Sejarah Air Zam Zam [1]
Nadzar Abdul Muthalib Jika Telah Selesai
Abdul Muthalib bernadzar karena Allah Azza Wajalla ketika diperintah menggali sumur zam zam. jika telah selesai menggali sumur zam zam dengan sempurna, dan dia mempunyai sepuluh anak laki-laki maka dia akan menyembelih salah satunya karena Allah Azza Wajalla. maka Allah menambah kemulyaannya dan kemulyaan anaknya, maka dilahirkan untuknya sepuluh anak laki-laki dari enam istri yaitu :
1) Al Harits, 2) Abdullah, 3) Abu tholib, 4) Az Zubair, 5) Al Abbas, 6) Dhiror, 7) Abu Lahab, 8) Al Ghoidaq, 9) Hamzah, 10) Al Muqowwam, ketika sempurna anak laki-lakinya yang berjumlah sepuluh, dan agung kemulyaannya. dia menggali sumur zam zam dan telah sempurna baginya air minumnya maka dia mengundi anak-anaknya, siapa yang harus disembelih, maka keluarlah dalam undian itu kepada Abdullah bin Abdul Muthalib, ayah Rosululloh Sholallohu ‘alaihi Wasallam.
Lantas berdirilah Abdul Muthalib untuk menyembelih Abdullah, putra kesayangannya, dan berdiri pula paman-paman dari pihak ibunya dari Bani Makhzum, dan pembesar-pembesar Quraisy lainnya serta orang-orang yang berpikiran cemerlang di antara mereka. mereka berkata,”Kamu jangan menyembelih putramu itu, karena jika kamu lakukan akan menjadi kebiasaan orang-orang Arab”, dan berdiri pula anak-anaknya bersama-sama orang Quraisy tentang itu. maka berkatalah orang-orang Quraisy kepada Abdul Muthalib,”Sesungguhnya di tanah Hijaz ada seorang dukun yang mempunyai pengikut jin, maka bertanyalah kamu kepadanya, maka kamu harus tetap di atas urusanmu. jika dukun itu menyuruhmu untuk menyembelihnya, maka sembelihlah. Dan jika dukun itu memberi jalan keluar lainnya, maka terimalah.”
Berangkatlah mereka kepada dukun Hijaz untuk menanyakannya, dan berceritalah Abdul Muthalib tentang nadzarnya. Berkatalah si dukun,”Pulanglah kalian pada hari ini sehingga datanglah padaku jin yang mengikuti aku, maka aku akan bertanya kepadanya.” Maka pulanglah mereka semuanya hingga hari esok. Kemudian mereka berpagi-pagian datang kepada si dukun, maka berkatalah dia,”Ya, telah datang padaku kabarnya. Berapakah denda di antara kalian?”
Mereka menjawab,”Sepuluh onta”
Berangkatlah mereka kepada dukun Hijaz untuk menanyakannya, dan berceritalah Abdul Muthalib tentang nadzarnya. Berkatalah si dukun,”Pulanglah kalian pada hari ini sehingga datanglah padaku jin yang mengikuti aku, maka aku akan bertanya kepadanya.” Maka pulanglah mereka semuanya hingga hari esok. Kemudian mereka berpagi-pagian datang kepada si dukun, maka berkatalah dia,”Ya, telah datang padaku kabarnya. Berapakah denda di antara kalian?”
Mereka menjawab,”Sepuluh onta”
Berkatalah
si dukun,”Pulanglah ke negaramu dan berkurbanlah sepuluh onta, buatlah
panah undi nasib di atas onta dan di atas temanmu (Abdullah). Maka jika
yang keluar itu onta, maka sembelihlah onta itu. Dan jika yang keluar
undiannya itu temanmu, maka tambahlah sepuluh onta lagi kemudian buatlah
panah undi nasib atas keduanya. Sehingga ridho Tuhan kalian, jika yang
keluar itu onta, maka sembelihlah onta-onta itu. Maka sungguh telah
ridho Tuhan kalian dan selamat teman kalian”
Maka pulanglah orang-orang Quraisy ke Mekkah, lantas Abdul Muthalib mengundi atas Abdullah dan atas sepuluh onta, ternyata undiannya yang keluar adalah Abdullah. Orang-orang Quraisy pun berkata,”Wahai Abdul Muthalib, tambahlah untuk untuk Tuhanmu hingga ridho”. Maka tidak henti-hentinya ditambah sepuluh onta, tetapi undian yang keluar tetap Abdullah.Orang-orang Quraisy pun berkata,”Tambahlah untuk Tuhanmu sampai Dia ridho”. maka Abdul Muthalib terus melakukannya sampai seratus onta. Maka keluarlah undian itu atas seratus onta.Berkata orang-orang Quraisy atas Abdul Muthalib,”Sembelihlah! sesungguhnya Tuhanmu telah ridho.”
Dia berkata,”Kalau begitu aku tidak adil kepada tuhanku sampai keluar undian tiga kali”. Maka Abdul Muthalib mengundi lagi atas Abdullah dan atas seratus onta, maka tiap-tiap diulang, ternyata yang keluar adalah onta. Ketika undian tiga kali berturut-turut keluar seratus onta, maka Abdul Muthalib menyembelih onta-onta itu di dalam jurang-jurang, di lereng-lereng, dan di puncak-puncak gunung. Tidak dihalangi daripadanya manusia, burung dan binatang-binatang buas. Maka tertarik orang-orang desa di sekitar Mekkah untuk mengambil daging-daging diyat, dan binatang-binatang pun saling berebut sisa-sisa yang masih tertinggal, sedangkan Abdul Muthalib dan anak-anaknya tidak seorang pun yang ikut memakan onta-onta yang disembelihnya sebagai diyat, dan sejak saat itulah berlaku bahwa diyat itu seratus onta. Kemudian datang Islam menetapkan bahwa diyat adalah seratus onta.
Ketika Abdul Muthalib pulang menuju rumahnya, dia bertemu dengan Wahb bin Abdi Manaf bin Zuhroh bin Kilab yang sedang duduk di Masjidil Harom. Wahb adalah seorang bangsawan Quraisy yang paling mulia di kota Mekkah waktu itu. Maka (terjadilah kesepakatan) Wahb menikahkan putrinya yang bernama Aminah dengan Abdullah bin Abdul Muthalib, ayah dari Rosulillah Sholallohu ‘alaihi Wasallam.
Di dalam riwayat lain secara ringkas diriwayatkan oleh Al Azroqi: Sehingga memungkinkan bagi Abdul Muthalib untuk menggali sumur zam zam dan sangat berat sakitnya (dalam mengerjakannya). Maka Abdul Muthalib bernadzar jika Allah memberi anak laki-laki kepadanya sepuluh orang, maka salah satunya akan disembelih. Kemudian Abdul Muthalib menikah dengan beberapa perempuan lantas dilahirkan baginya sepuluh anak laki-laki. Ketika diadakan undian maka keluarlah undiannya kepada Abdullah bin Abdul Muthalib, anak yang paling disayanginya. Maka berdoalah dia,”Ya Allah, apakah dia yang lebih Engkau senangi ataukah seratus onta?”. Kemudian Abdul Muthalib mengundi lagi antara Abdullah dan seratus onta, maka keluarlah undian atas seratus onta. Oleh sebab itu, maka Abdul Muthalib menyembelih seratus onta sebagai diyat.
Demikianlah apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki Allah tidaklah akan terjadi. Allah Ta’ala telah memelihara ayah Rosululloh Sholallohu ‘alaihi Wasallam dari penyembelihan dan ditebus dengan seratus onta. Supaya menjadi kenyataan kehendak Allah yang akan menjadikan Abdullah bin Abdul Muthalib menjadi perantara lahirnya seorang Nabi yang mulia yaitu Nabi Muhammad Rosululloh Sholallohu ‘alaihi Wasallam, yang menjadi penghulu dunia dan menjadi rohmat bagi sege
Maka memanggillah Malaikat Jibril kepada Ummu Ismail, lantas berkata,”Siapakah kamu?”. ia menjawab,”Aku adalah Hajar, ibu dari anak laki-laki Nabi Ibrohim. Jibril bertanya,”Kepada siapa Ibrohim menyerahkan kamu berdua?” Ummu Ismail menjawab,”Kepada Alloh”. ibril berkata lagi,”Dia telah menyerahkan kamu berdua kepada Dzat yang mencukupi”. Maka Malaikat Jibril menggali tanah dengan tumitnya atau dengan sayapnya sehingga kelihatan air. Dalam riwayat Bukhori dia berkata :”Maka memancarlah air, lantas Ummu Ismail tercengang melihatnya dan berusaha mengumpulkannya”.
Dalam Hadits Ali Rodhiyallohu ’anhu : “Maka jadilah Ummu Ismail menahan air, maka berkatalah Jibril : Biarkanlah air itu, karena sesungguhnya dia akan memancar dengan melimpah. Dan jadilah Ummu Ismail mencawuk air zam-zam dan memasukkannya ke dalam tempat air, dan air itu menyembur setelah dicawuk oleh Ummu Ismail (Fathkul Bari 6/402). bnu Abbas berkata, Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda,”Mudah-mudahan Alloh memberikan rohmat kepada Ummu Ismail, seandainya dia meninggalkan zam-zam”. Atau Beliau bersabda : Seandainya dia tidak mencawuk air zam-zam maka niscaya zam-zam menjadi sumber mata air yang mengalir deras.
Dalam riwayat Bukhori : Seandainya dia meninggalkannya, maka adalah air itu menjadi kelihatan nyata. Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda : “Maka dia pun minum air zam-zam tersebut dan juga menyusui Ismail.” Dalam riwayat lain dari Bukhori : Maka jadilah Ummu Ismail minum dari air zam-zam dan deras air susu untuk anaknya. Maka malaikat pun berkata padanya, kamu jangan kuatir disia-siakan, karena disini ada Baitulloh yang akan dibangun oleh anak ini dan ayahnya. Dan sesungguhnya Alloh tidak menyia-nyiakan keluarga Ibrohim.
Dalam satu riwayat lain disebutkan : “Jangan kamu kuatir air itu akan habis”. Dan dalam riwayat Alfakihy disebutkan : “Jangan kamu kuatir keluarga lembah ini akan kehausan karena sesungguhnya zam-zam adalah sumber air yang akan diminum oleh tamu-tamu Alloh (Fatkhul Bari 6/402). Begitulah keadaan Hajar Ummu Ismail sampai dengan datangnya serombongan orang Jurhum Bani Qohthon dari Yaman yang datang dari jalan kada’ untuk beristirahat di sebelah bawah Mekkah, dan tiba-tiba mereka melihat burung-burung beterbangan mengelilingi air dan berbolak-balik, artinya tidak terus lewat. Mereka berkata,”Burung-burung ini terbang berputar-putar di atas air, padahal setahu kami disini tidak ada air”.
Maka pulanglah orang-orang Quraisy ke Mekkah, lantas Abdul Muthalib mengundi atas Abdullah dan atas sepuluh onta, ternyata undiannya yang keluar adalah Abdullah. Orang-orang Quraisy pun berkata,”Wahai Abdul Muthalib, tambahlah untuk untuk Tuhanmu hingga ridho”. Maka tidak henti-hentinya ditambah sepuluh onta, tetapi undian yang keluar tetap Abdullah.Orang-orang Quraisy pun berkata,”Tambahlah untuk Tuhanmu sampai Dia ridho”. maka Abdul Muthalib terus melakukannya sampai seratus onta. Maka keluarlah undian itu atas seratus onta.Berkata orang-orang Quraisy atas Abdul Muthalib,”Sembelihlah! sesungguhnya Tuhanmu telah ridho.”
Dia berkata,”Kalau begitu aku tidak adil kepada tuhanku sampai keluar undian tiga kali”. Maka Abdul Muthalib mengundi lagi atas Abdullah dan atas seratus onta, maka tiap-tiap diulang, ternyata yang keluar adalah onta. Ketika undian tiga kali berturut-turut keluar seratus onta, maka Abdul Muthalib menyembelih onta-onta itu di dalam jurang-jurang, di lereng-lereng, dan di puncak-puncak gunung. Tidak dihalangi daripadanya manusia, burung dan binatang-binatang buas. Maka tertarik orang-orang desa di sekitar Mekkah untuk mengambil daging-daging diyat, dan binatang-binatang pun saling berebut sisa-sisa yang masih tertinggal, sedangkan Abdul Muthalib dan anak-anaknya tidak seorang pun yang ikut memakan onta-onta yang disembelihnya sebagai diyat, dan sejak saat itulah berlaku bahwa diyat itu seratus onta. Kemudian datang Islam menetapkan bahwa diyat adalah seratus onta.
Ketika Abdul Muthalib pulang menuju rumahnya, dia bertemu dengan Wahb bin Abdi Manaf bin Zuhroh bin Kilab yang sedang duduk di Masjidil Harom. Wahb adalah seorang bangsawan Quraisy yang paling mulia di kota Mekkah waktu itu. Maka (terjadilah kesepakatan) Wahb menikahkan putrinya yang bernama Aminah dengan Abdullah bin Abdul Muthalib, ayah dari Rosulillah Sholallohu ‘alaihi Wasallam.
Di dalam riwayat lain secara ringkas diriwayatkan oleh Al Azroqi: Sehingga memungkinkan bagi Abdul Muthalib untuk menggali sumur zam zam dan sangat berat sakitnya (dalam mengerjakannya). Maka Abdul Muthalib bernadzar jika Allah memberi anak laki-laki kepadanya sepuluh orang, maka salah satunya akan disembelih. Kemudian Abdul Muthalib menikah dengan beberapa perempuan lantas dilahirkan baginya sepuluh anak laki-laki. Ketika diadakan undian maka keluarlah undiannya kepada Abdullah bin Abdul Muthalib, anak yang paling disayanginya. Maka berdoalah dia,”Ya Allah, apakah dia yang lebih Engkau senangi ataukah seratus onta?”. Kemudian Abdul Muthalib mengundi lagi antara Abdullah dan seratus onta, maka keluarlah undian atas seratus onta. Oleh sebab itu, maka Abdul Muthalib menyembelih seratus onta sebagai diyat.
Demikianlah apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki Allah tidaklah akan terjadi. Allah Ta’ala telah memelihara ayah Rosululloh Sholallohu ‘alaihi Wasallam dari penyembelihan dan ditebus dengan seratus onta. Supaya menjadi kenyataan kehendak Allah yang akan menjadikan Abdullah bin Abdul Muthalib menjadi perantara lahirnya seorang Nabi yang mulia yaitu Nabi Muhammad Rosululloh Sholallohu ‘alaihi Wasallam, yang menjadi penghulu dunia dan menjadi rohmat bagi sege
Sejarah Air Zam Zam [2]
Pada
edisi yang lalu dikisahkan bahwa Nabi Ibrohim meninggalkan Ummu Ismail
dan anaknya, Ismail, di sisi pohon besar dekat Baitulloh dengan
meninggalkan sekantong kurma dan sekantong kirbah air minum. Nabi
Ibrohim menjelaskan bahwa beliau meninggalkan mereka karena perintah
dari Alloh….
etika air dalam kantong kirbah telah habis, Ummu Ismail kebingungan karena haus, begitu pula anaknya, Ismail. Sang ibu melihat putranya berkelojotan, memukul-mukulkan tubuhnya ke bumi dan nafasnya tersengal-sengal seperti menghadapi kematian. Maka pergilah Ummu Ismail mencari air hingga menemukan bukit Shofa yang tidak jauh dari tempatnya. Ia berdiri menghadap ke lembah untuk melihat apakah ada orang lain disana. Tetapi ia tidak melihatnya sama sekali.
Maka ia menuruni bukit Shofa hingga sampai di sebuah lembah (jurang). Ia mengangkat baju kurungnya dan berlari-lari kecil, seperti orang yang sedang dilanda kesulitan, hingga ia melewati lembah tersebut. Kemudian dia menghampiri Bukit Marwah dan berdiri di atasnya. Ia melihat-lihat barangkali ada seseorang disana, akan tetapi tidak dijumpainya. Maka ia lakukan itu sebanyak tujuh kali (bolak-balik). Ibnu Abbas berkata : ”Demikian itulah Sa’i-nya manusia di antara Bukit Shofa dan Marwah”.
Ketika dia naik ke Bukit Marwah ketujuh kalinya, tiba-tiba ia mendengar suara. Maka ia menasehati dirinya sendiri,”Diamlah!”. Kemudian ia mendengar lagi, lantas ia berkata,”Kamu telah memperdengarkan suaramu, jika kamu memiliki kebaikan tolonglah aku”. Seketika itu, Ummu Ismail melihat malaikat Jibril di dekat tempat zam-zam.
Imam Atthobary meriwayatkan dengan isnad hasan dari sahabat Rodhiyallohu’anhu :
etika air dalam kantong kirbah telah habis, Ummu Ismail kebingungan karena haus, begitu pula anaknya, Ismail. Sang ibu melihat putranya berkelojotan, memukul-mukulkan tubuhnya ke bumi dan nafasnya tersengal-sengal seperti menghadapi kematian. Maka pergilah Ummu Ismail mencari air hingga menemukan bukit Shofa yang tidak jauh dari tempatnya. Ia berdiri menghadap ke lembah untuk melihat apakah ada orang lain disana. Tetapi ia tidak melihatnya sama sekali.
Maka ia menuruni bukit Shofa hingga sampai di sebuah lembah (jurang). Ia mengangkat baju kurungnya dan berlari-lari kecil, seperti orang yang sedang dilanda kesulitan, hingga ia melewati lembah tersebut. Kemudian dia menghampiri Bukit Marwah dan berdiri di atasnya. Ia melihat-lihat barangkali ada seseorang disana, akan tetapi tidak dijumpainya. Maka ia lakukan itu sebanyak tujuh kali (bolak-balik). Ibnu Abbas berkata : ”Demikian itulah Sa’i-nya manusia di antara Bukit Shofa dan Marwah”.
Ketika dia naik ke Bukit Marwah ketujuh kalinya, tiba-tiba ia mendengar suara. Maka ia menasehati dirinya sendiri,”Diamlah!”. Kemudian ia mendengar lagi, lantas ia berkata,”Kamu telah memperdengarkan suaramu, jika kamu memiliki kebaikan tolonglah aku”. Seketika itu, Ummu Ismail melihat malaikat Jibril di dekat tempat zam-zam.
Imam Atthobary meriwayatkan dengan isnad hasan dari sahabat Rodhiyallohu’anhu :
Maka memanggillah Malaikat Jibril kepada Ummu Ismail, lantas berkata,”Siapakah kamu?”. ia menjawab,”Aku adalah Hajar, ibu dari anak laki-laki Nabi Ibrohim. Jibril bertanya,”Kepada siapa Ibrohim menyerahkan kamu berdua?” Ummu Ismail menjawab,”Kepada Alloh”. ibril berkata lagi,”Dia telah menyerahkan kamu berdua kepada Dzat yang mencukupi”. Maka Malaikat Jibril menggali tanah dengan tumitnya atau dengan sayapnya sehingga kelihatan air. Dalam riwayat Bukhori dia berkata :”Maka memancarlah air, lantas Ummu Ismail tercengang melihatnya dan berusaha mengumpulkannya”.
