunakan tasbih. Bahkan banyak pula di antara mereka yang menulis karangan khusus tentang kebolehan berdzikir dengan tasbih ini. Di antaranya adalah: al-Hafizh as-Suyuthi yang telah menulis risalah berjudul al-Minhah Fi as-Subhah, al-Hafizh Ibn Thulun menulis al-Mulhah Fima Warada Fi Ashl as-Subhah, Ibn Hamdun dalam Hasyiyah-nya, Ibn Hajar al-Haytami dalam al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, al-Muhaddits Muhammad Ibn ‘Allan ash-Shiddiqi asy-Syafi’i dalam I-qad al-Mashabih Li Masyru’iyyah Ittikhadz al-Masabih, Muhammad Amin ibn ‘Umar yang lebih dikenal dengan nama Ibn ‘Abidin dalam Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘Ala ad-Durr al-Mukhtar, al-Muhaddits Syekh ‘Abdullah al-Ghumari dalam Itqan ash-Shan’ah Fi Tahqiq MA’na al-Bid’ah, al-Hafizh al-Muhaddits asy-Syekh ‘Abdullah al-Harari dalam at-Ta’aqqub al-Hatsits dan Nushrah at-Ta’aqqub, serta masih banyak para ulama lainnya.

Kerancuan Kalangan Yang Membid’ahkan Dan Mengharamkan Tasbih


Sebagian kalangan yang mengharamkan mempergunakan tasbih secara membabi buta karena kebodohannya berkata: “Memakai tasbih adalah kebiasaan dan lambang orang-orang Nasrani”..

Jawab:
           
Hasbunallah. Pernyataan seperti ini sangat gegabah dan sangat berlebih-lebihan. Tidak pernah ada seorang ulama-pun yang mengatakan seperti ini. Bahkan orang Islam awam sekali-pun tidak mengatakan demikian.

Sebaliknya, seluruh ulama Salaf dan ulama Khalaf mengatakan boleh berdzikir dengan mempergunakan tasbih, dan karenanya banyak di antara mereka yang mengamalkan hal itu.

Para ulama dari empat madzhab, para ulama hadits, para Sufi dan para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah, semuanya sepakat membolehkan penggunaan tasbih dalam hitungan dzikir. Adapun golongan yang menyempal, seperti Wahhabiyyah, yang mengharamkan penggunaan tasbih dalam berdzikir dan menganggapnya sebagai bid’ah yang sesat, adalah faham ekstrim yang baru datang belakangan. Jelas, faham semacam ini menyalahi apa yang telah diyakini oleh mayoritas umat Islam.[9]
           
Padahal al-Imam as-Suyuthi dalam risalah al-Minhah Fi as-Subhah menuliskan sebagai berikut:

 وَقَدْ اِتَّخَذَ السُّبْحَةَ سَادَاتٌ يُشَارُ إِلَيْهِمْ وَيُؤْخَذُ عَنْهُمْ وَيُعْتَمَدُ عَلَيْهِمْ كَأَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، كَانَ لَهُ خَيْطٌ فِيْهِ أَلْفَا عُقْدَةٍ فَكَانَ لاَ يَنَامُ حَتَّى يُسَبِّحَ بِهِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ أَلْفَ تَسْبِيْحَةٍ، قَالَهُ عِكْرِمَةُ. وَفِيْ مَوْضِعٍ ءَاخَرَ: وَلَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ وَلاَ مِنَ الْخَلَفِ الْمَنْعُ مِنْ جَوَازِ عَدِّ الذِّكْرِ بِالسُّبْحَةِ، بَلْ كَانَ أَكْثَرُهُمْ يَعُدُّوْنَهُ بِهَا وَلاَ يَرَوْنَ ذلِكَ مَكْرُوْهًا.

“Tasbih ini telah dipakai oleh para panutan kita, tokoh-tokoh ternama, ulama-ulama sumber ilmu dan sandaran ummat, seperti sahabat Abu Hurairah. Beliau punya benang yang memiliki dua ribu bundelan. Beliau tidak beranjak tidur hingga berdzikir dengannya sebanyak dua belas ribu kali, seperti diriwayatkan oleh ‘Ikrimah”.

Di halaman lain as-Suyuthi berkata: “Tidak pernah dinukil dari seorang-pun, dari ulama Salaf dan ulama Khalaf yang melarang menghitung dzikir dengan tasbih. Melainkan kebanyakan ulama justru menghitung dzikir dengan menggunakan tasbih, dan mereka tidak mengganggap hal itu sebagai perkara makruh”.

Dengan demikian, para panutan kita terdahulu seperti yang disinggung oleh al-Imam as-Suyuthi di atas, baik dari kalangan sahabat Nabi, para tabi’in dan generasi-generasi setelah mereka, yang di antara mereka adalah para ulama atqiya’ dan shalihin, mereka semua banyak yang mempergunakan tasbih dalam menghitung bilangan dzikirnya.

Dari sini kita katakan kepada mereka yang mengharamkan penggunaan tasbih:


“Apakah kalian akan mengatakan bahwa jajaran para ulama Salaf dan para ulama Khalaf tersebut sebagai orang-orang yang menyerupakan diri dengan kaum Nasrani dan menghidupkan lambang-lambang mereka?!

Tidakkah kalian punya rasa malu?! Siapakah diri kalian  hingga kalian berani berkata seperti itu?!

Apakah menurut kalian bahwa para ulama yang membolehkan dan mempergunakan tasbih, seperti al-Hasan al-Bashri, al-Junaid al-Baghdadi, an-Nawawi, Ibn Hajar al-‘Asqalani, as-Suyuthi, Ibn Hajar al-Haitami dan lainnya, bahwa mereka semua tidak memahami agama?!

Apakah menurut kalian bahwa mereka tidak mengetahui hadits mana yang shahih dan hadits mana yang dla’if?!

Apakah menurut kalian bahwa mereka semua tidak bisa membedakan antara sunnah dan bid’ah?! Seharusnya kalian menyadari bahwa sebenarnya kalian sendiri yang pantas disebut sebagai “Ahli Bid’ah”.

[1] Itqan ash-Shun’ah, h. 45

[2]  Syarh al-Misykat, j. 3, h. 54

[3]  at-Ta’qqub al-Hatsits, h. 64-65

[4]  Itqan ash-Shun’ah, h. 45-46

[5] al-Fatwa al-Kubra, j. 1, h. 152

[6] al-Ghunyah, h. 180-181

[7]  Tahdzib al-Asma’ Wa al-Lughat, j. 3, h. 143-144

[8] Syarah al-Adzkar, j. 1, h. 252

[9] Lihat klaim “ahli bid’ah” terhadap orang-orang yang mempergunakan tasbih, diungkapkan oleh salah seorang pemuka Wahhabiyyah, bernama ‘Abdullah ibn Muhammad ibn Abd al-Wahhab, dalam buku berjudul al-Hadiyyah as-Saniyyah, h. 47.

sumber :


 https://www.facebook.com/notes/aqidah-ahlussunnah-allah-ada-tanpa-tempat/berdzikir-menggunakan-tasbih-lengkap-dengan-bantahan-terhadap-kaum-wahabi-yang-m/557539000929680

Jumat, 27 Maret 2015

Keagungan Ilmu

KEUTAMAAN MENUNTUT ILMU
1. Orang yang memperdalam ilmu agama, maka Allah subhanahu wata’ala akan memudahkan jalannya menuju surga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda

ومن سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة

“Dan barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mempermudah baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

2. Orang yang memperdalam ilmu agama maka para Malaikat akan membentangkan sayapnya untuk menaungi mereka karena ridha dengan apa yang mereka cari

إن الملائكة لتضع أجنحتها لطالب العلم رضا بما يطلب

“Dan sesungguhnya malaikat benar-benar akan merendahkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena mereka meridhai apa yang ia pelajari.” (HR. Abu Dawud)

3. Kekuatan ilmu terletak pada tulisan
Nasihat imam asy-syafi’i

العلم صيد والكتابة قيده
قيد صيودك بالحبال الواثقة
فمن الحماقة أن تصيد غزالة
وتتركها بين الخلائق طالقة

“Ilmu itu bagaikan binatang liar, Sedang mencatat adalah pengikatnya
Ikatlah hewan buruanmu dengan tali yang kuat
Adalah bodoh sekali jika anda memburu seekor kijang,
Kemudian anda lepas begitu saja tanpa tali pengikat

4. Kondisi serba kekurangan bukanlah alasan untuk berhenti mencari ilmu

ما أفلح في العلم إلا من طلبه في القلة

“Tiada kebahagiaan dalam menuntut ilmu kecuali mereka yang ketika belajar dalam kondisi serba kekurangan”

5. Pentingnya bermulazamah kepada banyak guru (ulama)

كل العلوم سوى القرآن مشغلة
الا الحد يث وعلم الفقه والد ين
العلم ما كان فيه قال حدثنا 

وما سوى ذلك وسواس الشياطين

“Semua ilmu selain ilmu al-Qur’an adalah pengisi kesibukan
Kecuali ilmu hadits, fiqih dan ilmu –ilmu agama lainnya
Ilmu adalah apa yang diterima melalui mata rantai dari seorang guru
Dan di luar itu adalah merupakan bisikan syetan”

6. Ilmu kalau tidak dipelajari maka ia akan menjadi musuh
Yahya bin Khalid menasihati anaknya

عليك بكل نوع من العلم فخذ منه فإن المرء عدو ما جهل فأنا أكره أن تكون عدو شيئ من العلم

“Pelajarilah banyak ragam ilmu, dan ambillah bagian dari setiap ilmu itu, karena manusia akan menjadi musuh ilmu selagi ia masih bodoh. Dan aku tidak menyukai jika engkau menjadi musuh ilmu.”

7. Carilah ilmu yang bermanfaat (ilmu ad-diin)
Pesan Sufyan bin Uyainah

العلم إذا لم ينفعك ضرك

“Ilmu, kalau tidak memberimu manfaat, maka akan membuatmu rugi.”

8. Ilmu lebih baik daripada harta

العلم خير من المال: العلم يحرسك وأنت تحرس المال، العلم حاكم والمال محكوم عليه مات خزان الأموال وبقي خزان العلم أعينهم مفقودة وأشخاصهم في القلب موجودة

“Ilmu itu lebih baik dari harta; ilmu akan menjagamu, sedangkan harta, engkaulah yang akan menjaganya. Ilmu adalah hakim sedangkan harta adalah yang dihakimi. Para pemilik harta akan mati, sedangkan para pemilik ilmu akan tetap dikenang. Jasad mereka tiada, akan tetapi kepribadian mereka akan senantiasa dikenang dalam hati.” (Ali bin Abi Thalib)

9. Mintalah kepada Allah subhanahu wata’ala ilmu yang bermanfaat

اللهم إني أسئلك علما نافعا ورزقا طيبا وعملا متقبلا

“Ya Allah, aku memohon kepadaMu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik dan amal yang diterima.” (HR. Ahmad)

10. Ilmu itu luas, maka prioritaskanlah yang terpenting dahulu
Pesan Imam Asy-Sya’bi

العلم أكثر من عدد الشعر، فخذ من كل شيئ أحسنه

“Ilmu itu lebih banyak dari bilangan rambut, maka ambillah mulai dari segala yang terpenting dahulu.”

11. Seseorang tidak akan meraih ilmu kecuali setelah bersusah payah
Pesan Ibnu Jauzy

العلم لا يحصل إلا بالنصب، والمال لا يجمع إلا بالتعب، واسم الجواد لا يناله بخيل، ولا يلقب بالشجاع إلا بعد تعب طويل

“Ilmu tidak akan bisa diraih kecuali dengan bersusah payah. Harta tidak akan terkumpul kecuali dengan berlelah-lelah. Gelar dermawan tidak bisa diraih oleh orang yang pelit. Dan seseorang tidak akan meraih gelar pemberani kecuali setelah melalui perjuangan yang panjang.”

12. Curahkanlah jiwa ragamu seluruhnya untuk mencari ilmu
Pesan Rabi’ah Ar-Ra’yi

إن العلم لا يعطيك بعضه إلا إذا أعطيته نفسك كلها

“Sesungguhnya ilmu tidak akan memberimu sebagiannya, kecuali jika kamu memberikan seluruh jiwamu untuk mendapatkannya.”

13. Ancaman bagi orang yang beramal karena mengharapkan selain Allah
Pesan Rabi’ bin Khutsaim

كل ما لا يبتغى به وجه الله يضمحل

“Setiap amal yang bukan karena wajah Allah, maka akan lenyap (sia-sia).”

14. Janganlah beramal tanpa ilmu
Nasihat Imam Bukhari

العلم قبل القول والعمل

“Berilmu sebelum berucap dan berbuat.”

15. Enam hal pendukung tercapainya ilmu
Pesan Imam Asy-Syafi’i

لن تنال العلم إلا بستة: ذكاء وحرص واجتهاد ودرهم وصحبة أستاذ وطول زمان

“Kamu tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam hal: kecerdasan, rakus (ilmu), sungguh-sungguh, dirham (biaya), bergaul dengan ustadz dan butuh waktu lama.”

16. Tawadhu’ (berendah hati) dalam mencari ilmu

المتواضع من طلاب العلم أكثرهم علما كما أن المكان المنخفض أكثر البقاء ماء

“Pelajar yang rendah hati akan lebih banyak menyerap ilmu, seperti tanah yang lebih rendah akan lebih banyak menampung air.”

17. Ilmu lebih manis dari madu
Ungkapan Ibnu Al-Jauzy

كنت في حلاوة طلبي العلم ألقي من الشدائد ما هو عندي أحلى من العسل

“Aku merasakan nikmatnya menuntut Ilmu, hingga rintangan berat yang kualami terasa lebih manis dari madu.”

18. Seorang yang sombong tidak akan pernah beruntung selamanya dalam mencari ilmu
Pesan Imam An-Nawawi

العلم حرب للفتى المتعالي، كالسيل حرب للمكان العالي

“Ilmu itu pantangan bagi anak yang sombong sebagaimana aliran air pantangan untuk naik ke tempat yang tinggi.”

19. Tiga sumber yang bisa mendatangkan ilmu

العلم مطلعها من ثلاثة أوجه: قلب مفكر ولسان معبر وبيان مصور

“Ilmu itu bersumber dari tiga hal: hati yang selalu berfikir, lisan yang pandai mengungkapkan dan penjelasan yang gamblang.”

20. Menulis dan menghafal adalah kunci mendapatkan ilmu
Nasihat Abu Hatim Ar-Raazi

اكتب أحسن ما تسمع واحفظ أحسن ما تكتب

“Tulislah apa-apa yang terbaik dari yang kamu dengar dan hafalkanlah apa-apa yang terbaik dari yang kamu tulis.”

21. Sering muraja’ah (mengulang-ulang) ilmu yang sudah di dapat

من أكثر المذاكرة بالعلم لم ينس ما علم واستفاد ما لم يعلم

“Barangsiapa yang banyak mengulang-ulang pelajaran maka ia tidak akan lupa dengan ilmu yang dipelajarinya dan akan memahami sesuatu yang belum diketahuinya.”

22. Pentingnya seorang ‘alim mengamalkan ilmunya sebelum menasihati orang lain

إن العالم إذا لم يعمل بعلمه زلت موعظته عن القلوب كما تزل القطرة عن الصفا

“Apabila seorang alim tidak mengamalkan ilmunya maka nasihatnya akan meleset dari hati sebagaimana embun yang jatuh lalu hilang dari atas batu cadas yang licin.” (Malik bin Dinar)

23. Orang yang banyak bersantai tidak akan mendapatkan ilmu

لا يأتي العلم براحة الجسد

“Ilmu itu tidak didapatkan dengan cara bersantai-santai.” (Yahya bin Abi Katsir)

24. Pentingnya kontinuitas dalam mencari ilmu

أن هذا العلم إن أخذته بالمكابرة غلبك، ولم تظفر منه بشيئ، ولكن خذه مع الأيام والليالي أخذا رفيقا تظفر به

“Sesungguhnya jika ilmu ini engkau pelajari sekaligus, maka ia akan mengalahkanmu, sehingga engkau tidak mendapatkan apa-apa darinya. Akan tetapi pelajarilah ilmu di waktu siang dan malam, jadikan ia sebagai sahabat karib sehingga engkau menuai sukses dengannya.” (Az-Zuhri)

25. Ilmu itu adalah harta kekayaan

العلم خزائن يقسم الله لمن احب

“Ilmu adalah harta kekayaan, Allah membagikannya kepada siapa yang dicintai-Nya.” (Ahmad bin Hanbal)

26. Al-Qur’an adalah kalam Allah

القرآن كلام الله تعالى، وليس بمخلوق

“Al-Qur’an itu adalah kalam Allah Ta’ala, bukan makhluq.”

27. Ilmu didapatkan dari lisan banyak bertanya dan hati banyak berpikir

قيل لابن عباس: أنى اصبت هذا العلم؟ قال: لسان سؤول، وقلب عقول

Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu ditanya, “Darimanakah Anda mendapatkan ilmu sebanyak ini?” “Aku mendapatkannya dengan lisan banyak bertanya dan hati yang banyak berpikir.”

28. Cintailah orang yang berilmu jika tak mampu mencari ilmu

اطلبوا العلم فإن عجزتم فأحبوا أهله فإن لم تحبوهم فلا تبغضوهم

“Carilah ilmu, jika engkau tidak mampu, maka cintailah orang-orang yang berilmu,jika kalian tidak bisa juga maka janganlah kalian membenci mereka.” (Abu Darda)

29. Buku adalah teman terbaik

خير جليس في كل زمان كتاب

“Sebaik-baik teman di setiap waktu adalah buku.”

30. Ilmu adalah hiasan

Nasihat mush’ab bin Zubair

تعلم العلم فإن يكن لك مال كان لك جمال، فإن لم يكن لك مال كان لك مال

“Pelajarilah ilmu, jika engkau memiliki harta maka ilmu itu akan menjadi hiasan bagimu, jika tidak, maka ilmu itu sudah cukup
menjadi hartamu.”


wallohu a'lam