Minggu, 03 September 2017

Tunangan JANGANLAH MENIKAH KARENA PAKSAAN

JANGANLAH MENIKAH KARENA PAKSAAN ( MEMAKNAI PERJODOHAN YANG DIPAKSAKAN DALAM SUDUT PANDANG HUKUM NEGARA DAN HUKUM AGAMA ISLAM )

Surat An-Nisa' Ayat 19

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا


Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
 
“[4:19] Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Perjodohan yang dipaksakan atau dikenal dengan “Kawin paksa” dalam arti bahasa berasal dari dua kata “kawin” dan “paksa”. Kawin dalam kamus Bahasa Indonesia berarti perjodohan antara laki-laki dan perempuan sehingga menjadi suami dan istri, sedangkan paksa adalah perbuatan (tekanan, desakan dan sebagainya) yang mengharuskan (mau tidak mau atau dapat harus…). Sedangkan dalam kamus ilmiah popular paksa adalah mengerjakan sesuatu yang diharuskan walaupun tidak mau. Jadi kedua kata tersebut jika digabungkan akan menjadi kawin paksa yang berarti suatu perkawinan yang dilaksanakan tidak atas kemauan sendiri (jadi karena desakan atau tekanan) dari orang tua ataupun pihak lain yang mempunyai hak untuk memaksanya menikah.

Sedangkan secara istilah fiqih kawin paksa merupakan salah satu fenomena sosial yang timbul akibat tidak adanya kerelaan diantara pasangan untuk menjalankan perkawinan, tentunya ini merupakan gejala sosial dan masalah yang timbul ditengah-tengah masyarakat kita. Kawin paksa ini muncul tentunya banyak motiv yang melatar belakanginya, misalnya ada perjanjian diantara orang tua yang sepakat akan menjodohkan anaknya, ada juga karena faktor keluarga, atau bahkan ada karena calon mertua laki-laki kaya.
Secara hukum kawin paksa adalah perkawinan yang dilaksanakan tanpa didasari atas persetujuan kedua calon mempelai, hal ini bertentangan dengan pasal 6 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi: “Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”. Syarat pernikahan pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan. Adanya persetujuan kedua calon mempelai sebagai salah satu syarat perkawinan dimaksudkan agar supaya setiap orang dengan bebas memilih pasangannya untuk hidup berumah tangga dalam perkawinan. Munculnya syarat persetujuan dalam Undang-Undang Perkawinan, dapat dihubungkan dengan sistem perkawinan pada zaman dulu, yaitu seorang anak harus patuh pada orang tuanya untuk bersedia dijodohkan dengan orang yang dianggap tepat oleh orang tuanya. Sebagai anak harus mau dan tidak dapat menolak kehendak orang tuanya, walaupun kehendak anak tidak demikian. Untuk menanggulangi kawin paksa, Undang-Undang Perkawinan telah memberikan jalan keluarnya, yaitu suami atau istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan dengan menunjuk pasal 27 ayat (1) apabila paksaan untuk itu dibawah ancaman yang melanggar hukum.
Perjodohan adalah salah satu cara yang ditempuh masyarakat dalam menikah. Tak ada ketentuan dalam syariat yang mengharuskan atau sebaliknya melarang perjodohan. Islam hanya menekankan bahwa hendaknya seorang Muslim mencari calon istri yang shalihah dan baik agamanya. Begitu pula sebaliknya.
Pernikahan melalui perjodohan ini sudah lama usianya. Di zaman Rasul saw pun pernah terjadi. Aisyah ra yang kala itu masih kanak-kanak dijodohkan dan dinikahkan oleh ayahnya dengan Rasulullah saw. Setelah baligh, barulah Ummul Mukminin Aisyah tinggal bersama Rasul saw. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan, seorang sahabat meminta kepada Rasul saw agar dinikahkan dengan seorang Muslimah. Akhirnya, ia pun dinikahkan dengan dengan mahar hapalan al-Qur’an. Dalam konteks ini, Rasul saw yang menikahkan pasangan sahabat ini berdasarkan permintaan dari sahabat laki-laki. Meskipun didasarkan pada permintaan, toh perintah pernikahan datang dari orang lain, yaitu Rasul saw. Tentu saja dengan persetujuan dari mempelai perempuan.

Ringkasnya, perjodohan hanyalah salah satu cara untuk menikahkan. Orang tua dapat menjodohkan anaknya. Tapi hendaknya meminta izin dan persetujuan dari anaknya, agar pernikahan yang diselenggarakan, didasarkan pada keridhaan masing-masing pihak, bukan keterpaksaan. Pernikahan yang dibangun di atas dasar keterpaksaan, jika terus berlanjut, akan mengganggu keharmonisan rumah tangga. Wallahu a’lam.
Dalam pernikahan ada syarat-syarat yang wajib dipenuhi. Salah satunya adalah kerelaan calon isteri. Wajib bagi wali untuk menanyai terlebih dahulu kepada calon isteri, dan mengetahui kerelaannya sebelum diaqad nikahkan. Perkawinan merupakan pergaulan abadi antara suami isteri. Kelanggengan, keserasian, persahabatan tidaklah akan terwujud apabila kerelaan pihak calon isteri belum diketahui. Islam melarang menikahkan dengan paksa, baik gadis atau janda dengan pria yang tidak disenanginya. Akad nikah tanpa kerelaan wanita tidaklah sah. Ia berhak menuntut dibatalkannya perkawinan yang dilakukan oleh walinya dengan paksa tersebut (Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 7).

Perjodohan yang dilakukan orang tua untuk anak, hanyalah salah satu jalan untuk menikahkan anaknya itu dengan seseorang yang dianggap tepat menurut mereka. Padahal tepat menurut orang tua belum tentu tepat menurut sang anak. Orang tua boleh-boleh saja menjodohkan anaknya dengan orang lain, tapi hendaknya tetap meminta izin dan persetujuan dari anaknya, agar pernikahan yang dilaksanakan nantinya berjalan atas keridhoan masing-masing pihak, bukan keterpaksaan. Karena pernikahan yang dibangun di atas dasar keterpaksaan adalah harom hukumnya, dan jika terus berlanjut, hanya akan mengganggu keharmonisan dalam berumah tangga anaknya kelak.
Dan orang tua, hendaknya tidak semena-mena terhadap anak. Jangan karena anaknya enggan menerima tawaran dari orang tua, lalu mengatakan kepada anaknya bahwa dia adalah anak yang durhaka, jangan! Tapi hendaknya orang tua harus memahami kondisi psikologis sang anak dan harapan akan jodoh yang diidamkannya. Sebab bila dilihat dari pertimbangan-pertimbangan syar’i, hak-hak anak sangat diperhatikan. Islam datang untuk memfasilitasi antara hak-hak dan kewajiban seorang anak untuk menikah tanpa sama sekali melepaskan peran orang tua di dalamnya.

Coba kita tengok sekilas kisah di zaman Rasul dulu. Suatu ketika Habibah binti Sahl datang kepada Rasulullah SAW. Dia berkata, “Kalau bukan karena takut kepada Allah ketika dia masuk, niscaya sudah kuludahi mukanya.”
Memang sebelumnya Habibah belum pernah melihat suaminya sampai saat malam pertama tiba. Sebagaimana wanita di zamannya, dia masih percaya pada orang tua dalam memilih jodoh. Tak terpikir olehnya, bahwa orang tua yang dicintainya akan tega memilihkan suami untuk dirinya seperti Tsabit bin Qois, yang baik kadar imannya namun buruk rupanya.
Habibah mengungkapkan kekecawaannya pada Rasul, “Ya Rasulullah, aku mempunyai wajah yang cantik sebagaimana engkau lihat, sedang Tsabit adalah laki-laki yang buruk rupanya.” Inilah yang telah membuat Habibah tidak bisa sepenuhnya menerima Tsabit sebagai suaminya, tentu masih dengan masalah klasik : wajah.
“Wahai Rasulullah, kepalaku tidak dapat bertemu dengan kepala Tsabit selamanya. Aku pernah menyingkap kemah, lalu aku melihat dia sedang bersiap-siap, ternyata ia sangat hitam kulitnya, sangat pendek tubuhnya, dan sangat buruk wajahnya. Ya Rasulullah, aku tidak mencela akhlak maupun agama suamiku. Tapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam,” tukas Habibah.
Rasulullah SAW bertanya, “Maukah engkau mengembalikan kebun pemberian suamimu?”
Habibah menjawab, “Ya,”
Maka Rasulullah SAW bersabda, “Terimalah kebun itu hai Tsabit, dan jatuhkanlah talak satu kepadanya!”
Atas perintah rasul, akhirnya mereka bercerai. Inilah kisah khulu’ (gugatan cerai istri kepada suami) yang terjadi pertama kali dalam sejarah hukum Islam.
Sedang di sisi lain, banyak pula para sahabat yang menikah tanpa melalui proses perjodohan. Salah satu contohnya, sahabat Rasul, Jabir ra, yang menikahi seorang janda. Rasulullah bertanya kepadanya mengapa tidak menikahi seorang gadis agar dapat bersenda gurau dengannya. Jabir ra beralasan, karena dia punya adik kecil-kecil yang masih butuh asuhan sehingga ia menikahi janda tersebut.
Hukum Pernikahan karena Paksaan Orang Tua

Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى‎ ‎تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ‏‎ ‎الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ‏‎ ‎قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ‏‎ ‎وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ‏‎ ‎تَسْكُتَ

“Tidak boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui izinnya?” Beliau menjawab, “Dengan ia diam.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 1419)

Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الثَّيِّبُ أَحَقُّ‏‎ ‎بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا‎ ‎وَالْبِكْرُ يَسْتَأْذِنُهَا‎ ‎أَبُوهَا فِي نَفْسِهَا‎ ‎وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا

“Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan maka ayahnya harus meminta persetujuan dari dirinya. Dan persetujuannya adalah diamnya.” (HR. Muslim no. 1421)

Dari Khansa’ binti Khidzam Al-Anshariyah radhiallahu anha:

أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا‎ ‎وَهِيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ‏‎ ‎ذَلِكَ فَأَتَتْ النَّبِيَّ‏‎ ‎صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ‏‎ ‎وَسَلَّمَ فَرَدَّ نِكَاحَهَا

>>

 عن حنز بنتى حدزام الانصرى :  أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذَلِكَ فَأَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ نِكَاحَهَا (رواه البخرى ٥١٣٨)


“Bahwa ayahnya pernah menikahkan dia -ketika itu dia janda- dengan laki-laki yang tidak disukainya. Maka dia datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (untuk mengadu) maka Nabi shallallahu alaihi wasallam membatalkan pernikahannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5138)
Al-Bukhari memberikan judul bab terhadap hadits ini, “Bab: Jika seorang lelaki menikahkan putrinya sementara dia tidak senang, maka nikahnya tertolak (tidak sah).”

Penjelasan ringkas:

Di antara kemuliaan yang Allah Ta’ala berikan kepada kaum wanita setelah datang Islam adalah bahwa mereka mempunyai hak penuh dalam menerima atau menolak suatu lamaran atau pernikahan, yang mana hak ini dulunya tidak dimiliki oleh kaum wanita di zaman jahiliah. Karenanya tidak boleh bagi wali wanita manapun untuk memaksa wanita yang dia walikan untuk menikahi lelaki yang wanita itu tidak senangi.
Karena menikahkan dia dengan lelaki yang tidak dia senangi berarti menimpakan kepadanya kemudharatan baik mudharat duniawiah maupun mudharat diniah (keagamaan). Dan sungguh Nabi shallallahu alaihi wasallam telah membatalkan pernikahan yang dipaksakan dan pembatalan ini menunjukkan tidak sahnya, karena di antara syarat sahnya pernikahan adalah adanya keridhaan dari kedua calon mempelai.
Akan tetapi larangan memaksa ini bukan berarti si wali tidak punya andil sama sekali dalam pemilihan calon suami wanita yang dia walikan. Karena bagaimanapun juga si wali biasanya lebih pengalaman dan lebih dewasa daripada wanita tersebut. Karenanya si wali disyariatkan untuk menyarankan saran-saran yang baik lalu meminta pendapat dan izin dari wanita yang bersangkutan sebelum menikahkannya. Tanda izin dari wanita yang sudah janda adalah dengan dia mengucapkannya, sementara tanda izin dari wanita yang masih perawan cukup dengan diamnya dia, karena biasanya perawan malu untuk mengungkapkan keinginannya.
Berikut beberapa fatwa ulama seputar permasalahan ini.
Perbuatan Seorang Ayah Memaksa Putrinya untuk Menikah adalah Haram
Fadhilah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya:
Saya memiliki saudara perempuan seayah, kemudian ayah saya menikahkannya dengan laki-laki tanpa keridhaannya dan tanpa meminta pertimbangan kepadanya, padahal dia telah berumur 21 tahun. Ayah saya telah mendatangkan saksi palsu atas akad nikahnya, bahwa dia (saudari saya) menyetujui akan hal tersebut. Dan ibunya ikut terjerumus menjadi pengganti dia dalam mengadakan akad. Demikianlah, akad pun selesai dalam keadaan saudari saya senantiasa meninggalkan suaminya tersebut. Apa hukum akad nikad itu dan persaksian palsu tersebut?
Maka beliau rahimahullah menjawab:
Saudari perempuan tersebut, apabila dia masih gadis dan dipaksa oleh ayahnya untuk menikah dengam laki-laki tersebut, sebagian ahlul ilmi berpendapat sahnya nikah tersebut. Dan mereka memandang bahwa sang ayah berhak untuk memaksa putrinya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak disenangi putrinya apabila laki-laki tersebut sekufu’ [1] dengannya. Akan tetapi pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini, bahwasanya tidak halal bagi sang ayah atau selainnya memaksa anak yang masih gadis untuk menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya, meskipun sekufu’. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Wanita gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izinnya.”
Ini umum, tidak ada seorang wali pun yang dikecualikan darinya. Bahkan telah warid dalam “Shahih Muslim”:
“Wanita gadis, ayahnya harus minta izin kepadanya.”
Hadits ini memberikan nash atas wanita gadis dan nash atas ayahnya. Nash ini, apabila terjadi perselisihan (antara ayah dan putrinya), maka wajib untuk kembali kepada nash ini. Berdasarkan hal ini, maka perbuatan seseorang memaksa putrinya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya adalah perbuatan haram. Sedang sesuatu yang haram tidak sah dan tidak pula berlaku. Sebab pemberlakuan dan pengesahannya bertentangan dengan larangan yang warid dalam masalah ini. Dan apa saja yang dilarang syariat ini maka sesungguhnya menginginkan dari umat ini agar tidak mengaburkan dan melakukannya. Kalau kita mengesahkan pernikahan tersebut, maknanya kita telah mengaburkan dan melakukan larangan tersebut serta menjadikam akad tersebut sama dengan akad nikah yang diperbolehkan oleh Pembuat syariat ini. Ini adalah suatu perkara yang tidak boleh terjadi. Maka berdasarkan pendapat yang rajih ini, perbuatan ayah anda menikahkan putrinya tersebut dengan laki-laki yang tidak disukainya adalah pernikahan yang fasid (rusak), wajib untuk mengkaji ulang akad tersebut di hadapan pihak mahkamah.
Adapun bagi saksi palsu, maka dia telah melakukan dosa besar sebagaimana tsabit dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda:
“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang dosa besar yang paling besar?”
Kemudian beliau pun menyebutkannya dan pada waktu itu beliau bersandar kemudian duduk dan mengatakan
“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang dosa besar yang paling besar? Maka kami (para shahabat) menjawab: “Tentu ya Rasulullah!” Beliau bersabda: “Menyekutukan Allah Azza wa Jalla dan durhaka kepada orang tua.” Pada waktu itu beliau bersandar kemudian duduk seraya mengatakan: “Ingatlah, dan perkataan dusta, ingatlah, dan perkataan dusta, ingatlah, dan persaksian palsu…!” Beliau terus mengulanginya hingga para shahabat mengatakan, “Semoga beliau diam”.
Mereka adalah orang-orang yang telah melakukan persaksian palsu. Wajib bagi mereka untuk bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan mengatakan perkataan yang haq (benar), dan hendaknya dia menjelaskan kepada hakim yang resmi bahwa mereka telah melakukan persaksian palsu dan bahwasanya mereka mencabut kembali persaksian tersebut. Demikian juga si ibu, yang mana dia telah terjerumus menggantikan putrinya dengan dusta, dia telah berdosa dengan perbuatan tersebut dan wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak melakukan kembali perbuatan yang semisalnya. [Fatawa Al-Mar’ah]
Tidak Boleh Seorang Ayah Memaksa Putranya untuk Menikah dengan Wanita yang Tidak Disenanginya
Fadhilah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin juga ditanya:
Apa hukumnya jika seorang ayah ingin menikahkan putranya dengan wanita yang bukan shalihah? Dan apa hukumnya apabila dia tidak mau menikahkannya dengan wanita yang shalihah?
Maka beliau rahimahullah pun memberi jawaban:
Tidak boleh seoramg ayah memaksa putranya untuk menikahi wanita yang tidak disukainya, baik dikarenakan aib yang ada pada wanita tersebut berupa aib dien, tubuhnya atau akhlaknya. Betapa banyak orang-orang yang menyesal ketika memaksa anak-anaknya untuk menikah dengan wanita-wanita yang tidak disukainya. Akan tetapi, dia mengatakan: “Nikahilah dia, sebab dia itu anak saudaraku atau karena dia itu dari kabilahmu” dan alasan yang lainnya. Maka tidak mengharuskan bagi si anak untuk menerimanya dan tidak boleh bagi orang tua untuk memaksa putranya agar menikahi wanita tersebut. Demikian juga, kalau seandainya si anak ingin menikah dengan wanita yang shalihah, kemudian sang ayah menghalang-halanginya, maka hal itu tidak mengharuskan bagi si anak untuk mentaatinya, apabila si anak memang senang dengan wanita shalihah tersebut dan ayahnya mengatakan, “Kamu tidak boleh nikah dengannya!” maka boleh baginya untuk menikah dengan wanita tersebut walaupun dihalang-halangi oleh ayahnya. Sebab seorang anak tidak harus taat kepada ayahnya dalam perkara yang tidak membahayakan ayahnya, bahkan justru bermanfaat bagi ayahnya. Kalau kita katakan bahwasanya wajib bagi seorang anak menaati orang tuanya dalam segala sesuatu hingga dalam permasalahan yang di dalamnya terdapat manfaat bagi si anak dan tidak membahayakan ayahnya, niscaya akan timbul berbagai kerusakan. Akan tetapi dalam keadaan seperti ini, hendaknya seorang anak bersikap luwes terhadap ayahnya, lemah lembut dalam memahamkannya dan semampunya berusaha agar ayahnya merasa lega. [Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makky, jilid 3 hal. 224]
Hukum Nikah Paksa bagi Janda
Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya tentang hukum seorang anak perempuan yang dinikahkan ayahnya tanpa ada ridha darinya, di mana ketika itu ia telah menjanda, ia telah menikah sebelumnya dengan seorang pria.
Jawaban:
Apabila kondisinya sebagaimana yang anda gambarkan maka nikahnya yang terakhir adalah tidak sah. Karena termasuk syarat-syarat pernikahan adalah adanya ridha dari kedua pasangan (suami-istri). Seorang janda tidak boleh dipaksa oleh ayahnya apabila ia telah berumur lebih dari 9 tahun (para ulama dalam hal ini pendapatnya sama). [Fatawa wa Rasail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim jilid 10 hal. 80]
Hukum Seorang Janda yang Dipaksa Menikah oleh Ayahnya
Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya tentang hukum seorang janda yang dipaksa ayahnya untuk menikah.
Jawaban:
Khusus pernikahan seorang wanita dengan lelaki putra pamannya, sementara ia dipaksa oleh ayahnya untuk menikah dengan lelaki itu dalam kondisi sebagai seorang janda yang baligh, sehat akalnya dan kesadarannya. Sekarang pernikahan dengan putra pamannya itu telah berjalam selama 10 tahun dalam keadaan suaminya belum pernah menggaulinya. Ia tidak pernah merasa ridha kepada lelaki itu dan sekarang keadaannya semakin buruk. Ia selalu mendesak lelaki itu untuk memutus ikatan pernikahannya.
Kami simpulkan untuk anda, di mana telah jelas di hadapan anda adanya unsur paksaan dari ayah sang wanita untuk melakukan pernikahan dengan putra pamannya. Sedangkan kondisi ketika itu ia seorang janda yang baligh dan berakal sehat, maka pernikahannya itu adalah tidak sah. Karena termasuk syarat sahnya sebuah pernikahan adalah adanya keridhaan dari calon pasangan suami-istri. Bila keduanya tidak ridha atau salah satunya tidak ridha maka pernikahannya tidak sah.
Di dalam pemaksaan seorang ayah kepada anak-anaknya yang masih di bawah umur dan kepada anak-anaknya yang terganggu akalnya (abnormal), juga kepada anak yang masih gadis (bukan janda) untuk melakukan pernikahan, maka dalam hal ini ada dua pendapat.
Sedangkan bagi janda yang telah baligh dan berakal sehat, maka tidak ada khilaf (perselisihan ulama) bahwa sang ayah tidak berhak untuk memaksamya dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. Karena telah diriwayatkan bahwa Al-Khansa bintu Haram Al-Anshariyyah meriwayatkan bahwa ayahnya pernah memaksa ia untuk menikah sementara ia dalam keadaan menjanda. Ia menolaknya dan kemudian mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selanjutnya beliau membatalkan pernikahannya. [Fatawa wa Rasail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim jilid 10 hal. 85-86]
Seorang Anak Perempuan Dinikahkan oleh Ayahnya ketika Masih di Bawah Umur dan ketika Dewasa Ia Merasa Tidak Ridha
Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya tentang hukum seorang anak perempuan yang diserahkan oleh ayahnya kepada seorang lelaki untuk dinikahi, sementara usianya masih kecil, lalu sang ayah meninggal dunia.
Setelah anak perempuan itu baligh, ia menolak penyerahan dirinya yang dilakukan ayahnya dulu, dan ia merasa tidak ridha kepada lelaki (suaminya) itu yang dulu ayahnya telah menyerahkan dirinya kepadanya.
Jawaban:
Apabila keadaannya adalah sebagaimana yang disebutkan, maka tidaklah perbuatan penyerahan yang dimaksud sebagai cara menikahkan yang sah, tidak pula wanita itu dianggap sebagai istri bagi pria tersebut hanya dengan sekedar melakukan apa yang anda sebutkan itu, karena tidak lengkapnya syarat-syarat dari akad nikah yang sah. [Fatawa wa Rasail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim jilid 10 hal. 78.
Hukum Menikahkan Seorang Perempuan Yatim tanpa Seijinnya
Fadhilatusy Syaikh Abdurrahman As-Sa’di ditanya:
Apakah boleh menikahkan seorang anak perempuan yatim tanpa seijinnya?
Jawaban:
Seorang perempuan yatim tidak dibenarkan untuk dinikahkan oleh saudara laki-lakinya kecuali dengan persetujuannya. Dan bentuk persetujuan seorang janda adalah dengan ucapan lisan dan ijinnya, sedangkan persetujuan dari seorang gadis bisa dengan ucapan lisannya bisa pula dengan sikap diamnya sepanjang ia tidak mengucapkan kata “tidak”.
Bila ibunya, bibinya (dari jalur ibu), atau saudara perempuannya mengatakan bahwa ia ridha sebelum ia mengatakannya sendiri, maka tidak perlu ada persaksian (pernyataan) langsung atas persetujuannya. Kecuali bila dikhawatirkan bahwa saudara laki-lakinya atau walinya ingin memaksanya untuk melakukan pernikahan, maka harus ada persaksian (pernyataan) langsung atas persetujuannya. [Al-Majmu’ah Al-Kamilah li Muallafat Asy-Syaikh As-Sa’di hal. 349/7]
Menikahkan Seorang Anak Perempuan dengan Lelaki yang tidak disukainya
Fadhilatusy Syaikh Abdurrahman As-Sa’di ditanya:
Apakah boleh memaksa seorang anak perempuan untuk menikah dengan lelaki yang tidak disukainya?
Jawaban:
Tidak boleh bagi ayah perempuan itu untuk memaksa dan tidak boleh pula bagi ibunya untuk memaksa anak perempuan itu menikah, meski keduanya ridha dengam keadaan agama dari lelaki tersebut. [Al-Majmu’ah Al-Kamilah li Muallafat Asy-Syaikh As-Sa’di hal. 349/7]
Wallahu a’lam bish-shawab.
Footnote:
[1] Lihat pengertian kufu di Batasan Kufu dalam Nikah
Referensi:
Bingkisan ‘tuk Kedua Mempelai karya Abu ‘Abdirrahman Sayyid bin ‘Abdirrahman Ash-Shubaihi (alih bahasa: Abu Hudzaifah), penerbit: Maktabah Al-Ghuroba’, hal. 451-456.
Fatwa-fatwa Ulama Ahlus Sunnah Seputar Pernikahan, Hubungan Suami Istri dan Perceraian disusun oleh Amin bin Yahya Ad-Duwaisi (penerjemah: Abu Abdirrahman Muhammad bin Munir), penerbit: Qaulan Karima, hal. 23-28.
Al-Haddad, Tharir, 1993, Wanita dalam Syariat dan Masyarakat, Pustaka Firdaus, Jakarta.
Djatnika, Rahmat, 1991, “Sosialisasi Hukum Islam” Dalam Abdurrahman Wahid, (et.al.)
Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, Rosda Karya, Bandung.
Engineer, Asghar Ali, 1994, Hak-hak Perempuan dalam Islam, LSPPA & CUSO, Yogyakarta.
Nasution, Khoiruddin, 2002, Status Wanita di Asia Tenggara, INIS, Jakarta.
Mahmood, Thahir, 1987, Personal Law ini Islamic Countries, Academy of Law and Religion,
New Delhi.
Rafiq, Ahmad, 1995, Hukum Islam di Indonesia, PT. Rajawali Pers, Jakarta
Shihab, M. Quraish, 1996, Wawasan Al Qur’an, Mizan, Bandung.
Syarifuddin, Amir, 1990, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Angkasa Raya, Padan

“Dalam hukum islam dan undang-undang perkawinan serta kompilasi hukum islam melarang dengan tegas praktek kawin paksa oleh karena itu orang tua sudah tidak lagi mempunyai otoritas menentukan jodoh anaknya karena pilihan jodoh yang berhak menentukan dari anak yang akan melakukan perkawinan karena anak yang akan menjalankannya.”

TUNANGAN (KHITBAH)

HUKUM TUNANGAN (KHITBAH)
Lazimnya beberapa pasangan yang akan menikah, melalui proses pertunangan. Yang ingin saya tanyakan, apakah dalam Islam dikenal adanya pertunangan ? Dan apakah hukumnya ? 081357373774

Jawaban :
Surat Al-Baqarah Ayat 235

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ

"Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu".
Surat Ali 'Imran Ayat 14

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)".
Meminang itu sunnah sebelum akad nikah, karena Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam meminang untuk dirinya dan untuk yang lain. Dan tujuan meminang yaitu : mengetahui pendapat yang dipinang, apakah ada setuju atau tidak. Demikian juga untuk mengetahui pendapat walinya.
Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah dalam bahasa Arab, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah menurut bahasa, adat dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri. (lihat Al Mausu'ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 19/190)
Seluruh kitab/kamus membedakan antara kata-kata "khitbah" (melamar) dan "zawaj" (menikah), adat/kebiasaan juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah menikah; dan syari'at pun membedakan secara jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekedar mengumumkan keinginan untuk menikah dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (pernikahan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.
Pinangan yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dll. Ada satu hal penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahram, adalah keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.
Namun Masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah jadi komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi shalat istiharah sebaiknya dilakukan sebelum khitbah. Khitbah dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada takdir Allah yang menghendaki lain.
Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits: "…Tidak boleh salah seorang diantara kamu meminang pinangan saudaranya……" (Muttafaqun 'alaih)
Dari hadits diatas, maka jelas diketahui bahwa khitbah/pertunangan dikenal dalam Islam. Dan mengenai satus hukumnya, mayoritas ulama' mengatakan bahwa tunangan hukumnya mubah. (Al Mausu'ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 19/190)
Namun sebagian ulama' cenderung memandang bahwa tunangan itu hukumnya sunah, dalam mazhab syafi'i telah pasti diketahui bahwa tunangan dihukumi sebagai sebuah perkara mustahab (disukai). (Nihayatul Muhtaj, 6/198).
Hal ini dengan alasan bahwa akad nikah adalah perjanjian luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain, sehingga disunahkan didahului khitbah sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai rumah tanggapun akan lebih mantap.
--------

Tidak Boleh Melamar Wanita yang Telah Dilamar Orang Lain
Label: Fiqh

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ، وَلَا تَجَسَّسُوا، وَلَا تَحَسَّسُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَكُونُوا إِخْوَانًا، وَلَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ

“Jauhilah oleh kalian prasangka, karena prasangka itu sedusta-dusta perkataan. Janganlah kalian saling memata-matai, saling mencari-cari kesalahan, dan saling membenci. Jadilah kalian orang-orang yang bersaudara. Janganlah seorang laki-laki melamar wanita yang telah dilamar saudaranya, hingga saudaranya itu menikahinya atau meninggalkannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5144].

الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلَا يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ، وَلَا يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَذَرَ

“Seorang mukmin adalah saudara mukmin lainnya. Tidak dihalalkan bagi seorang mukmin membeli barang yang telah dibeli oleh saudaranya. Dan ia pun tidak boleh melamar wanita yang telah dilamar saudaranya hingga saudaranya itu meninggalkan lamarannya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1414].

Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa berkata :

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَلَا يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ، أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual barang yang telah ia jual orang lain. Seorang laki-laki tidak boleh melamar wanita yang telah dilamar saudaranya, hingga saudaranya itu meninggalkannya atau mengizinkannya (untuk melamarnya)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5142].
Lantas, batasan apakah yang digunakan oleh seorang laki-laki muslim untuk menahan diri tidak melamar seorang wanita yang telah dilamar oleh orang lain ?. Ada dua, yaitu :

1. Telah mengetahui keridlaan/penerimaan si wanita atas lamaran yang pertama.
At-Tirmidziy rahimahullah berkata :

قَالَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ: إِنَّمَا مَعْنَى كَرَاهِيَةِ أَنْ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ: إِذَا خَطَبَ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ فَرَضِيَتْ بِهِ فَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَتِهِ.

وقَالَ الشَّافِعِيُّ: مَعْنَى هَذَا الْحَدِيثِ لَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ: هَذَا عِنْدَنَا إِذَا خَطَبَ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ فَرَضِيَتْ بِهِ وَرَكَنَتْ إِلَيْهِ، فَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَتِهِ، فَأَمَّا قَبْلَ أَنْ يَعْلَمَ رِضَاهَا أَوْ رُكُونَهَا إِلَيْهِ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَخْطُبَهَا، وَالْحُجَّةُ فِي ذَلِكَ حَدِيثُ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ، حَيْثُ جَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ لَهُ، أَنَّ أَبَا جَهْمِ بْنَ حُذَيْفَةَ، وَمُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ خَطَبَاهَا، فَقَالَ: أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ لَا يَرْفَعُ عَصَاهُ عَنِ النِّسَاءِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ، وَلَكِنْ انْكِحِي أُسَامَةَ.

فَمَعْنَى هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَنَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ أَنَّ فَاطِمَةَ لَمْ تُخْبِرْهُ بِرِضَاهَا بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَلَوْ أَخْبَرَتْهُ لَمْ يُشِرْ عَلَيْهَا بِغَيْرِ الَّذِي ذَكَرَتْ

“Maalik berkata : ‘Makna hadits ini adalah dimakruhkannya seorang laki-laki melamar wanita yang telah dilamar saudaranya, yaitu apabila ada seorang laki-laki melamar seorang wanita, dan wanita itu meridlai lamarannya (menerimanya). Dalam keadaan ini, tidak boleh bagi seorang pun untuk melamar wanita yang dilamar oleh laki-laki tersebut’.

Asy-Syaafi’iy berkata : ‘Makna hadits ini adalah : seorang laki-laki tidak boleh melamar wanita yang telah dilamar saudaranya, yaitu apabila ada seorang laki-laki yang melamar seorang wanita, lalu wanita itu meridlainya (menerimanya) dan cenderung (suka) kepadanya. Dalam keadaan ini, tidak boleh bagi seorang pun untuk melamar wanita yang telah dilamar oleh laki-laki tersebut. Adapun jika seseorang belum mengetahui keridlaan atau kecenderungan wanita tersebut terhadap lamaran laki-laki yang pertama, maka tidak mengapa ia melamarnya’. Dalilnya adalah hadits Faathimah bintu Qais ketika ia datang menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menyebutkan bahwa Abu Jahm bin Hudzaifah dan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan melamarnya. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Abu Jahm, maka ia seorang laki-laki yang tidak pernah mengangkat tongkat dari wanita[1]. Adapun Mu’aawiyyah, maka ia seorang laki-laki miskin. Akan tetapi menikahlah dengan Usaamah’.
Makna hadits ini menurut kami – wallaahu a’lam – bahwasannya Faathimah belum mengkhabarkan kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang keridlaannya akan lamaran salah seorang di antara keduanya (Abu Jahm dan Mu’aawiyyah). Seandainya ia (Faathimah) telah mengkhabarkan kepada beliau (tentang keridlaannya), tentu beliau tidak akan mengisyaratkan pertimbangan kepada laki-laki selain yang ia sebutkan” [Jaami’ At-Tirmidziy, 2/427-428].
2. Mengetahui atau diberitahu oleh saudaranya bahwa ia akan melamar seorang wanita, dan kemudian mengetahui kemungkinan besar si wanita akan menerima lamaran saudaranya tersebut.
Dalilnya :

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُحَدِّثُ، " أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ حِينَ تَأَيَّمَتْ حَفْصَةُ، قَالَ عُمَرُ: لَقِيتُ أَبَا بَكْرٍ، فَقُلْتُ: إِنْ شِئْتَ أَنْكَحْتُكَ حَفْصَةَ بِنْتَ عُمَرَ، فَلَبِثْتُ لَيَالِيَ، ثُمَّ خَطَبَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَقِيَنِي أَبُو بَكْرٍ، فَقَالَ: إِنَّهُ لَمْ يَمْنَعْنِي أَنْ أَرْجِعَ إِلَيْكَ فِيمَا عَرَضْتَ إِلَّا أَنِّي قَدْ عَلِمْتُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ ذَكَرَهَا فَلَمْ أَكُنْ لِأُفْشِيَ سِرَّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَوْ تَرَكَهَا لَقَبِلْتُهَا "

Telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Saalim bin ‘Abdillah, bahwasannya ia pernah mendengar ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa menceritakan : Bahwa ketika Hafshah menjanda, ‘Umar bin Al-Khaththaab berkata : “Aku menemui Abu Bakr, dan aku katakan kepadanya : ‘Apabila engkau ingin, aku akan nikahkan engkau dengan Hafshah bintu ‘Umar’. Aku tunggu beberapa malam (jawabannya). Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dating melamarnya (Hafshah). Lalu Abu Bakr menemuiku dan berkata : ‘Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk menerima tawaranmu, kecuali aku telah mengetahui bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebut (akan melamar)-nya, sementara aku tidak ingin membuka rahasia Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya (tidak jadi menikahinya), niscaya aku menerima tawaranmu untuk menikahinya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5145].
Ibnu Baththaal rahimahullah menjelaskan :

وَلَكِنَّهُ قَصَدَ مَعْنًى دَقِيقًا يَدُلّ عَلَى ثُقُوب ذِهْنه وَرُسُوخه فِي الِاسْتِنْبَاط ، وَذَلِكَ أَنَّ أَبَا بَكْر عَلِمَ أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ إِلَى عُمَر أَنَّهُ لَا يَرُدّهُ بَلْ يَرْغَب فِيهِ وَيَشْكُر اللَّه عَلَى مَا أَنْعَمَ عَلَيْهِ بِهِ مِنْ ذَلِكَ ، فَقَامَ عِلْمُ أَبِي بَكْر بِهَذَا الْحَال مَقَام الرُّكُون وَالتَّرَاضِي ، فَكَأَنَّهُ يَقُول : كُلّ مَنْ عَلِمَ أَنَّهُ لَا يُصْرَف إِذَا خَطَبَ لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يَخْطُب عَلَى خِطْبَته

“Akan tetapi hadits itu mempunyai maksud yang sangat dalam yang menunjukkan ketajaman akal Abu Bakr dan kedalamannya dalam beristinbaath (menyimpulkan hukum). Yaitu, Abu Bakr telah mengetahui bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila melamar (Hafshah) kepada ‘Umar, maka ia (‘Umar) tidak akan menolaknya. Bahkan ia akan menyukainya dan bersyukur kepada Allah ta’ala atas nikmat yang telah dilimpahkan kepadanya atas lamaran tersebut. Lalu Abu Bakr mengetahui adanya kecenderungan dan keridlaannya, sehingga seakan-akan ia berkata : ‘Setiap orang yang mengetahui seseorang yang jika ia melamar, lamarannya tidak akan ditolak; maka tidak boleh bagi seorang pun untuk melamar wanita yang dilamar saudaranya tersebut” [Fathul-Baariy, 9/201].

Asy-Syaikh Husain Al-‘Awaaisyah hafidhahullah berkata :

والحاصل : أن تفسير ترْك الخطبة في الحديث السابق أن تُذْكَر المرأة من قِبَل شخص لأخيه، ويعلم رغبته في النكاح منها، ويُرجّح قبول الوليّ، فهذا كلّه يدعو إلى ترْك الخطبة، والله أعلم

“Kesimpulannya : Tafsir ‘meninggalkan lamaran (tarkul-khithbah)’ pada hadits di atas adalah bila seorang wanita disebutkan oleh seseorang kepada laki-laki lain, dan laki-laki itu mengetahui keinginan orang tersebut untuk menikahinya dan besar kemungkinannnya si wali menerima lamarannya; maka semuanya ini menuntut laki-laki yang mengetahui itu untuk meninggalkan lamaran (tidak malamar) wanita tersebut. Wallaahu a’lam”.

Wallahu a’lam bis Shawwab.
Semoga ada manfaatnya.

Selasa, 12 Januari 2016

Keutamaan dari surat Al Fatihah

Nama-nama lain Al-Fatihah : Fatihatul-Kitab, Ummul Kitab, Ummul-Qur'an, as-Sab'ul-Matsani, al-Qur'anul-`Azhim,asy-Syifa, dan Assaul-Qur'an.

أسماء أخرى من سورة الفاتحة: فتحة الكتاب - أم الكتاب، أم القرآن- كما هو والسبع المتثانى -  القراءن العظيم - الشفاء و الساؤالقراءن

Imam Ahmad bin Hambal r.a. meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dia berkata, "Rasulullah saw. Menemui Ubai bin Ka'ab, namun dia sedang shalat. Rasul berkata, `Hai Ubai.' Maka Ubai melirik, namun tidak menyahut. Nabi berkata, `Hai Ubai!' Lalu Ubai mempercepat shalatnya, kemudian beranjak menemui Rasulullah saw. Sambil berkata, `Asalamu'alaika, ya Rasulullah.' Rasul menjawab, `Wa'alaikassalam. Hai Ubai, mengapa kamu tidak menjawab ketika kupanggil?' Ubai menjawab, `Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sedang shalat.' Nabi bersabda, `Apakah kamu tidak menemukan dalam ayat yang diwahyukan Allah Ta'ala kepadaku yang menyatakan, `Penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu.' (al-Anfal:24) Ubai menjawab, `Ya Rasulullah, saya menemukan dan saya tidak akan mengulangi hal itu.' Rasul bersabda, `Sukakah kamu bila kuajari sebuah surat yang tidak diturunkan surat lain yang serupa dengannya di dalam Taurat, Injil, Zabur dan al-Furqan?' Ubai menjawab, `Saya suka, wahai Rasulullah.' Rasulullah saw. Bersabda, `Sesungguhnya aku tidak mau keluar dari pintu ini sebelum aku mengajarkannya.' Ubai berkata, `Kemudian Rasulullah memegang tanganku sambil bercerita kepadaku. Saya memperlambat jalan karena khawatir beliau akan sampai di pintu sebelum menuntaskan pembicaraannya.
Ketika kami sudah mendekati pintu, aku berkata, `Ya Rasulullah, surat apakah yang janjikan itu?' Beliau bertanya, `Apa yang kamu baca dalam shalat?' Ubai berkata, `Maka aku membacakan Ummul-Qur'an kepada beliau.' Beliau bersabda, `Demi yang jiwaku dalam genggaman-Nya, Allah tidak menurunkan surat yang setara dengan itu baik dalam Taurat,Injil,Zabur,maupun al-Furqan. Ia merupakan tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang.'

"Imam Muslim meriwayatkan dalam sahihnya dan Nasa'I meriwayatkan dalam sunannya dengan sanad dari Ibnu, dia berkata, "Suatu ketika Rasulullah saw. (sedang duduk) dan di sisinya ada Jibril. Tiba-tiba jibril mendengar suara dari atas. Maka dia mengarahkan pandangannya ke langit, lalu berkata, `Inilah pintu langit dibukakan, padahal sebelumnya tidak pernah.' Ibnu Abbas berkata, "Gembirakanlah (umatmu) dengan dua cahaya. Sungguh keduanya diberikan kepadamu dan tidak pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelummu, yaitu Fatihatul-Kitab dan beberapa ayat terakhir surat al-Baqarah. Tidakkah Anda membaca satu hurufpun darinya melainkan Anda akan diberi (pahalanya).

فصل في فضل( الفاتحة ) أنا أبو الحسين أحمد بن عبد الرحمن بن محمد الكيالي أنا أبو نصر محمد بن علي بن الفضل الخزاعي أنا أبو عثمان عمرو بن عبد الله البصري ثنا محمد بن عبد الوهاب ثنا خالد مخلد القطواني حدثني محمد بن جعفر بن أبي كثير هو أخو إسماعيل بن جعفر عن العلاء بن عبد الرحمن عن أبيه عن أبي هريرة قال "مر رسول الله صلى الله عليه وسلم على أبي بن كعب وهو قائم يصلي فصاح به فقال: تعالى يا أبي فعجل أبي في صلاته، ثم جاء إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: ما منعك يا أبي أن تجيبني إذ دعوتك؟ أليس الله يقول: "يا أيها الذين آمنوا استجيبوا لله وللرسول إذا دعاكم لما يحييكم"( 24-الأنفال ) قال أبي: لا جرم يا رسول الله لا تدعوني إلا أجبتك وإن كنت مصليا. قال: أتحب أن أعلمك سورة لم ينزل في التوراة ولا في الإنجيل ولا في الزبور( ولا في القرآن ) (2) مثلها؟ فقال أبي: نعم يا رسول الله فقال: لا تخرج من باب المسجد حتى تعلمها والنبي صلى الله عليه وسلم يمشي يريد أن يخرج من المسجد فلما بلغ الباب ليخرج قال له أبي: السورة يا رسول الله. فوقف فقال: نعم كيف تقرأ في صلاتك؟ فقرأ أبي أم القرآن فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: والذي نفسي بيده ما أنزل في التوراة ولا في الإنجيل ولا في الزبور ولا في القرآن مثلها وإنها لهي السبع المثاني( التي ) (3) آتاني الله عز وجل" (4) هذا حديث حسن صحيح. أخبرنا أبو بكر محمد بن عبد الصمد الترابي أنا الحاكم أبو الفضل محمد بن الحسين الحدادي أنا أبو يزيد محمد بن يحيى بن خالد أنا إسحاق بن إبراهيم الحنظلي ثنا يحيى بن آدم ثنا أبو الأحوص عن عمار بن رزيق عن عبد الله بن عيسى عن سعيد بن جبير عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: "بينا رسول الله صلى الله عليه وسلم عنده جبريل إذ سمع نقيضا من فوقه فرفع جبريل عليه السلام بصره إلى السماء فقال: هذا باب فتح من السماء ما فتح قط، قال: فنزل منه ملك فأتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال أبشر بنورين أوتيتهما لم يؤتهما نبي قبلك. فاتحة الكتاب وخواتيم سورة البقرة ولن تقرأ حرفا منهما إلا أعطيته" (1) صحيح 

(أخرجه مسلم عن الحسن بن ربيع عن أبي الأحوص)


Semoga bermanfaat.

RAHASIA DAN KEUTAMAAN SURAT ALFATIHAH


Ibnu Dharis meriwayatkan dari Abi Qibalah, Nabi SAW bersabda:

عن إبنى دارس  أبى قبالة قال النبى - من شاهد فاتحة الكتاب حين تستفتح كمن شهد فتحا في سبيل الله، ومن شهدها حين تختم كان كمن شهد الغنائم حين تقسم

“Barang siapa menyaksikan fatihatul kitab ketika mulai dibaca maka dia seperti seseorang yang menyaksikan peperangan di jalan Allah, dan barang siapa menyaksikannya ketika ditutup maka dia seperti orang yang menyaksikan ketika harta rampasan dibagikan.”

Dalam kitabnya Tarikh Damsyik, Ibnu Asakir meriwayatkan sebuah hadits dari Syaddad bin Aus, RAsulullah SAW bersabda:

فى كتاب تريح دمسيق روى إبن الشاكر عن شداد بن عوس قال النبى - إذا أخذا أحدكم مضجعه ليرقد، فليقرأ بأم الكتاب وسورة، فإن الله يوكل به ملكا يهب معه إذاهب

“Apabila seseorang diantara kalian hendak mulai tidur, maka bacalah ummul kitab (surat fatihah) dan salah satu dari surat dalam Al-Qur’an, maka Allah akan mewakilkan untuknya malaikat yang akan bangun bersamanya jika dia bangun.”

Para ulama berpendapat bahwa surat Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat dan بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ merupakan salah satu ayat dari surat Al-Fatihah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Daruquthniy dan Imam Bukhari dalam kitab tarikhnya dari Abu Hurairah ra. Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

إذا قرأتم الحمدلله فاقرأوا بسم الله الرحمن الحيم، لأنها أم القران وام الكتاب والسبع المثاني بسم الله الرحمن الرحيم إحدى اياتها

“Jika Engkau membaca Alhamdulillah (surat Al-Fatihah) bacalah بسم الله الرحمن الحيم karena merupakan induk Al-Quran daj kerupakan Sab’ul Matsani dan بسم الله الرحمن الحيم adalah salah satu dari ayatnya.”

Untuk kata amin (آمين) yang diucapkan ketika selesai membaca surat Al-Fatihah bukan merupakan bagian dari Al-Qur’an tetapi disunnahkan bagi kita untuk membacanya ketika selesai membaca surat Al-Fatihah, sebagaimana sbada Rasulullah SAW:

علمني جبريل آمين عند فراغي من قراءة سورة الفاتحة

“Jibril mengajarkan kepadaku agar membaca amin (آمين) ketika aku selesai membaca surat Al-Fatihah.”
Al-Baihaqi dan beberapa ulama lainnya mengatakan tentang bacaan amin (آمين) sewaktu shalat jahriyah (shalat yang bacaan Al-Fatihahnya dikeraskan) yaitu imam membacanya dengan jelas (dapat didengar oleh ma’mum), sebagaimana riwayat dari Wail bin Hujr, adalah Rasulullah SAW jika selesai membaca وَلاَ الضَّآلِّيْنَ beliau mengucapkan amin (آمين) dengan mengeraskan suaranya dan ma’mum mengucapkan juga bersamaan dengan imamnya. Dalam salah satu hadits, Nabi SAW bersabda:

إذا قام الإمام ولا الضـــــــــالين، فقولوا آمين، فإن الملائكة يقول آمين، فإن الإمام يقول آمين، ومن وافق تأمينه تأمين الملائكة غفرله ماتقدم من ذنبه

“Apabila imam selesai mengucapkan ولا الضـــــــــالين maka ucapkanlah آمين , karena para malikat juga mengucapkan آمين , barang siapa yang ketika membaca آمين bertepatan dengan malikat ketika membaca آمين , maka dosanya yang lalu diampuni oleh Allah.”
Menurut Asy-Syaikh Al-Jarjaniy sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Al-Amaliy akan diampuni dosanya baik yang telah lalu maupun yang belakangan/akan datang.

Hikayat.
Dalam kitab Zadul Musafirin diceritakan bahwa kaisar Romawi menulis surat kepada khalifah Umar bin Khattab yang isinya:
Aku baca di kitab Injil bahwa siapa yang membaca satu surat yang tidak terdapat didalamnya 7 huruf, yaitu tsa (ث),kha (خ), zha (ظ), fa (ف), za (ز), jim (ج) dan syin (ش), siapa yang membaca surat ini maka Allah akan mengharamkan tubuhnya tersentuh api neraka, maka kami mencarinya dalam kitab Zabur, dan kitab Taurat tetapi tidak kami temukan, apakah surat itu terdapat pada kitab kalian?
Setelah membaca surat ini khalifah Umar mengumpulkan pada sahabat dan menceritakan tentang isi surat dari kaisar tersebut, maka salah seorang sabahat Ubay bin Ka’ab mengatakan bahwa yang dimaksud oleh kaisar itu adalah surat Al-Fatihah, setelah mendengar itu khalifa Umar langsung mengirimkan jawabannya, tidak lama setelah mengetahui itu kaisar tersebut masuk Islam.

ANTARA BASMALAH DAN TA'AWUDZ SEBELUM MEMBACA AL-QUR'AN


PERTANYAAN
Assalamu'alaikum. Kenapa ketika bilal jum'at membacakan ayat Al-Qur'an tidak membaca basmalah, padahal hadits menerangkan segala pekerjaan yang baik menurut agama harus diawali dengan basmalah, karena kalau tidak bagaikan hewan yang nggak ada ekornya (keberka tannya kurang)

JAWABAN
Wa'alaikumussalaam. Membaca basmalah sebelum membaca Al-Qur'an hukumnya sunnah

فرع - تُسنّ التسميةُ لتلاوَةِ القرآنِ، ولو مِن أثناءِ سُورَةٍ في صلاةٍ أو خارِجِها، ولِغُسْلٍ وَتيمم وذَبْح ـ اهـ فتح المعين ص ٥١

Cabang : Disunnahkan membaca basmalah untuk tujuan membaca Al-Qur'an walaupun ketika ditengah tengah membaca surah Al-Qur'an di dalam sholat maupun diluar sholat, begitu juga disunnahkan membaca basmalah untuk tujuan mandi, tayammum, maupun menyembelih binatang
Fathul Mu'in halaman 51

Lalu kenapa bilal Jum'at yang baca ayat Al-Qur'an diseblum adzan pertama itu cuman baca audhu billa lalu baca ayatnya , tampa adanya bismillah?
------------------------------------------------
Karena ada perintah baca ta'awudz sebelum baca Al-Qur'an, yaitu dalam surat An-Nahl ayat 98 :

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

(سورة النحل ٩٨)

"Apabila kamu membaca Al-Quran , hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Alloh dari godaan etan yang terkutuk "

Ta'bir

- Kitab tafsir Ibnu Katsir IV / 602

(كتاب تفسير إبن كثر ج٤ ص ٦٠٢)

فإذا قرأت القرآن فاستعذ بالله من الشيطان الرجيم - هذا أمر من الله تعالى لعباده على لسان نبيه - صلى الله عليه وسلم - : إذا أرادوا قراءة القرآن أن يستعيذوا بالله من الشيطان الرجيم وهو أمر ندب ليس بواجب ، حكى الإجماع على ذلك الإمام أبو جعفر بن جرير وغيره من الأئمة . وقد قدمنا الأحاديث الواردة في الاستعاذة مبسوطة في أول التفسير ، ولله الحمد والمنة . والمعنى في الاستعاذة عند ابتداء القراءة لئلا يلبس على القارئ قراءته ويخلط عليه ، ويمنعه من التدبر والتفكر ، ولهذا ذهب الجمهور إلى أنالاستعاذة إنما تكون قبل التلاوة

"Apabila kamu membaca Al-Quran , hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Alloh dari godaan setan yang terkutuk "

Ini adalah perintah dari Allah ta'ala kepada hamba hambanya melalui lisan Nabi shollallohu 'alaihi wasallam, yaitu ketika mereka berkehandak untuk membaca Al-Qur'an agar meminta perlindungan kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk, ini adalah perintah sunnah bukan wajib. Menurut Imam Ibnu Jarir dan imam imam lainnya bahwa ini sudah menjadi ijma'.

Makna isti'adzah atau permintaan pertolongan ketika akan memulai baca Al-Qur'an adalah agar bacaannya qori' tidak samar dan tercampur campur dan mencegahnya dari tadabbur dan tafakkur, oleh sebab itulah menurut jumhur ulama' bahwa bacaan ta'awudz hanya ada sebelum baca al qur'an.

- Kitab tafsir Al-Qurtuby X / 159

(كتاب تفسير القرطوبى ص ١٠ ج ١٥٩)

قوله تعالى : فإذا قرأت القرآن فاستعذ بالله من الشيطان الرجيم فيه مسالة واحدة : وهي أن هذه الآية متصلة بقوله : ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء فإذا أخذت في قراءته فاستعذ بالله من أن يعرض لك الشيطان فيصدك عن تدبره والعمل بما فيه ; وليس يريد استعذ بعد القراءة ; بل هو كقولك : إذا أكلت فقل بسم الله ; أي إذا أردت أن تأكل . وقد روى جبير بن مطعم عن أبيه قال : سمعت رسول الله - صلى الله عليه وسلم - حين افتتح الصلاة قال اللهم إني أعوذ بك من الشيطان من همزه ونفخه ونفثه . وروى أبو سعيد الخدري أن النبي - صلى الله عليه وسلم - كان يتعوذ في صلاته قبل القراءة

Firman Allah ta'ala "apabila kamu membaca Al-Quran , hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Alloh dari godaan setan yang terkutuk "

Ayat tersebut bukan perintah baca ta'awudz setelah baca alqur'an tetapi baca ta'awudz sebelum baca Al-Qur'an, sebagaimana ucapanmu :"ketika kamu makan maka ucapkanlah basmallah " maksudnya jika kamu hendak makan.

Jubair bin Muth'im meriwayatkan dari ayahnya berkata : "aku mendengar Rasululloh shollallohu 'alaihi wasallam ketika memulai sholat berkata : allahumma inni a'udzubika minas syaitoni min hamazihi wanafakhihi wanafatsih"
Abu Sa'id Al-Khudri meriwayatkan bahwa Nabi shollallohu alaihi wasallam dulu membaca ta'awudz di dalam sholatnya sebelum membaca Al-Qur'an."

- Kitab tafsir Al-Baghowy V / 43

(كتاب تفسير بغاوى ج ٤ ص ٤٣)

قوله سبحانه وتعالى : ( فإذا قرأت القرآن ) أي : أردت قراءة القرآن ( فاستعذ بالله من الشيطان الرجيم ) كقوله تعالى : " إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا " ( المائدة - 6 ) . والاستعاذة سنة عند قراءة القرآن . وأكثر العلماء على أن الاستعاذة قبل القراءة . وقال أبو هريرة : بعدها ولفظه : أن يقول : " أعوذ بالله من الشيطان الرجيم " .

Firman Allah subhanahu wata'ala : "apabila kamu membaca Al-Quran (maksudnya ketika engkau hendak membaca Al-Qur'an) hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Alloh dari godaan Setan yang terkutuk" sebgaimana firman-nya "apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu ..." Al-Maidah ayat 6

Ta'awudz hukumnya sunnah ketika akan membaca Al-Qur'an.
Menurut Abu Hurairoh setelah baca Al-Qur'an lafadz bacaannya adalah "a'udzu billahi minas syaitoonir rojiim"

نهاية القول المفيد :

وليحافظ على قراءة البسملة أول كل سورة غير براءة، لأن أكثر العلماء على أنها آية، فإذا أخل بها كان تاركاً لبعض الختمة عند الأكثرين أما في الإبتداء بما بعد أوائل السور ولو بكلمة فتجوز البسملة وعدمها لكل من القراء تخييرا

Kitab Nihayah Qoul Al-Mufid
Dan jagalah dengan benar benar untuk membaca basmallah di awal setiap surat selain surat baro'ah, karena kebanyakan ulama' berpendapat bahwa basmallah termasuk ayatnya surat, ketika basmallah tidak dibaca di awal surat maka dia termasuk orang yang meninggalkan sebagian yang sempurna menurut kebanyakan ulama'

Adapun membaca basmallah dalam permulaan yang setelah awal surat walaupun satu kalimat maka hukumnya boleh , tidak membaca basmallah juga boleh, hal itu TERSERAH bagi pembacanya.

Wallaahu A'lam

KESALAHAN SEBAGIAN ORANG AWAM DALAM MEMBACA AL-FATIHAH


assalamu'alaikum
syarh al-yaqut an-nafis hal. 135 darul minhaj mu'allif : muhammad bin ahmad bin umar asy-syathiriy
termasuk rukunnya sholat adalah membaca al-fatihah

(كتاب شراح اليقوت النفس ص ١٣٥)

٤ ـ قرأة { الفاتحة } وكلنا يحفظها ، لكن أحب أن أنبه إلى أن كثيرا من الناس ــ مع احترامي لهم ــ سمعتهم يخلون في { الفاتحة } فبعضهم يقرأ { بسم الا إلرحمن الرحيم } يخفي الهاء من لفظ الجلالة ، ويظهر الكسرة في همزة الرحمن ، وهذا خطاء ، والصحيح إظهار الهاء من لفظ الجلالة ووصله بالراء من كلمة { الرحمن } { بسم الله الرحم الرحيم } إنها هاء ، وليست همزة ، فليتنبه كل واحد منا

Rukun yang keempat dari rukunnya shalat adalah membaca al-fatihah. dan kita semua bisa menghafalnya.
Akan tetapi saya senang untuk mengingatkan mengenai hal yang terjadi di masyarakat -- dengan penghormatanku kepada mereka -- bahwa sesungguhnya mayoritas masyarakat, saya mendengarkan mereka mencacatkan/membuat kesalahan di dalam membaca al-fatihah. sebagian dari masyarakat membaca { بسم الا إلرحمن الرحيم } -- BISMILLAA IR-ROCHMAANIR-ROCHIIM -- dengan mentakhfif (meringankan) huruf ha' { هـ } dari lafadz al-jalalah { الله } , dan membaca kasroh dengan jelas pada hamzah { إ } nya kata ar-rochmaan { الرحمن } , dan ini adalah kesalahan/kekeliruan.

Yang benar menampakkan/membaca dengan jelas huruf ha' { هـ } dari lafadz al-jalalah { الله } dan me-washol-kan/menyambung dengan huruf ro' { ر } dari kata ar-rochmaan { الرحمن } . kalimat bismillaahir-rochmaanir-rochiim { بسم الله الرحمن الرحيم } itu menggunakan ha' { هـ } bukan hamzah { ء } . maka masing-masing dari kita sebaiknya memperingatkan hal itu.

وبعضهم يقول : { ولا ضالين } من غير تشديد الضاد ، وبعضهم لا يفرق بين الظاء والضاد يقول : { ولا الظالين } يخرج الطرف لسانه بين أسنانه ، والصحيح عدم ظهورها ، وحتى بعض الأئمة يقرأ { إياكنعبد وإياكنستعين } يلحق الكاف بالنون مباشرة ، والصحيح إظهار الكاف من { إياك } بحيث يفصل بينها وبين النون بوقفة يسيرة { إياك } كلمة لنفسها

Dan sebagian masyarakat mengucapkan : { ولا ضالين } -- wa laa dlolliin -- tanpa mentasydid huruf dlod { ض } . dan sebagian lagi tidak membedakan antara dho' { ظ } dengan dlod { ض } . mereka mengucapkan : { ولا الظالين } -- wa ladhdhoolliin -- dengan mengeluarkan huruf dari ujung lidah diantara gigi-gigi. dan yang benar tidak menampakkannya.

Bahkan Sebagian imam -- sholat jamaah -- membaca { إياكنعبد وإياكنستعين } -- IYYAKANA'BUDU WAIYYAKANASTA'IIN -- dengan mempertemukan huruf kaf { ك } dengan nun { ن } mubasyiroh. dan yang benar menampakkan (memperjelas) bacaan huruf kaf { ك } dari lafadz { إياك } -- IYYAKA -- sekiranya antara huruf kaf { ك } dan nun { ن } terpisah dengan waqof yang sedikit. karena { إياك } itu kata tersendiri.

ويأتون لنا بحكاية ونحن أطفال -- والله أعلم هل لها أصل -- يقولون : إن الشيطان سمى أحد أبنائه « كنع » وآخر « كنس » ليقول المصلي : إياكنع وإياكنس

dan datang kepada kami sebuah hikayah sedangkan kami masih anak-anak -- walloohu a'lam, Allah lebih mengetahui apakah hal ini ada dasarnya -- orang-orang berkata : "sesungguhnya syaithon (setan) memberi nama salah satu keturunannya dengan nama kana' { كنع } dan yang lain dengan nama kanas { كنس } , agar orang yang shalat mengucapkan : إياكنع وإياكنس -- iyyakana' waiyyakanas --
~~~~~~~~~~~~
wallohu a'lam bish-showaab

MENGAPA SURAT ALFAATIHAH MENJADI RUKUN SHOLAT


PERTANYAAN:
assalamualaikum...
para kiyai yg tercinta....
seseorang bertanya pada saya..: kenapa surat alfatihah dijadikan rukun solat....???
otomatis saya bingung..... belum tau sebabnya, apakah gerangan jawabannya...monggo ditunggu ilmunya...makasih

JAWABAN:
Wa'alaikumsalam

Dijadikannya SURAT ALFATIHAH rukun dalam shalat karena :
• Berdasarkan hadits Nabi “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca fatihahnya al-Quran”
• Berdasarkan hadits Nabi “Tidak mencukupi shalat yang didalamnya tidak dibaca Fatihahnya al-Quran”
• Berdasarkan apa yang telah dilakukan oleh Nabi sebagimana keterangan dalam shahih Bukhari-Muslim “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku mengerjakan shalat”

Keterangan diambil dari :

وقال الجمهور (4) (غير الحنفية): ركن القراءة الواجبة في الصلاة: هو الفاتحة، لقوله صلّى الله عليه وسلم : «لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب» وقوله أيضاً: «لا تجزئ صلاة لا يقرأ فيها بفاتحة الكتاب» (1) ، ولفعله صلّى الله عليه وسلم كما في صحيح مسلم، مع خبر البخاري: «صلوا كما رأيتموني أصلي»
__________
(4) الشرح الصغير:309/1، بداية المجتهد:119/1 ومابعدها، الشرح الكبير مع الدسوقي:236/1، مغني المحتاج:156/1-162، المغني:376/1-491، 562-568، كشاف القناع:451/1، المهذب:72/1، المجموع:285/3 ومابعدها، حاشية الباجوري:153/1-156
(1) رواه ابنا خزيمة وحبان في صحيحيهما

Mayoritas Ulama Fiqh selain kalangan Hanafiyyah menyatakan, Rukun bacaan yang wajib dibaca dalam shalat adalah FATIHAH berdasarkan hadits Nabi “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca fatihahnya al-Quran” dan sabda Nabi lainnya “Tidak mencukupi shalat yang didalamnya tidak dibaca Fatihahnya al-Quran” dan berdasarkan apa yang telah dilakukan oleh Nabi sebagimana keterangan dalam shahih Bukhari-Muslim “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku mengerjakan shalat”

Al-Fiqh al-Islaam II/24

حُكْمُ قِرَاءَةِ سُورَةِ الْفَاتِحَةِ فِي الصَّلاَةِ

5 - ذَهَبَ الْجُمْهُورُ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ ، وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ إِلَى أَنَّ قِرَاءَةَ الْفَاتِحَةِ رُكْنٌ فِي كُل رَكْعَةٍ ، لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ : لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ . إِلاَّ أَنَّ الشَّافِعِيَّةَ قَالُوا : هِيَ رُكْنٌ مُطْلَقًا ، وَالرَّاجِحُ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ : أَنَّهَا فَرْضٌ لِغَيْرِ الْمَأْمُومِ فِي صَلاَةٍ جَهْرِيَّةٍ وَفِي الْمَذْهَبِ عِدَّةُ أَقْوَالٍ . وَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ إِلَى أَنَّ قِرَاءَةَ الْفَاتِحَةِ فِي الصَّلاَةِ لَيْسَتْ بِرُكْنٍ ، وَلَكِنِ الْفَرْضُ فِي الصَّلاَةِ عِنْدَهُمْ قِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ . لِقَوْلِهِ تَعَالَى : { فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ } . وَوَجْهُ الاِسْتِدْلاَل بِهَذِهِ الآْيَةِ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَمَرَ بِقِرَاءَةِ مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ مُطْلَقًا ، وَتَقْيِيدُهُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ زِيَادَةٌ عَلَى مُطْلَقِ النَّصِّ ، وَهَذَا لاَ يَجُوزُ ؛ لأَِنَّهُ نُسِخَ فَيَكُونُ أَدْنَى مَا يُطْلَقُ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ فَرْضًا لِكَوْنِهِ مَأْمُورًا بِهِ .

(الفقية الإسلام ج ٢ ص ٢٤)

HUKUM SURAT FATIHAH DALAM SHALAT

Mayoritas Ulama Fiqh Kalangan Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah menilai surat Fatihah adalah rukun dalam setiap rokaatnya shalat berdasarkan hadits Nabi “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca fatihahnya al-Quran” namun tiga madzhab diatas kemudian berbeda pendapat dalam pelaksanaan pembacaan surat al-Fatihah.

Kalangan Syafi’iyyah memilih bahwa surat fatihah adalah rukun shalat secara muthlak disetiap rokaat shalat baik bagi makmum ataupun imam sedangkan pendapat yang kuat dikalangan Malikiyyah menilai surat fatihah adalah rukunnya shalat kecuali bagi orang yang menjadi makmum dari shalat jamaah yang bacaan imammya dikeraskan.

Sedangkan Kalangan Hanafiyyah justru menilai bahwa surat fatihah bukanlah rukun shalat, yang menjadi keharusan bagi orang yang tengah menjalankan shalat adalah membaca surat manapun dalam al-Quran yang baginya mudah berdasarkan firman Allah “Maka bacalah oleh kalian apa-apa yang mudah dari al-Quran”
Al-Mausuuah al-Fiqhiyyah 25/288

Wallaahu A'lamu Bis Showaab

Keutamaan dan Khasiat Surat Al-Fatihah

Surat Al-Fatihah (Arab: الفاتح , Al-Fātihah, "Pembukaan") adalah surah pertama dalam Al-Qur’an. Surat ini diturunkan di Mekkah dan terdiri dari 7 ayat. Al-Fatihah merupakan surat yang pertama-tama diturunkan dengan lengkap di antara surat-surat yang ada dalam Al-Qur'an. Surat ini disebut Al-Fatihah (Pembukaan), karena dengan surat inilah dibuka dan dimulainya Al-Quran. Dinamakan Ummul Qur'an (induk Al-Quran/أمّ القرءان) atau Ummul Kitab (induk Al-Kitab/أمّ الكتاب) karena dia merupakan induk dari semua isi Al-Quran. Dinamakan pula As-Sab'ul Matsaani (tujuh yang berulang-ulang/السبع المثاني) karena jumlah ayatnya yang tujuh dan dibaca berulang-ulang dalam shalat.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ (١)
1. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (٢)
2. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ (٣)
3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (٤)
4. Yang menguasai di Hari Pembalasan.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (٥)
5. Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.
اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ (٦)
6. Tunjukilah kami jalan yang lurus,
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ (٧)
7. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

KEUTAMAAN SURAT AL-FATIHAH

Surat Al-Fatihah adalah surat yang amat masyhur, telah dikenal oleh seluruh kaum muslimin. Saking terkenalnya, terkadang sebagian kaum muslimin menyalahgunakannya, seperti membacanya untuk orang mati saat ziarah kubur, atau mengirimkan pahalanya kepada Nabi SAW, Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, dan orang-orang yang telah mati. Semua ini tak ada contohnya dari Allah dan Rasul-Nya.
Surat Al-Fatihah amat masyhur, namun banyak di antara kita tak mengetahui fadhilah, dan keutamaannya. Padahal banyak sekali hadits yang menunjukkan keutamaannya, baik dari sisi kandungan atau kedudukannya di sisi Allah -Azza wa Jalla-. Di antara fadhilah dan keutamaan Surat Al-Fatihah:
SURAT YANG PALING AGUNG
Orang yang membaca Al-Fatihah akan mendapatkan balasan pahala yang besar di sisi Allah. Terlebih lagi jika ia membacanya dengan ikhlash, dan mentadabburi maknanya.
Abu Sa’id bin Al-Mu’alla (ra) berkata:

كُنْتُ أُصَلِّيْ فَدَعَانِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ أُجِبْهُ, قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّيْ كُنْتُ أُصَلِّيْ, قَالَ: أَلَمْ يَقُلِ اللهُ: (اسْتَجِيْبُوْا لِلّهِ وَلِلرَّسُوْلِ إِذَا دَعَاكُمْ), ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أُعَلِّمُكَ أَعْظَمَ سُوْرَةٍ فِي الْقُرْآنِ قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ مِنَ الْمَسْجِدِ؟. فَأَخَذَ بِيَدِيْ, فَلَمَّا أَرَدْنَا أَنْ نَخْرُجَ, قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ, إِنَّكَ قُلْتَ: لأُعَلِّمَنَّكَ أَعْظَمَ سُوْرَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ. قَالَ: (الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ), هِيَ السَّبعُ الْمَثَانِيْ وَاْلقُرْآنُ الْعَظِيْمُ الَّذِيْ أُوْتِيْتَهُ

“Dulu aku pernah shalat. Lalu Nabi SAW memanggilku. Namun aku tak memenuhi panggilan beliau. Aku katakan: “Wahai Rasulullah, tadi aku shalat“. Beliau bersabda: “Bukankah Allah berfirman:“Penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu“. (QS. Al-Anfaal: 24). Kemudian beliau bersabda: “Maukah engkau kuajarkan surat yang paling agung dalam Al-Qur’an sebelum engkau keluar dari masjid?” Beliau pun memegang tanganku. Tatkala kami hendak keluar, maka aku kataka: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya tadi Anda bersabda: “Aku akan ajarkan kepadamu Surat yang paling agung dalam Al-Qur’an”. Beliau bersabda: “Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin. Dia ( Surat Al-Fatihah) adalah tujuh ayat yang berulang-ulang, dan Al-Qur’an Al-Azhim yang diberikan kepadaku”. [HR. Al-Bukhari dalam Shahihnya (4720), Abu Daud dalam Sunannya (1458), dan An-Nasa’i dalam Sunannya (913)]
Al-Imam Ibnu At-Tiin rahimahullah berkata saat menjelaskan makna hadits di atas:
“Maknanya, bahwa pahalanya lebih agung (lebih besar) dibandingkan surat lainnya.” (Lihat Fathul Bari(8/158) karya Ibnu Hajar Al-Asqalani)

SURAT TERBAIK DALAM AL-QUR’AN

Surat Al-Fatihah merupakan surat terbaik, karena ia mengandung tauhid, ittiba’ (mengikuti) Sunnah, adab berdo’a, Al-Wala’ wal Bara’, keimanan terhadap perkara gaib, dan lainnya.
Ibnu Jabir (ra) berkata:

اِنْتَهَيْتُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ إِهْرَاقَ الْمَاءَ فَقُلْتُ السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ فَقُلْتُ: السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ فَقُلْتُ السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ فَانْطَلَقَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْشِيْ وَأَنَا خَلْفَهُ حَتَّى دَخَلَ عَلَى رَحْلِهِ وَدَخَلْتُ أَنَا الْمَسْجِدَ فَجَلَسْتُ كَئِيْبًا حَزِيْنًا فَخَرَجَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ تَطَهَّرَ فَقَالَ : عَلَيْكَ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَ عَلَيْكَ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ و عَلَيْكَ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ ثُمَّ قَالَ اَلاَ أُخْبِرُكَ يَا عَبْدَ اللهِ بْنَ جَابِرٍ بِخَيْرِ سُوْرَةٍ فِيْ الْقُرْآنِ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: اِقْرَأْ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ حَتَّى تَخْتِمَهَا

“Aku tiba kepada Rasulullah SAW, sedang beliau mengalirkan air. Aku berkata: “Assalamu alaika, wahai Rasulullah”. Maka beliau tak menjawab salamku (sebanyak 3X). Kemudian Rasulullah SAW berjalan, sedang aku berada di belakangnya sampai beliau masuk ke kemahnya, dan aku masuk ke masjid sambil duduk dalam keadaan bersedih. Maka keluarlah Rasulullah SAW menemuiku, sedang beliau telah bersuci seraya bersabda: “Alaikas salam wa rahmatullah (3X)”. Kemudian beliau bersabda: “Wahai Abdullah bin Jabir, maukah kukabarkan kepadamu tentang sebaik-baik surat di dalam Al-Qur’an”. Aku katakan: “Mau ya Rasulullah”. Beliau bersabda: “Bacalah surat Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin (yakni, Surat Al-Fatihah) sampai engkau menyelesaikannya“. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/177). Hadits ini dihasankan oleh Al-Arna’uth dalam Takhrij Al-Musnad (no. 17633)]
AL–FATIHAH ADALAH AL-QUR’AN AL-AZHIM
Surat Al-Fatihah dinamai oleh Allah dengan “Al-Qur’an Al-Azhim”, padahal Al-Qur’an Al-Azim bukan hanya Al-Fatihah, masih ada surat-surat lainnya yang berjumlah 113. Namun Allah SWT menamainya demikian karena kandungan Al-Fatihah meliputi segala perkara yang dikandung oleh Al-Qur’an Al-Azhim secara global. Wallahu a’lam bish shawab.
Rasulullah SAW bersabda:
أُمُّ الْقُرْآنِ هِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِيْ وَالْقُرْآنُ الْعَظِيْمُ
“Ummul Qur’an (yakni, Al-Fatihah) adalah tujuh ayat yang berulang-ulang, dan Al-Qur’an Al-Azhim“. [HR. Al-Bukhari dalam Shahihnya (4427), Abu Daud dalam Sunannya (1457), dan At-Tirmidzi dalam Sunannya (3124)]

SURAT RUQYAH

Al-Qur’an seluruhnya bisa digunakan dalam meruqyah. Namun secara khusus Al-Fatihah pernah dipergunakan oleh para sahabat dalam meruqyah sebagian orang yang tergigit kalajengking. Dengan berkat pertolongan Allah, orang yang digigit kalajengking tersebut sembuh saat itu juga.
Sekarang kita dengarkan kisahnya dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri (ra), beliau berkata:

روى أبو سعيد الحضرى رض - انْطَلَقَ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ سَفْرَةٍ سَافَرُوْهَا حَتَّى نَزَلُوْا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ فَاسْتَضَافُوْهُمْ فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوْهُمْ فَلُدِغَ سَيِّدُ ذَلِكَ الْحَيِّ فَسَعَوْا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ شَيْءٌ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَوْ أَتَيْتُمْ هَؤُلاَءِ الرَّهْطَ الَّذِيْنَ نَزَلُوْا لَعَلَّهُ أَنْ يَكُوْنَ عِنْدَ بَعْضِهِمْ شَيْءٌ فَأَتَوْهُمْ فَقَالُوْا: يَا أَيُّهَا الرَّهْطُ إِنَّ سَيِّدَنَا لُدِغَ وَسَعْيُنَا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ فَهَلْ عَنْدَ أَحَدٍ مِنْكُمْ مِنْ شَيْءٍ ؟ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: نَعَمْ وَاللهِ إِنِّيْ لأَُرْقِي وَلَكِنْ وَاللهِ لَقَدْ اسْتَضَفْنَاكُمْ فَلَمْ تُضَيِّفُوْنَا فَمَا أَنَا بِرَاقٍ لَكُمْ حَتَّى تَجْعَلُوْا لَنَا جُعْلاً فَصَالَحُوْهُمْ عَلَى قَطِيْعٍ مِنَ الْغَنَمِ فَانْطَلَقَ يَتْفُلُ عَلَيْهِ وَيَقْرَأُ { الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ } . فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ فَانْطَلَقَ يَمْشِي وَمَا بِهِ قَلَبَةٌ . قَالَ: فَأَوْفَوْهُمْ جُعْلَهُمُ الَّذِيْ صَالَحُوْهُمْ عَلَيْهِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: اقْسِمُوْا فَقَالَ الَّذِيْ رَقِيَ: لاَ تَفْعَلُوْا حَتَّى نَأْتِيّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَذْكُرَ لَهُ الَّذِيْ كَانَ فَنَنْظُرَ مَا يَأْمُرُنَا فَقَدِمُوْا عَلَى رَسُوْلِ اللهِ فَذَكَرُوْا لَهُ فَقَالَ: وَمَا يُدْرِيْكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ . ثُمَّ قَالَ: قَدْ أَصَبْتُمْ اقْسِمُوْا وَاضْرِبُوْا لِيْ مَعَكُمْ سَهْمًا . فَضَحِكَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - رواه البخارى ٢١٥٦ - رواه مسام ٢٢٠١

”Ada beberapa orang dari kalangan sahabat Nabi SAW pernah berangkat dalam suatu perjalanan yang mereka lakukan sampai mereka singgah pada suatu perkampungan Arab. Mereka pun meminta jamuan kepada mereka. Tapi mereka enggan untuk menjamu mereka (para sahabat). Akhirnya, pemimpin suku itu digigit kalajengking. Mereka (orang-orang kampung itu) telah mengusahakan segala sesuatu untuknya. Namun semua itu tidak bermanfaat baginya. Sebagian di antara mereka berkata: “Bagaimana kalau kalian mendatangi rombongan (para sahabat) yang telah singgah. Barangkali ada sesuatu (yakni, obat) di antara mereka.” Orang-orang itu pun mendatangi para sahabat seraya berkata: “Wahai para rombongan, sesungguhnya pemimpin kami tersengat, dan kami telah melakukan segala usaha, tapi tidak memberikan manfaat kepadanya. Apakah ada sesuatu (obat) pada seorang di antara kalian?” Sebagian sahabat berkata: “Ya, ada. Demi Allah, sesungguhnya aku bisa meruqyah. Tapi demi Allah, kami telah meminta jamuan kepada kalian, namun kalian tak mau menjamu kami. Maka aku pun tak mau meruqyah kalian sampai kalian mau memberikan gaji kepada kami”. Merekapun menyetujui para sahabat dengan gaji berupa beberapa ekor kambing. Lalu seorang sahabat pergi (untuk meruqyah mereka) sambil memercikkan ludahnya kepada pimpinan suku tersebut, dan membaca, “Alhamdulillah Rabbil ‘Alamin (yakni, Al-Fatihah)”. Seakan-akan orang itu terlepas dari ikatan. Maka mulailah ia berjalan, dan sama sekali tak ada lagi penyakit padanya. Dia (Abu Sa’id) berkata: “Mereka pun memberikan kepada para sahabat gaji yang telah mereka sepakati. Sebagian sahabat berkata: “Silakan bagi (kambingnya)”. Yang meruqyah berkata: “Janganlah kalian lakukan hal itu sampai kita mendatangi Nabi SAW, lalu kita sebutkan kepada beliau tentang sesuatu yang terjadi. Kemudian kita lihat, apa yang beliau perintahkan kepada kita”. Mereka pun datang kepada Rasulullah SAW seraya menyebutkan hal itu kepada beliau. Maka beliau bersabda: “Apa yang memberitahukanmu bahwa Al-Fatihah adalah ruqyah?” Kemudian beliau bersabda lagi: “Kalian telah benar, silakan (kambingnya) dibagi. Berikan aku bagian bersama kalian”. Lalu Nabi SAW tertawa“. [HR. Al-Bukhari (2156), Muslim (2201)]
Al-Imam Ibnu Abi Jamrah rahimahullah berkata:
“Tempat memercikkan ludah ketika meruqyah adalah usai membaca Al-Qur’an pada anggota badan yang dilalui oleh ludah.” [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (9/206)]

CAHAYA UNTUK UMAT ISLAM

Satu lagi di antara fadhilah Al-Fatihah, ia disebut dengan cahaya, karena di dalamnya terdapat petunjuk bagi seorang muslim dalam semua urusannya. Jika kita mengkaji Al-Fatihah secara mendalam, maka kita akan mendapat banyak faedah dan petunjuk. Oleh karena itu, sebagian ulama telah menulis kitab khusus menafsirkan Al-Fatihah dan mengeluarkan mutiara hikmahnya yang berisi pelita yang menerangi kehidupan kita.
Ibnu Abbas (ra) berkata:

قال إبن عباس - بَيْنَمَا جِبْرِيْلُ قَاعِدٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ نَقِيْضًا مِنْ فَوْقِهِ فَرَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ: هَذَا بَابٌ مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ الْيَوْمَ لَمْ يُفْتَحْ قَطُّ إِلاَّ الْيَوْمَ فَنَزَلَ مِنْهُ مَلَكٌ فَقَالَ: هَذَا مَلَكٌ نَزَلَ إِلَى اْلأَرْضِ لَمْ يَنْزِلُ قَطُّ إِلاَّ الْيَوْمَ فَسَلَّمَ وَقَالَ: أَبْشِرْ بِنُوْرَيْنِ أُوْتِيْتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبْلَكَ: فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَخَوَاتِيْمَ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا إِلاَّ أُعْطِيْتَهُ - رواه مسام فى صحيحه ٨٠٦

“Tatkala Jibril duduk di sisi Nabi SAW, maka ia mendengarkan suara (seperti suara pintu saat terbuka) dari atasnya. Maka ia (Jibril) mengangkat kepalanya seraya berkata: “Ini adalah pintu di langit yang baru dibuka pada hari ini; belum pernah terbuka sama sekali, kecuali pada hari ini.” Lalu turunlah dari pintu itu seorang malaikat seraya Jibril berkata: “Ini adalah malaikat yang turun ke bumi; ia sama sekali belum pernah turun, kecuali pada hari ini.” Malaikat itu pun memberi salam seraya berkata: “Bergembiralah dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu; belum pernah diberikan kepada seorang nabi sebelummu, yaitu Fatihatul Kitab, dan ayat-ayat penutup Surat Al-Baqarah. Tidaklah engkau membaca sebuah huruf dari keduanya, kecuali engkau akan diberi“. [HR. Muslim dalam Shahihnya (806), dan An-Nasa’i (912)]

PENENTU SHALAT

Al-Fatihah adalah kewajiban bagi setiap orang yang mengerjakan shalat, baik ia imam, makmum, atau pun munfarid (shalat sendiri). Barangsiapa yang tak membacanya, maka shalatnya tak sah.
Nabi SAW bersabda:

قال النبى ص م - مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ يَقْرَأْ فِيْهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِدَاجٌ ثَلاَثًا غَيْرُ تَمَامٍ فَقِيْلَ لِأَبِيْ هُرَيْرَةَ: إِنَّا نَكُوْنُ وَرَاءَ اْلإِمَامِ فَقَالَ: اِقْرَأْ بِهَا فِيْ نَفْسِكَ فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: قَالَ اللهُ تَعَالَى: قَسَّمْتُ الصَّلاَةَ بَيْنِيْ وَبَيْنَ عَبْدِيْ نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِيْ مَا سَأَلَ - رواه مسام ٣٩٥

“Barangsiapa yang melakukan shalat, sedang ia tak membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah) di dalamnya, maka shalatnya kurang (3X), tidak sempurna”. Abu Hurairah ditanya: “Bagaimana kalau kami di belakang imam?” Beliau berkata: “Bacalah pada dirimu (yakni, secara sirr/pelan), karena sungguh aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: “Aku telah membagi Shalat (yakni, Al-Fatihah) antara Aku dengan hamba-Ku setengah, dan hamba-Ku akan mendapatkan sesuatu yang ia minta.” [HR. Muslim (395), Abu Daud (821), At-Tirmidzi (2953), An-Nasa’i (909), dan Ibnu Majah (838)]
Abu Zakariya An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Al-Fatihah dinamai shalat, karena shalat tak sah, kecuali bersama Al-Fatihah." [Lihat Syarh Shahih Muslim (2/127)]
Inilah beberapa di antara keutamaan Al-Fatihah, kami sajikan bagi para khatib, da’i, penuntut ilmu, dan seluruh kaum muslimin agar mereka tahu dan mengamalkan hadits-hadits shahih ini, dan menyebarkannya, tanpa berpegang lagi dengan hadits-hadits lemah dan palsu tentang fadhilah Al-Fatihah.

KHASIAT SURAT AL-FATIHAH

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
"Membaca Al-Fatihah pahalanya seperti sepertiga Al-Quran."
Nabi Muhammad SAW juga bersabda:
"Surat Al-Fatihah adalah untuk apa ia dimaksudkankan dalam bacaannya."
"Al-Fatihah itu pembukaan maksud bagi orang-orang mukmin."

Khasiat Lainnya

Siapa membaca surat Al-Fatihah dalam keadaan berwudhu sebanyak 70x setiap hari selama tujuh hari lalu ditiupkan pada air yang suci lalu diminum maka ia akan memperolehi ilmu dan hikmah serta hatinya dibersihkan dari fikiran rusak.

Di antara khasiat Al-Fatihah ialah siapa yang membaca 'Al-Fatihah' di waktu hendak tidur, Surat 'Al-Ikhlas' sebanyak 3x dan Mu'awwidzatain maka ia akan aman dari segala hal selain ajal.
Dan siapa berhajat (berkeinginan sesuatu) kepada Allah SWT maka olehnya dibaca surat Al-Fatihah sebanyak 41x di antara shalat sunnah Subuh dan shalat fardhu Subuh sampai 40 hari (tidak lebih) kemudian memohon kepada Allah SWT, maka Insya Allah ia penuhi keperluan hidupnya.
Barangsiapa membaca Al-Fatihah beserta Bismillah di antara shalat sunnah Subuh dan fardhu Subuh dengan istiqamah, maka kalau ia inginkan pangkat terkabullah ia dan kalau ia fakir maka akan kaya serta jika ia punya hutang maka mampu membayarnya dan kalau ia sakit maka akan sembuh serta kalau ia punya anak maka anaknya itu menjadi anak yang shaleh, berkat surah Al-Fatihah.

Barangsiapa mengamalkan bacaan Al-Fatihah sebanyak 20x setiap selesai shalat fardhu lima waktu maka Allah SWT luaskan rezekinya, baik akhlaknya, mudahkan urusannya, hilangkan keprihatinannya dan kesusahannya, anugerahkan apa yang ia angan-angankan, dapatkan berbagai berkat dan kemuliaan, jadikan ia berwibawa, berpangkat luhur, berpenghidupan baik dan ia pula anak-anaknya terlindung dari kemudharatan dan kerusakan serta dianugerahkan kebahagiaan dan sebagainya.
Barangsiapa mengamalkan bacaan Al-Fatihah sebanyak 125x selesai shalat Subuh maka ia peroleh maksudnya dan ia ketemukan apa yang dicari-cari serta sebaiknya ia panjatkan doa yang bermaksud:
"Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu dengan kebenaran Surah Al-Fatihah dan rahasianya, supaya dimudahkan bagiku semua urusanku, sama ada urusan dunia atau urusan akhirat, supaya dimakbulkan permohonanku dan ditunaikan hajatku..........."
Barangsiapa mengamalkan bacaan Al-Fatihah di waktu sahur (tengah malam) sebanyak 41x maka Allah SWT bukakan pintu rezekinya dan Dia mudahkan urusannya tanpa kepayahan dan kesulitan. Selesai bacaan Al-Fatihah tersebut dan sebaiknya berdoa:
"Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu dengan kebenaran surah Al-Fatihah dan rahasianya, supaya Engkau bukakan bagiku pintu-pintu rahmat-Mu, kurnia-Mu dan rezeki-Mu. Dan Engkau mudahkan setiap urusanku, murahkanlah bagiku rezeki-Mu yang banyak lagi berkat tanpa kekurangan dan tanpa susah payah, sesungguhnya Engkau berkuasa atas setiap sesuatu. Aku mohon kepada-Mu dengan kebenaran surat Al-Fatihah dan rahasianya, berikan apa yang kuhajati........"
Diriwayatkan dari Syeikh Muhyiddin Ibnul Arabi di dalam kitab 'Qaddasallaahu Sirrahu':
"Siapa yang punya maksud maka sebaiknya ia membaca surat Al-Fatihah sebanyak 40x sehabis shalat Maghrib dan sunnahnya, selesai itu ia ajukan permohonan hajatnya kepada Allah SWT."
Surat Al-Fatihah boleh mengobati penyakit mata, sakit gigi, sakit perut dan lain-lainnya dengan dibacakan sebanyak 41x.

Ikhtiar Mengobati Penyakit:

Baca surat Al-Fatihah sebanyak 40x pada tempat berisi air, lalu air itu diusap-usapkan pada kedua belah tangan, kedua belah kaki, muka, kepala dan seluruh badan, lalu diminum. Insya Allah menjadi sembuh.
Kalau surat Al-Fatihah itu ditulis dengan huruf-huruf terpisah lalu dileburkan dengan air suci dan diminumkan kepada si sakit, maka dengan iradah AllahSWT ia akan sembuh.
Ikhtiar Menghilangkan Sifat Pelupa:
Tulislah surat Al-Fatihah dengan huruf Arab pada tempat putih dan suci lalu dihapuskan dengan air dan diberi minum pada orang yang pelupa, maka ia akan hilang sifat pelupanya dengan izin Allah SWT.
Mengobati Sakit Disebabkan Oleh Sengatan Kala:
Ambil sebuah tempat bersih lalu diisi air dan sedikit garam lalu dibacakan padanya Surah Al-Fatihah sebanyak 7x lalu diberi minum pada orang yang tersengat kala itu, Insya Allah ia akan sembuh.
Mengobati Sakit Gigi Dan Lain-lain:
Untuk dirinya sendiri = letakkan jari pada tempat yang sakit lalu membaca Al-Fatihah dan berdoa sebanyak 7x:
"Ya Allah, hilangkan daripada keburukan dan kekejian yang aku dapati dengan doa Nabi-Mu yang jujur (al- Amin) dan tetap disisi-Mu".
Mengobati Penyakit Gigi Orang Lain:
Selesai membaca Al-Fatihah maka berdoa 7x:
"Ya Allah, hilangkan daripada orang ini keburukan dan kekejian yang aku dapati dengan doa Nabi-Mu yang jujur (Al-Amin) dan tetap di sisi-Mu."
Menyembuhkan Penyakit Mata yang Kabur (Rabun)
Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Barangsiapa yang ingin menyembuhkan kelemahan pandangannya (kabur/rabun) maka hendaklah dilakukan:
Memandang bulan pada awal bulan, jika tidak kelihatan atau terhalang oleh awan dan lain-lain hal, lakukan pada malam kedua, juga tidak dapat, dicoba pada malam ketiga atau begitu seterusnya hingga nampak kelihatan bulan itu.
Apabila telah kelihatan, hendaklah ia menyapukan tangan kanannya ke mata dengan membaca Al-Fatihah sebanyak 10x.
Sesudah itu mengucapkan pula sebanyak 7x doa ini:
"Al-Fatihah itu menjadi obat tiap-tiap penyakit dengan rahmat-Mu ya Tuhan yang pengasih penyayang."
Lalu mengucapkan "Yaa Rabbi" sebanyak 5x.
Terakhir mengucapkan pula doa ini sebanyak 1x:
"Ya Allah sembuhkanlah, Engkaulah yang menyembuhkan, Ya Allah sehatkanlah, Engkaulah yang menyehatkan."

Senin, 11 Januari 2016

Kisah Sekumpulan Jin Yang Mendengarkan Al Quran

Diriwayatkan dari Ibn Abbas r.a. : Rasulullah Saw berangkat dengan niat pergi ke Suq Ukazh (Pasar Ukazh) bersama para sahabatnya.
Pada waktu itu, sebuah rintangan telah ditempatkan di antara setan-setan (dari bangsa jin) dan kabar dari langit. Api yang menyala dilemparkan kepadanya. Setan-setan pergi menemui kaumnya yang bertanya kepada mereka,”apa yang terjadi denganmu?” mereka berkata,”sebuah rintangan telah ditempatkan diantara kami dan kabar dari langit (as-sama’), api yang menyala dilemparkan kepada kami”, mereka berkata,”sesuatu yang ditempatkan sebagai rintangan antara kalian dengan kabar dari langit pasti sesuatu yang baru saja terjadi. Pergilah ke arah timur dan arah barat dan lihat apa yang telah ditempatkan sebagai rintangan antara kalian dengan kabar dari langit”.
Mereka yang pergi menuju Tihama berpapasan dengan Nabi Muhammad Saw di sebuah tempat bernama Nakhla dan tempat itu terdapat di jalan yang menuju Suq Ukazh dan Nabi Muhammad Saw tengah mengerjakan shalat subuh berjamaah dengan para sahabatnya.
Ketika mereka (para jin) mendengar al Quran, mereka memperhatikannya dan berkata,”demi Allah! Inilah rintangan yang telah menghalangi kita dengan kabar dari langit”. Mereka kembali kepada kaumnya dan berkata,”wahai kaumku! Sungguh kami telah mendengar bacaan yang menakjubkan (al Quran). Bacaan itu menuntun ke jalan yang lurus; dan disanalah kami beriman dan kami tidak akan pernah mempersekutukan sesuatu pun dengan Tuhan kami”.
Allah mewahyukan ayat-ayat berikut ini kepada Nabi Muhammad Saw; diwahyukan kepadaku, bahwa sekumupulan jin telah mendengarkan (al Quran)…. (QS Al Jin [72]). Dan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw adalah perbincangan para jin itu.

 قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا

"Katakanlah (hai Muhammad): 'Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya: sekumpulan jin telah mendengarkan (Al-Qur'an), lalu mereka berkata: 'Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur'an yang menakjubkan," – (QS.72:1)

هْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَلَنْ نُشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا

"(yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami (jin) beriman kepadanya (Al-Qur'an). Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorangpun dengan Rabb-kami," – (QS.72:2)

wwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwww


----------------------------------------------------------
diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud ra. : bahwa ia ditanya seseorang, "siapa yang memberitahu Nabi Saw perihal sekelompok jin yang mendengarkan pembacaan Al Quran?" dia berkata bahwa yang memberitahu Nabi Saw adalah sebatang pohon.
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest

قال رجل: يا رسول الله أي العمل أحب إلى الله؟ قال: «الحال المرتحل». قال: وما الحال المرتحل؟ قال: «الذي يضرب من أول القرآن إلى آخره كلما حل ارتحل

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: بَيْنَمَا جِبْرِيلُ قَاعِدٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم سَمِعَ نَقِيضًا مِنْ فَوْقِهِ فَرَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ: هَذَا بَابٌ مِنْ السَّمَاءِ فُتِحَ الْيَوْمَ لَمْ يُفْتَحْ قَطُّ إِلا الْيَوْمَ فَنَزَلَ مِنْهُ مَلَكٌ. فَقَالَ: هَذَا مَلَكٌ نَزَلَ إِلَى الأَرْضِ لَمْ يَنْزِلْ قَطُّ إِلا الْيَـوْمَ. فَسَلَّمَ وَقَالَ: أَبْشِـرْ بِنُـورَيْنِ أُوتِيتَهُمَا لَمْ يُؤْتَـهُمَا نَبِيٌّ قَبْلَكَ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ وَخَوَاتِيمُ سُورَةِ الْبَقَرَةِ، لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا إِلا أُعْطِيتَهُ. رواه مسلم

عن أبي أمامة رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: " اقرءوا القرآن فإنه يأتي يوم القيامة شفيعًا لأصحابه" رواه مسلم

وعن عثمان بن عفان رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "خيركم من تعلم القرآن وعلمه . رواه البخاري

وعن عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "الذي يقرأ القرآن وهو ماهر به مع السفرة الكرام البررة، والذي يقرأ القرآن ويتتعتع فيه وهو عليه شاق له أجران . متفق عليه

وعن أبي موسى الأشعري رضي الله عنه: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "مثل المؤمن الذي يقرأ القرآن مثل الأترجة: ريحها طيب، وطعمها طيب، ومثل المؤمن الذي لا يقرأ القرآن كمثل التمرة: لا ريح لها وطعمها حلو، ومثل المنافق الذي يقرأ القرآن كمثل الريحانة: ريحها طيب وطعمها مر، ومثل المنافق الذي لايقرأ القرآن كمثل الحنظلة: ليس له ريح وطعمها مر" متفق عليه

وعن ابن مسعود رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "من قرأ حرفًا من كتاب الله فله حسنة، والحسنة بعشر أمثالها لا أقول: ألم حرف، ولكن ألف حرف، ولام حرف، وميم حرف" راوه الترمذي وقال: حديث حسن صحيح

القرآن: اقرأ وارتقِ ورتل كم كنت ترتل في الدنيا، فإن منزلتك عند آخر آية تقرؤها". رواه أبو داود والترمذي وقال: حديث حسن صحيح

وعن ابن عباس رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "إن الذي ليس في جوفه شيء من القرآن كالبيت الخرب". رواه الترمذي وقال: حديث حسن صحيح

سئل [الإمام ابن حجر الهيتمي] نفع الله به عن قوله صلى الله عليه وسلم : "يقال لصاحب القرآن يوم القيامة: إقرأ وارق ورتل كما كنت ترتل في الدنيا فإن منزلتك عند آخر آية"، من المخصوص بهذه الفضيلة؟ هل هم من يحفظ القرآن في الدنيا عن ظهر قلب ومات كذلك، أم ما يستوي فيه هو ومن يقرأ في المصحف؟

فأجاب رضي الله عنه بقوله : الخبر المذكور خاص بمن يحفظه عن ظهر قلب، لا بمن يقرأ في المصحف، لأن مجرد القراءة في الخط لا يختلف الناس فيها ولا يتفاوتون قلة وكثرة، وإنما الذي يتفاوتون فيه كذلك هو الحفظ عن ظهر قلب، فلهذا تفاوتت منازلهم في الجنة بحسب تفاوت حفظهم، ومما يؤيد ذلك أيضا أن حفظ القرآن عن ظهر قلب فرض كفاية على الأمة، ومجرد القراءة في المصحف من غير حفظ لا يسقط بها الطلب فليس لها كبير فضل كفضل الحفظ، فتعين أنه -أعنى الحفظ عن ظهر قلب- هو المراد في الخبر، وهذا ظاهر من لفظ الخبر بأدنى تأمل، وقول الملائكة له " اقرأ وارق " صريح في حفظه عن ظهر قلب كما لا يخفى.

(الفتاوى الحديثية لابن حجر الهيتمي)
 
 QS. An Nahl:98

فَإِذَا قَرَأْتَ ٱلْقُرْءَانَ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ مِنَ ٱلشَّيْطَـٰنِ ٱلرَّجِيمِ
 
Bab:Khataman Al Qur'an
 
1. Sunnah mengucapkan "Takbir" pada waktu kita sampai pada akhir surat Ad-Dhuhaa:

 وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ 
, dan terus mengucapkan "Takbir" pada setiap akhir surat, hingga Surat An-Naas.
 
2. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Ubay bin Ka'ab ra. Bahwasanya Nabi SAW apabila selesai membaca Surat An-Naas (khataman Al Qur'an):
 مِنَ ٱلْجِنَّةِ وَٱلنَّاسِ , Beliau lantas membaca Surah Al Fatihah hingga (5 ayat diawal Al Baqarah), yakni hingga ayat:

 أُوْلَـٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ وَأُوْلَـٰئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ

 

 

 

 

Tanya Jawab Tentang Alquran Piss

Tanya Jawab Tentang Alquran Piss 1.0