Dalam Hadits Ali Rodhiyallohu ’anhu : “Maka jadilah Ummu Ismail menahan air, maka berkatalah Jibril : Biarkanlah air itu, karena sesungguhnya dia akan memancar dengan melimpah. Dan jadilah Ummu Ismail mencawuk air zam-zam dan memasukkannya ke dalam tempat air, dan air itu menyembur setelah dicawuk oleh Ummu Ismail (Fathkul Bari 6/402). bnu Abbas berkata, Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda,”Mudah-mudahan Alloh memberikan rohmat kepada Ummu Ismail, seandainya dia meninggalkan zam-zam”. Atau Beliau bersabda : Seandainya dia tidak mencawuk air zam-zam maka niscaya zam-zam menjadi sumber mata air yang mengalir deras.
Dalam riwayat Bukhori : Seandainya dia meninggalkannya, maka adalah air itu menjadi kelihatan nyata. Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda : “Maka dia pun minum air zam-zam tersebut dan juga menyusui Ismail.” Dalam riwayat lain dari Bukhori : Maka jadilah Ummu Ismail minum dari air zam-zam dan deras air susu untuk anaknya. Maka malaikat pun berkata padanya, kamu jangan kuatir disia-siakan, karena disini ada Baitulloh yang akan dibangun oleh anak ini dan ayahnya. Dan sesungguhnya Alloh tidak menyia-nyiakan keluarga Ibrohim.
Dalam satu riwayat lain disebutkan : “Jangan kamu kuatir air itu akan habis”. Dan dalam riwayat Alfakihy disebutkan : “Jangan kamu kuatir keluarga lembah ini akan kehausan karena sesungguhnya zam-zam adalah sumber air yang akan diminum oleh tamu-tamu Alloh (Fatkhul Bari 6/402). Begitulah keadaan Hajar Ummu Ismail sampai dengan datangnya serombongan orang Jurhum Bani Qohthon dari Yaman yang datang dari jalan kada’ untuk beristirahat di sebelah bawah Mekkah, dan tiba-tiba mereka melihat burung-burung beterbangan mengelilingi air dan berbolak-balik, artinya tidak terus lewat. Mereka berkata,”Burung-burung ini terbang berputar-putar di atas air, padahal setahu kami disini tidak ada air”.
Maka
mereka menyuruh dua orang pembantu untuk melihatnya. Tiba-tiba mereka
berdua melihat air, maka kembalilah mereka berdua ke rombongan kafilah
Jurhum dan memberitahu kepada mereka tentang apa-apa yang telah mereka
lihat. Maka datanglah orang-orang Jurhum dan ketika itu Ummu Ismail
berada di dekat sumber air zam-zam. “Apakah kamu member izin kepada kami
untuk ikut bertempat tinggal disini?” Ummu Ismail menjawab,”Ya boleh.
Tapi kalian tidak ikut memiliki air zam-zam ini” Mereka menyetujuinya.
Ibnu Abbas berkata: Bersabda Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wasallam: Dijumpai yang demikian itu bahwa Ummu Ismail senang bergabung dengan manusia. Akhirnya rombongan kaum Jurhum bertempat tinggal di Makkah dan mengutus keluarganya supaya datang untuk bertempat tinggal bersama mereka di Makkah. Demikianlah lembah Makkah yang tadinya tidak ada air dan tidak ada yang bertempat tinggal disana, setelah Alloh mengeluarkan air zam-zam untuk Nabi Ismail ‘alaihissalam, sejak saat itu ramailah Makkah. [bersambung]
Ibnu Abbas berkata: Bersabda Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wasallam: Dijumpai yang demikian itu bahwa Ummu Ismail senang bergabung dengan manusia. Akhirnya rombongan kaum Jurhum bertempat tinggal di Makkah dan mengutus keluarganya supaya datang untuk bertempat tinggal bersama mereka di Makkah. Demikianlah lembah Makkah yang tadinya tidak ada air dan tidak ada yang bertempat tinggal disana, setelah Alloh mengeluarkan air zam-zam untuk Nabi Ismail ‘alaihissalam, sejak saat itu ramailah Makkah. [bersambung]
Peristiwa Penggalian Sumur Zamzam
Ketika Abdul Muththalib (kakek Nabi Muhammad) tidur di
Hijir Ismail, ia bermimpi diperintah untuk menggali sumur Zamzam. Abdul
Muththalib menuturkan kisahnya. Begini kisahnya:
“Ketika aku sedang tidur di Hijir Ismail, tiba-tiba dalam
mimpi aku didatangi oleh seseorang dan berkata kepadaku: “Galilah Thiibah!”
“Apa itu Thiibah?” kataku. Kemudian orang itu menghilang!
Keesokan harinya aku kembali tidur di tempat semula. Dalm
tidur aku kembali bermimpi didatangi seseorang dan berkata, “Galilah Madhhuunah!”
“Apa itu Madhuunah?” kataku. Ornag itu kembali
menghilang.
Esoknya aku kembali tidur di situ. Dalam tidur aku bermimpi
seperti malam kemarin. Seseorang datang kepadaku dan berkata, “Galilah Zamzam!”
“Apa itu Zamzam?” kataku.
“Yaitu sumur yang tiada terkuras habis dan tiada mengering,
memberi minum para jama’ah haji yang datang berduyun-duyun. Letaknya di antara kotoran
dan tanah[1],
dekat patukan gagak a’sham[2],”sahutnya.
****
Lalu diceritakan:
Setelah jelas baginya lokasi sumur Zamzam itu dan ia yakini
itulah tempatnya, ia pun keluar dengan membawa peralatan dibantu oleh putranya
bernama Al-Harits. Saat itu putranya baru seorang. Begitu tampak baginya batu
penutup sumur ia pun bertakbir, sehingga orang-orang Quraisy mengetahui bahwa
ia telah berhasil menemukannya.
Mereka pun berangkat menemui Abdul Muththalib, lalu
berkata, “Wahai Abdul Muththalib! Itu adalah sumur bapak kita, Ismail. Berilah
bagian untuk kami karena kami pun punya hak di dalamnya!”
Abdul Muththalib menjawab: “Tidak! Sumur ini khusus bagiku!
Tidak untuk kalian!”
“Bersikap adillah, sebab kami takkan membiarkanmu begitu
saja memilikinya! Kami akan menggugatmu!” tantang mereka.
“Tunjukilah seorang hakim hingga aku dapat mengajukan
tuntutanmu padanya!” jawab Abdul Muththalib.
Mereka menjawab,”Kami menunjuk Hudzaim, seorang dukun Bani
Sa’ad sebagai hakimnya.”
“Baiklah kalau begitu!” jawabnya.
Hudzaim ini tinggal di sebuah dataran tinggi di negeri Syam.
Abdul Muththalib disertai beberapa orang Bani Abdi Manaf berangkat bersama para
utusan Quraisy. Masing-masing kabilah mengutus satu orang.
Medan yang mereka lalui ketika itu berupa padang sahara
yang tandus. Ketika mereka tiba di salah satu padang sahara antara Hijaz dan
Syam, Abdul Muththalib dan rombongannya kehabisan air. Karena rasa haus dan
dahaga, mereka hampir-hampir mati. Mereka lalu meminta air kepada rombongan
utusan kabilah Quraisy, tetapi ditolak. Mereka berkata, “Kami sekarang ini
berada di padang sahara yang tandus. Kami khawatir kehabisan air seperti
kalian!”
Melihat sikap mereka seperti itu dan menimbang kondisi
dirinya dan rekan-rekannya yang sangat mengkhawatirkan, Abdul Muththalib
berkata kepada rekannya, “Bagaimana pendapat kalian?”
“Kami mengikut saja apa katamu. Kami hanya mengikuti
komandomu!” jawab mereka.
“Menurut hematku, masing-masing kita menggali lubang
(kubur) nya sendiri dengan kekuatan yang ada. Bila salah seorang dari kita
menjumpai ajalnya, maka rekan-rekan yang lain tinggal memasukkannya ke dalam
lubang itu dan menguburnya. Hingga nanti tinggallah satu orang, perbekalan
untuk satu orang tentu lebih ringan daripada perbekalan satu rombongan!” tegas
Abdul Muththalib.
“Bagus sekali saranmu itu!” sambut mereka.
Maka mereka pun mulai menggali lubang masing-masing.
Kemudian mereka duduk menunggu ajal dalam keadaan dahaga. Kemudian Abdul
Muththalib berkata kepada rekan-rekannya, “Demi Allah, sikap pasrah kita
seperti ini menunggu kematian tanpa berusaha mencari air dan mencari
pertolongan bagi diri kita adalah sikap yang lemah! Semoga Allah memberi kita
air di tempat lain! Ayo, kita pergi dari sini!”
Mereka pun bergegas pergi dari situ. Namun tidak juga
mendapat apa-apa. Sementara rombongan utusan kabilah Quraisu menyaksikan apa
yang mereka lakukan. Abdul Muththalib bangkit menuju kendaraannya. Baru saja
hewan tunggangannya melangkah, tiba-tiba memancar air tawar yang segar dari
bawah kaki tunggangannya. Melihat keajaiban itu, bertakbirlah Abdul Muththalib
diikuti rekan-rekannya. Mereka pun turun dari kendaraan dan ramai-ramai
meminumnya. Mereka isi wadah-wadah air hingga penuh. Kemudian beliau memanggil
rombongan utusan kabilah Quraisy seraya berseru, “Mari minum di mata air ini.
Allah telah memberi kami air! Minum dan ambillah airnya!”
Mereka pun datang meminumnya dan memenuhi wadah air mereka
masing-masing. Kemudian mereka berkata, “Demi Allah, wahai Abdul Muththalib,
engkau telah memenangkan perkara ini. Kami tidak akan menggugatmu lagi tentang
sumur Zamzam selama-lamanya. Sesungguhnya Yang telah memberimu air di padang
sahara yang tandus ini adalah Dia yang memberimu sumur Zamzam. Kembalilah dan
tanganilah sumur Zamzam itu dengan baik.”
Mereka semua kembali tanpa sempat bertemu dengan dukun
tersebut dan tidak lagi menghiraukan hal itu.
Sumber: Tahdziib Sirah Ibnu Hisyaam, Abd As-Salam
Harun
Ditulis ulang oleh Hasan Al-Jaizy
[1]
Konon riwayatnya, ketika Abdul Muththalib hendak memulai menggalinya, ia
melihat ciri ciri yang disebutkan dalam mimpinya, yaitu rumah dan patukan gagak.
Namun ia belum melihat kotoran dan darah. Ketika ia sedang memikirkannya,
tiba-tiba seekor sapi lepas dari tukang jagal. Mereka baru berhasil
menangkapnya kembali di dalam Masjidil Haram. Lalu si tukang jagal
menyembelihnya di situ. Maka mengalirlah darah dan kotorannya di tempat itu.
Mengertilah Abdul Muththalib bahwa itulah tempat yang disebutkan dalam
mimpinya. Ia pun menggali sumur Zamzam di situ.
[2] A’sham
adalah burung gagak yang terdapat bercak putih pada sayapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar