Ana sayyidun naas yaumal qiyamah (Aku adalah sayyid/ tuannya semua orang kelak di hari Qiamat).
Kalimat dari judul di atas ini konon disabdakan oleh Nabi
SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Pengakuan
jujur dari seorang Nabi yang ditakdirkan sebagai penyandang buta huruf,
namun jurtru sifat buta hurufnya itu adalah sebagai bukti mukjizat
kenabian beliau, Nabi kita Sayyidina Muhammad SAW.
Jika saja Nabi SAW ditakdirkan sebagai
figur yang pandai membaca dan menulis, tentunya keyakinan bangsa Arab
kala itu tidak mudah ditaklukkan. Karena di jaman tersebut, begitu
gencarnya kalangan budayawan dan sartrawan yang berlomba-lomba
menciptakan syair-syair indah untuk disuguhkan kepada kkhalayak.
Artinya, dengan kepandaian seseorang
dalam membaca dan menulis karya sastra, menandakan banyaknya rujukan dan
literatur yang mudah dipelajari maupun diakses dari masyarakat maupun
dari kitab-kitab ‘suci’ milik agama-agama yang berkembang saat itu.
Jika saja Nabi Muhammad SAW tidak buta
huruf, maka keberadaan ayat-ayat Alquran sebagai wahyu Allah yang
diturun kepada beliau SAW, akan mudah dituduh sebagai Kitab Suci hasil
nukilan dan gubahan dari kitab-kitab ‘suci’ milik agama-agama lain yang
ada, ataupun saduran dari literatur-literatur lainnya.
Namun, betapa takjubnya bangsa Arab saat
itu, tatkala Nabi SAW yang buta huruf itu, justru dapat menyampaikan
wahyu Ilahi, ayat demi ayat Alquran yang diajarkan oleh Malaikat Jibril
itu di hadapan khalayak, dengan bahasa sastra Alquran yang sangat tinggi
nilainya, hingga memukau dan memikat hati bagi para budayawan maupun
kalangan sastrawan yang mendengarnya.
Itulah salah satu bukti mukjizat
kenabian Rasulullah SAW dalam bidang tata bahasa dan satra. Kenabian dan
kerasulan Nabi Muhammad SAW yang ditinjau dari mukjizat lainnya pun
tidak dapat dipungkiri oleh umat. Karena dengan sifat kebutahurufannya
itu, beliau sering menyampaikan berita ghaib, yang tidak mudah dicerna
oleh kemampuan mata kasat maupun hati dan akal ‘telanjang’, kecuali bagi
orang-orang yang di dalam dirinya dipenuhi oleh rasa keimanan yang
sempurna.
Nabi SAW sering menceritakan berita tentang sorga maupun nereka, misalnya:
Hadits riwayat Abu Musa radhiyAllahu
`anhu: ia berkata: Dari Nabi shallallahu `alaihi wasallam, beliau
bersabda: Dua sorga yang wadah-wadahnya dan segala isinya terbuat dari
perak dan dua surga yang wadah-wadahnya dan segala isinya terbuat dari
emas. Antara orang-orang dan kemampuan memandang Tuhan mereka hanya ada
tirai keagungan pada Zat-Nya, di surga Aden. (HR Sahih Muslim No.265)
Hadits riwayat Nukman bin Basyir
radhiyAllahu `anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu
`alaihi wasallam bersabda: Ahli neraka yang paling ringan siksanya pada
hari kiamat, adalah seseorang yang pada lekukan telapak kakinya diberi
dua bara yang menyebabkan otaknya mendidih. (HR Shahih Muslim No. 313)
Semua umat Islam wajib percaya dan yakin
terhadap berita akhirat yang disampaikan oleh Nabi SAW, termasuk juga
percaya terhadap sabda Nabi SAW: Ana sayyidun naasi yaumal qiyamah (aku
adalah sayyid/tuannya semua orang kelak di hari Qiyamat).
Bagi kalangan yang hatinya dipenuhi
keimanan kepada kebenaran sabda beliau SAW, yang mana setiap sabdanya
itu telah dilegitimasi oleh Alquran, la yanthiqu anil hawa in huwa illa
wahyun yuha (tidaklah beliau SAW itu berbicara dari hawa nafsu
pribadinya, namun seluruh ucapannya adalah berasal dari wahyu yang
diturunkan oleh Allah), maka bagi kalangan yang beriman, tentu tidak ada
sedikitpun rasa keberatan untuk menyatakan, Wahai Rasulullah, engkau
adalah sayyidina (tuan kami) baik di dunia maupun di akherat. Engkau
adalah Sayyidina dan Maulana Muhammad SAW, tuan kami dan pemimpin kami,
bahkan pemimpin manusia di segala jaman. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina
muhammad wa ‘ala ali Sayyidina Muhammad, washahbihi wat tabi’in.
Alangkah mengherankan jika diperhatikan
kejadian akhir-akhir ini, karena ada sekelompok orang (baca: pengikut
Wahhabi) yang telinganya menjadi merah pertanda marah dan merasa
keberatan jika mendengar umat Islam memanggil Nabi SAW dengan panggilan
Sayyidina Muhammad.
Kelompok ini rupanya hatinya merasa
lebih nyaman untuk memanggil Nabi SAW secara langsung namanya saja tanpa
embel-embel apapun, misalnya: Hai Muhammad…!
Padahal, jika saja anggota kelompok ini
kebetulan berusia tua, sebut bernama Parmin, dan Parmin sudah memiliki
anak-anak, maka dirinya pasti tidak akan rela jika anak-anak kandungnya
itu memanggil dirinya secara langsung tanpa embel-embel gelar, semisal:
Hai Parmin…!
Jika saja Parmin ini termasuk orang yang
mempunyai akhlaq mulia, tentunya Parmin akan mengajari anak-anaknya
itu, agar mereka jika memanggil dirinya hendaklah menambahi dengan gelar
‘Bapak’, misalnya: Hai Pak Parmin…! Karena yang demikian ini adalah
termasuk tata krama yang harus dilakukan oleh anak-anak muda terhadap
orang-orang yang lebih tua.
Demikian juga, jika anggota kelompok ini
kebetulan adalah dari kalangan anak-anaknya, maka sudah selayaknya
mereka belajar adab sopan santun secara baik, maka pasti hatinya tidak
akan merasa nyaman jika harus memanggil nama bapaknya secara langusng,
semisal: Hai Parmin..! tanpa ditambahi gelar ‘Bapak”.
Namun sayangnya, kelompok Wahhabi ini
ternyata lebih memilih cara memanggil atau menyebut nama Nabi SAW secara
langsung harus tanpa tambahan gelar apapun semisal: Hai Muhammad…!
Bahkan kelompok ini merasa keberatan
jika umat Islam menyebut: Sayyidina Muhammad, di saat umat Islam membaca
shalawat atas diri beliau SAW.
Allahumma shalli ‘alaa Sayyidina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi ajma’iin.
Oleh: KH Luthfi Bashori, Pengasuh Ribath Almurtadla Al-Islami Malang Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar