Minggu, 31 Agustus 2014

Aku Adalah Sayyidina Semua Orang 1


Aku Adalah Sayyidina Semua Orang 

Ana sayyidun naas yaumal qiyamah (Aku adalah sayyid/ tuannya semua orang kelak di hari Qiamat). 
Kalimat dari judul di atas ini konon disabdakan oleh Nabi SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Pengakuan jujur dari seorang Nabi yang ditakdirkan sebagai penyandang buta huruf, namun jurtru sifat buta hurufnya itu adalah sebagai bukti mukjizat kenabian beliau, Nabi kita Sayyidina Muhammad SAW.
Jika saja Nabi SAW ditakdirkan sebagai figur yang pandai membaca dan menulis, tentunya keyakinan bangsa Arab kala itu tidak mudah ditaklukkan. Karena di jaman tersebut, begitu gencarnya kalangan budayawan dan sartrawan yang berlomba-lomba menciptakan syair-syair indah untuk disuguhkan kepada kkhalayak.
Artinya, dengan kepandaian seseorang dalam membaca dan menulis karya sastra, menandakan banyaknya rujukan dan literatur yang mudah dipelajari maupun diakses dari masyarakat maupun dari kitab-kitab ‘suci’ milik agama-agama yang berkembang saat itu.
Jika saja Nabi Muhammad SAW tidak buta huruf, maka keberadaan ayat-ayat Alquran sebagai wahyu Allah yang diturun kepada beliau SAW, akan mudah dituduh sebagai Kitab Suci hasil nukilan dan gubahan dari kitab-kitab ‘suci’ milik agama-agama lain yang ada, ataupun saduran dari literatur-literatur lainnya.
Namun, betapa takjubnya bangsa Arab saat itu, tatkala Nabi SAW yang buta huruf itu, justru dapat menyampaikan wahyu Ilahi, ayat demi ayat Alquran yang diajarkan oleh Malaikat Jibril itu di hadapan khalayak, dengan bahasa sastra Alquran yang sangat tinggi nilainya, hingga memukau dan memikat hati bagi para budayawan maupun kalangan sastrawan yang mendengarnya.
Itulah salah satu bukti mukjizat kenabian Rasulullah SAW dalam bidang tata bahasa dan satra. Kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad SAW yang ditinjau dari mukjizat lainnya pun tidak dapat dipungkiri oleh umat. Karena dengan sifat kebutahurufannya itu, beliau sering menyampaikan berita ghaib, yang tidak mudah dicerna oleh kemampuan mata kasat maupun hati dan akal ‘telanjang’, kecuali bagi orang-orang yang di dalam dirinya dipenuhi oleh rasa keimanan yang sempurna.
Nabi SAW sering menceritakan berita tentang sorga maupun nereka, misalnya:
Hadits riwayat Abu Musa radhiyAllahu `anhu: ia berkata: Dari Nabi shallallahu `alaihi wasallam, beliau bersabda: Dua sorga yang wadah-wadahnya dan segala isinya terbuat dari perak dan dua surga yang wadah-wadahnya dan segala isinya terbuat dari emas. Antara orang-orang dan kemampuan memandang Tuhan mereka hanya ada tirai keagungan pada Zat-Nya, di surga Aden. (HR Sahih Muslim No.265)
Hadits riwayat Nukman bin Basyir radhiyAllahu `anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda: Ahli neraka yang paling ringan siksanya pada hari kiamat, adalah seseorang yang pada lekukan telapak kakinya diberi dua bara yang menyebabkan otaknya mendidih. (HR Shahih Muslim No. 313)
Semua umat Islam wajib percaya dan yakin terhadap berita akhirat yang disampaikan oleh Nabi SAW, termasuk juga percaya terhadap sabda Nabi SAW: Ana sayyidun naasi yaumal qiyamah (aku adalah sayyid/tuannya semua orang kelak di hari Qiyamat).
Bagi kalangan yang hatinya dipenuhi keimanan kepada kebenaran sabda beliau SAW, yang mana setiap sabdanya itu telah dilegitimasi oleh Alquran, la yanthiqu anil hawa in huwa illa wahyun yuha (tidaklah beliau SAW itu berbicara dari hawa nafsu pribadinya, namun seluruh ucapannya adalah berasal dari wahyu yang diturunkan oleh Allah), maka bagi kalangan yang beriman, tentu tidak ada sedikitpun rasa keberatan untuk menyatakan, Wahai Rasulullah, engkau adalah sayyidina (tuan kami) baik di dunia maupun di akherat. Engkau adalah Sayyidina dan Maulana Muhammad SAW, tuan kami dan pemimpin kami, bahkan pemimpin manusia di segala jaman. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina muhammad wa ‘ala ali Sayyidina Muhammad, washahbihi wat tabi’in.
Alangkah mengherankan jika diperhatikan kejadian akhir-akhir ini, karena ada sekelompok orang (baca: pengikut Wahhabi) yang telinganya menjadi merah pertanda marah dan merasa keberatan jika mendengar umat Islam memanggil Nabi SAW dengan panggilan Sayyidina Muhammad.
Kelompok ini rupanya hatinya merasa lebih nyaman untuk memanggil Nabi SAW secara langsung namanya saja tanpa embel-embel apapun, misalnya: Hai Muhammad…!
Padahal, jika saja anggota kelompok ini kebetulan berusia tua, sebut bernama Parmin, dan Parmin sudah memiliki anak-anak, maka dirinya pasti tidak akan rela jika anak-anak kandungnya itu memanggil dirinya secara langsung tanpa embel-embel gelar, semisal: Hai Parmin…!
Jika saja Parmin ini termasuk orang yang mempunyai akhlaq mulia, tentunya Parmin akan mengajari anak-anaknya itu, agar mereka jika memanggil dirinya hendaklah menambahi dengan gelar ‘Bapak’, misalnya: Hai Pak Parmin…! Karena yang demikian ini adalah termasuk tata krama yang harus dilakukan oleh anak-anak muda terhadap orang-orang yang lebih tua.
Demikian juga, jika anggota kelompok ini kebetulan adalah dari kalangan anak-anaknya, maka sudah selayaknya mereka belajar adab sopan santun secara baik, maka pasti hatinya tidak akan merasa nyaman jika harus memanggil nama bapaknya secara langusng, semisal: Hai Parmin..! tanpa ditambahi gelar ‘Bapak”.
Namun sayangnya, kelompok Wahhabi ini ternyata lebih memilih cara memanggil atau menyebut nama Nabi SAW secara langsung harus tanpa tambahan gelar apapun semisal: Hai Muhammad…!
Bahkan kelompok ini merasa keberatan jika umat Islam menyebut: Sayyidina Muhammad, di saat umat Islam membaca shalawat atas diri beliau SAW.
Allahumma shalli ‘alaa Sayyidina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi ajma’iin.
Oleh: KH Luthfi Bashori, Pengasuh Ribath Almurtadla Al-Islami Malang Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar