1.
حد ثنا محمودبن غيلان, أخبرنا أبو أسامة, عن الأعمش عن أبى صالح، عن
أبى هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم:" من سلك طريقا يلتمس فيه
علما سهّل الله له طريقا إلى الجنّة".
Artinya:
Mahmud bin
Ghoilan menceritakan kepada kami, Abu Usamah memberitahukan kepada kami, dari
Al-A’masy dari Abi Shalih, dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan
baginya jalan menuju surga. (H.R.
Thirmidzi)
2.
حدّثنا نصربن عليّ قال: حدّثنا خالد بن يزيد العتكى, عن أبى جعفر
الرّزيّ, عن الرّبيع بن أنس, عن أنس بن مالك قال: قال رسول ص.م. :" من خرج فى
طلب العلم فهو فى سبيل الله حتّى يرجع".
Artinya :
Nasr bin Ali
menceritakan kepada kami, Khalid bin Yazid Al- ‘Atalli memberitahukan kepada
kami, dari Abu Ja’far Ar-Razi, dari Ar-Rabi’ bin Anas, dari Anas bin Malik
berkata: “Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa keluar (dari rumahnya) untuk
mencari ilmu, maka ia dalam jihad di jalan Allah sehingga ia kembali”. (H.R. Thirmidzi)[1]
3.
حدّثنا الحميدي قال : حدّثنا سفيان قال: حدّثني إسماعيل بن أبي خالد ـ
على غيرما حدّثناه الزّهريّ ـ قال: سمعت قيس بن أبي جازم قال: سمعت عبد الله بن
مسعود قال النّبييّ ص.م. : لا حسد إلاّ فى اثنتين رجل اتاه الله مالا فسلّط على
هلكته فى الحقّ و رجل اتاه الله الحكمت فهو يقضي بها و يعلّمها.
Artinya :
Dari Abdullah
bin Mas’ud RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Tidak ada iri hati, kecuali kepada dua orang, yaitu orang yang diberi
Allah harta kemudian dipergunakannya dalam kebenaran, dan orang yang diberi
Allah hikmah (ilmu) kemudian dipergunakannya dengan baik dan diajarkannya. (H. R. Bukhari)
B.
Ayat Pendukung
يرفع الله الدين أمنوا منكم و الدين أوتوا العلم درجت, والله بما
تعملون بصير.
“Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat.”
(Q.S. Al-Mujaadilah (58): 11) Serta Firman-Nya. ربّ زدني علم “Ya Tuhanku, Tambahkanlah kepadaku ilmu
pengetahuan”. (Q.S. Thahaa (20): 114).[2]
C.
Pohon Sanad
1.
Rasulullah SAW Abi Hurairah Abi Shal Al-A’masy Mahmud bin Ghoilan Thirmidzi
2.
Rasulullah SAW Anas bin Malik Ar-Rabi’ bin Anas Abu Ja’far Ar-Razi Khalid bin Yazid Al- ‘Atalli
Nasr bin Ali Imam Thirmidzi.[3]
3.
Rasulullah SAW Abdullah bin Mas’ud Kayis bin Jazim Az Zhuhri Ismail bin Abi Kholid Sufyan Hamid Imam Al-Bukhari.[4]
D.
Keterangan Hadist :
Imam Bukhari memulai pembahasan ini dengan keutamaan ilmu bukan
dengan hakikatnya, karena beliau menganggap hakikat ilmu telah diketahui oleh
banyak orang.
Ibnu Arabi dalam kitab Syarh At-Tirmidzi membantah siapa pun yang
mendefinisikan ilmu dan berkata “ilmu lebih jelas daripada upaya untuk
menjelaskannya. “Menurut saya, ini adalah metode Al-Ghzali dan gurunya yang
berpendapat bahwa ilmu tidak dapat didefenisikan karena kesukarannya atau
kejelasannya sehingga tidak membutuhkan penjelasan.
Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Nafi’ bin Abdul Haris
Al-Khuza’i (pegawai Umar di Mekkah), bahwa ia bertemu denganya di Usfan dan
berkata, “Siapakah yang memimpin kamu?” Ia menjawab, “Yang memimpin segala urusanku
adalah Ibnu Abza, hamba sahaya kami.” Umar berkata, “Apakah kamu menjadikan
hamba sahaya sebagai pemimpin?” Ia menjawab, “Dia adalah seorang yang ahli
dalam kitab Allah (Al-Qur’an) dan ilmu Faraid (ilmu waris).” Maka Umar pun
berkata, “Sesungguhnya Nabi kamu sekalian telah menyatakan, “Sesungguhnya
Allah telah mengangkat derajat suatu kaum dan menghinakan kaum yang lain
adengan kitab ini (Al-Qur’an).” dalam sebuah riwayat dari Zaid bin Aslam
menafsirkan firman Allah, “Kami (Allah) meninggikan derajat orang yang kami
kehendaki.” Dengan ilmu. [5]
Umar berkata, “Dalamilah ilmu agama sebelum kalian menjadi
pemimpin”. Al Kasymihani menambahkan dalam riwayatnya, “Dan setelah kalian
menjadi pemimpin”. Sedang perkataan Umar dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari
jalur Muhammad bin Sirin dari Al Ahnaf bin Qais bahwa Umar berkata (seperti
disebutkan di atas). Sanad hadist tersebut adalah shahih.
Maksud Imam Bukhari menambahkan “dan” setelah kalian menjadi
pemimpin” adalah agar tidak menimbulkan kesan bahwa seorang dibolehkan untuk
tidak mendalami agama jika telah memperoleh kekuasaan, karena maksud dari
perkataan Umar adalah bahwa kekuasaan sering menjadi penghalang seorang untuk
mendalami agama. Sebab, terkadang seorang pemimpin karena perasaan sombong dan
malunya tidak mau duduk dalam suatu majelis bersama penuntut ilmu.
Maka Imam Malik mengomentari keburukan para qadi (hakim)
dengan berkata, “Jika seorang hakim
telah turun dari jabatannya, maka ia tidak mau kedalam majelis yang pernah
diikutinya “. Imam Syafi’i juga berkata, “Apabila terjadi berbagai
peristiwa, maka ia tidak akan banyak mengetahui.”
Dalam kitab Gharibul Hadist, Imam Abu Ubaid telah menjelaskan
hadist tersebut sebagai berikut: “Dalamilah agama selagi kalian masih menjadi
orang kecil (rakyat) atau sebelum menjadi seorang pemimpin, karena jika kalian
telah menjadi pemimpin, maka kalian akan merasa malu untuk menuntut ilmu kepada
orang yang lebih rendah kedudukannya sehingga kalian tetap menjadi orang-orang
bodoh.” Sedangkan Syamir Al-Lughawi menjelaskan, bahwa maksud hadist tersebut
adalah sebelum kalian menikah, karena jika sesorang telah menikah, maka ia akan
menjadi pemimpin keluarganya apalagi telah dikaruniai anak.
Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa Umar ingin menghilangkan
sifat rakus terhadap kekuasaan, karena seseorang yang telah mendalami maka ia
akan mengetahui bahaya kekuasaan, dengan demikian ia akan berusaha menjauhinya.
Pendapat ini sangat jauh dari apa yang dimaksudkan. Karena yang dimaksud dengan
“Tusawwaduu” adalah kekuasaan, dan kekuasaan adalah lebih umum daripada
pernikahan. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi seseorang untuk
mengkhususkan makna kata tersebut, karena faktor yang menghalangi seseorang
untuk mencari ilmu dapat berupa pernikahan ataupun hal-hal lainnya.
Al Karimi menafsirkan kata “tusawwaduu” dengan arti “tumbuh
jenggotnya” sehingga hadist tersebut ditujukan kepada para pemuda agar mereka
mendalami agama sebelum tumbuh jenggotnya atau bisa juga ditujukan kepada orang
dewasa sebelum putih jenggotnya.
Ibnu Munir berkata, “Kesesuaian antara perkataan Umar tersebut
dengan judul bab adalah, bahwa Umar menjadikan kekuasaan sebagai salah satu
hasil yang dicapai dari mencari ilmu. Oleh karena itu, beliau mmewasiatkan
kepada para muridnya agar menggunakan waktunya dengan baik dalam mencari ilmu
sebelum menjadi pemimpin. Hal ini sangat mendorong sesorang dalam mencari ilmu,
karena seseorang mengetahui bahwa ilmu merupakan perrantara untuk mencapai
kekuasaan, maka ia menjadi giat belajar.”
Dalam hal ini berpendapat bahwa maksud Imam Bukhari adalah
menjelaskan, sesungguhnya jabatan kepemimpinan menurut kebiasaan sering
menimbulkan iri hati dan dengki, namun ada hadist yang menunjukan bahwasanya
iri dan dengki tidak boleh terjadi dalam dua hal, yaitu ilmu dan kebaikan.
Tapi suatu kebaikan tidak dapat dikatakan sebagai hal yang terpuji
tidak berdasarkan ilmu. Seolah-olah Imam Bukhari ingin mengatakan,
“Belajarlah sebelum mendapatkan jabatan agar kalian bisa berlomba-lomba dalam
kebaikan.” Dia juga mengatakan, “Apabila sebuah jabatan menurut kebiasaan
bisa menghalangi pemiliknya untuk menuntut ilmu, maka tinggalkan kebiasaan
tersebut dan pelajarilah ilmu agar kalian benar-benar mendapatkan ghithah yang
sebenarnya.”
Adapun arti ghibthah adalah, seseorang berharap mendapatkan
apa (nikmat) yang ada pada orang lain tanpa mengiginkan hilangnya nikmat dari
orang tersebut.
Hasad adalah sifat
yang terdapat dalam diri seseorang, sehingga ia menginginkan hilangnya nikmat
yang dimiliki orang lain.
Sebagian orang berpendapat
bahwa hasad adalah menginginkan hilangnya nikmat dari orang lain untuk
menjadi miliknya sendiri. Akan tetapi pendapat yang benar adalah yang
mengatakan bahwa hasad adalah bersifat umum. Hal ini disebabkan manusia
mempunyai tabiat selalu ingin mengungguli orang lain sehingga apabila ia
melihat orang lain memiliki suatu yang tidak dimilikinya, maka ia akan berharap
agar benda itu lepas dari tangannya, dengan demikian ia akan lebih unggul atau paling tidak dapat
menyamainya.
Sifat hasad dibolehkan jika nikmat tersebut dimiliki oleh orang
kafir yang dijadikan sebagai sarana untuk berbuat maksiat kepada Allah. Ini
adalah definisi secara umum. Adapun yang dimaksud hasad dalam hadist di atas
adalah ghidthah. Maksud ghibthah adalah perasaan ingin memiliki sesuatu yang
dimiliki orang lain tanpa ada perasaan ingin menghilangkannya dari pemiliknya.
Hal ini juga disebut dengan persaingan dalam ketaatan, maka perbuatan ini yang
mulia sebagaimana firman Allah, “untuk yang demikian itu hendaknya orang
berlomba-lomba “. (Q.S. al-Muthafifin : 26).
Sedangkan jika persaingan itu dilakukan untuk kemaksiatan, maka
termasuk perbuatan yang tercela sebagaimana firman Allah, “janganlah kalian
berlomba-lomba” . Tetapi jika dilakukan dalam hal-hal yang diperbolehkan,
maka hukumnya adalah mubah (boleh). Dari sini seakan-akan Rasulullah bersabda
dalam hadist ini, “Tidak ada persaingan yang lebih utama dari pada
persaingan dalam dua hal berikut ini, yaitu ilmu dan kebaikan”.[6]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqlani,
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Baari Syarah Sahahih Bukhari,
Jakarta : Pustaka Azzam, 2002.
Isa bin Suroh, Abi Isa Muhammad bin, Sunan At-Tirmidzi jus 4, Lebanon:
Darul Fikri.
Al-Bukhar i, Abi Abdillah bin Ismail, Al-Bukhari, Lebanon:
Darul Fikri.
At-Tirmidzi, Muhammad Isa bin Surah, Terjemah Sunan At-Tirmidzi IV, Semarang
: CV. Asy-Syifa’, 1992
[1] Muhammad Isa bin Surah At-Tirmidzi, Terjemah Sunan At-Tirmidzi
IV, (Semarang : CV. Asy-Syifa’, 1992), 274
[2] Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqlani, Fathul Baari Syarah
Sahahih Bukhari, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2002), 262
[5] Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqlani, Fathul Baari Syarah
Sahahih Bukhari, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2002), 263
[6] Ibid,. 315-317
Tidak ada komentar:
Posting Komentar