Sabtu, 17 Januari 2015

Pentingnya Ilmu Pengetahua

A.  Hadist
1.       
حد ثنا محمودبن غيلان, أخبرنا أبو أسامة, عن الأعمش عن أبى صالح، عن أبى هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم:" من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهّل الله له طريقا إلى الجنّة".
Artinya:
Mahmud bin Ghoilan menceritakan kepada kami, Abu Usamah memberitahukan kepada kami, dari Al-A’masy dari Abi Shalih, dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. (H.R. Thirmidzi)
2.       
حدّثنا نصربن عليّ قال: حدّثنا خالد بن يزيد العتكى, عن أبى جعفر الرّزيّ, عن الرّبيع بن أنس, عن أنس بن مالك قال: قال رسول ص.م. :" من خرج فى طلب العلم فهو فى سبيل الله حتّى يرجع".
Artinya :
Nasr bin Ali menceritakan kepada kami, Khalid bin Yazid Al- ‘Atalli memberitahukan kepada kami, dari Abu Ja’far Ar-Razi, dari Ar-Rabi’ bin Anas, dari Anas bin Malik berkata: “Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa keluar (dari rumahnya) untuk mencari ilmu, maka ia dalam jihad di jalan Allah sehingga ia kembali”. (H.R. Thirmidzi)[1]
3.       
حدّثنا الحميدي قال : حدّثنا سفيان قال: حدّثني إسماعيل بن أبي خالد ـ على غيرما حدّثناه الزّهريّ ـ قال: سمعت قيس بن أبي جازم قال: سمعت عبد الله بن مسعود قال النّبييّ ص.م. : لا حسد إلاّ فى اثنتين رجل اتاه الله مالا فسلّط على هلكته فى الحقّ و رجل اتاه الله الحكمت فهو يقضي بها و يعلّمها.
Artinya :
Dari Abdullah bin Mas’ud RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,  “Tidak ada iri hati, kecuali kepada dua orang, yaitu orang yang diberi Allah harta kemudian dipergunakannya dalam kebenaran, dan orang yang diberi Allah hikmah (ilmu) kemudian dipergunakannya dengan baik dan diajarkannya. (H. R. Bukhari)
B.  Ayat Pendukung
يرفع الله الدين أمنوا منكم و الدين أوتوا العلم درجت, والله بما تعملون بصير.
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
(Q.S. Al-Mujaadilah (58): 11) Serta Firman-Nya. ربّ زدني علمYa Tuhanku, Tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. (Q.S. Thahaa (20): 114).[2]
C.  Pohon Sanad
1.   Rasulullah SAW   Abi Hurairah   Abi Shal Al-A’masy Mahmud bin Ghoilan Thirmidzi
2.   Rasulullah SAW  Anas bin Malik   Ar-Rabi’ bin Anas Abu Ja’far Ar-Razi  Khalid bin Yazid Al- ‘Atalli
        Nasr bin Ali              Imam Thirmidzi.[3]
3.   Rasulullah SAW           Abdullah bin Mas’ud             Kayis bin Jazim             Az Zhuhri             Ismail bin Abi Kholid Sufyan  Hamid Imam Al-Bukhari.[4]
D.  Keterangan Hadist :
Imam Bukhari memulai pembahasan ini dengan keutamaan ilmu bukan dengan hakikatnya, karena beliau menganggap hakikat ilmu telah diketahui oleh banyak orang.
Ibnu Arabi dalam kitab Syarh At-Tirmidzi membantah siapa pun yang mendefinisikan ilmu dan berkata “ilmu lebih jelas daripada upaya untuk menjelaskannya. “Menurut saya, ini adalah metode Al-Ghzali dan gurunya yang berpendapat bahwa ilmu tidak dapat didefenisikan karena kesukarannya atau kejelasannya sehingga tidak membutuhkan penjelasan.
Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Nafi’ bin Abdul Haris Al-Khuza’i (pegawai Umar di Mekkah), bahwa ia bertemu denganya di Usfan dan berkata, “Siapakah yang memimpin kamu?” Ia menjawab, “Yang memimpin segala urusanku adalah Ibnu Abza, hamba sahaya kami.” Umar berkata, “Apakah kamu menjadikan hamba sahaya sebagai pemimpin?” Ia menjawab, “Dia adalah seorang yang ahli dalam kitab Allah (Al-Qur’an) dan ilmu Faraid (ilmu waris).” Maka Umar pun berkata, “Sesungguhnya Nabi kamu sekalian telah menyatakan, “Sesungguhnya Allah telah mengangkat derajat suatu kaum dan menghinakan kaum yang lain adengan kitab ini (Al-Qur’an).” dalam sebuah riwayat dari Zaid bin Aslam menafsirkan firman Allah, “Kami (Allah) meninggikan derajat orang yang kami kehendaki.” Dengan ilmu. [5]
Umar berkata, “Dalamilah ilmu agama sebelum kalian menjadi pemimpin”. Al Kasymihani menambahkan dalam riwayatnya, “Dan setelah kalian menjadi pemimpin”. Sedang perkataan Umar dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari jalur Muhammad bin Sirin dari Al Ahnaf bin Qais bahwa Umar berkata (seperti disebutkan di atas). Sanad hadist tersebut adalah shahih.
Maksud Imam Bukhari menambahkan “dan” setelah kalian menjadi pemimpin” adalah agar tidak menimbulkan kesan bahwa seorang dibolehkan untuk tidak mendalami agama jika telah memperoleh kekuasaan, karena maksud dari perkataan Umar adalah bahwa kekuasaan sering menjadi penghalang seorang untuk mendalami agama. Sebab, terkadang seorang pemimpin karena perasaan sombong dan malunya tidak mau duduk dalam suatu majelis bersama penuntut ilmu.
Maka Imam Malik mengomentari keburukan para qadi (hakim) dengan berkata, “Jika seorang  hakim telah turun dari jabatannya, maka ia tidak mau kedalam majelis yang pernah diikutinya “. Imam Syafi’i juga berkata, “Apabila terjadi berbagai peristiwa, maka ia tidak akan banyak mengetahui.”
Dalam kitab Gharibul Hadist, Imam Abu Ubaid telah menjelaskan hadist tersebut sebagai berikut: “Dalamilah agama selagi kalian masih menjadi orang kecil (rakyat) atau sebelum menjadi seorang pemimpin, karena jika kalian telah menjadi pemimpin, maka kalian akan merasa malu untuk menuntut ilmu kepada orang yang lebih rendah kedudukannya sehingga kalian tetap menjadi orang-orang bodoh.” Sedangkan Syamir Al-Lughawi menjelaskan, bahwa maksud hadist tersebut adalah sebelum kalian menikah, karena jika sesorang telah menikah, maka ia akan menjadi pemimpin keluarganya apalagi telah dikaruniai anak.
Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa Umar ingin menghilangkan sifat rakus terhadap kekuasaan, karena seseorang yang telah mendalami maka ia akan mengetahui bahaya kekuasaan, dengan demikian ia akan berusaha menjauhinya. Pendapat ini sangat jauh dari apa yang dimaksudkan. Karena yang dimaksud dengan “Tusawwaduu” adalah kekuasaan, dan kekuasaan adalah lebih umum daripada pernikahan. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi seseorang untuk mengkhususkan makna kata tersebut, karena faktor yang menghalangi seseorang untuk mencari ilmu dapat berupa pernikahan ataupun hal-hal lainnya.
Al Karimi menafsirkan kata “tusawwaduu” dengan arti “tumbuh jenggotnya” sehingga hadist tersebut ditujukan kepada para pemuda agar mereka mendalami agama sebelum tumbuh jenggotnya atau bisa juga ditujukan kepada orang dewasa sebelum putih jenggotnya.
Ibnu Munir berkata, “Kesesuaian antara perkataan Umar tersebut dengan judul bab adalah, bahwa Umar menjadikan kekuasaan sebagai salah satu hasil yang dicapai dari mencari ilmu. Oleh karena itu, beliau mmewasiatkan kepada para muridnya agar menggunakan waktunya dengan baik dalam mencari ilmu sebelum menjadi pemimpin. Hal ini sangat mendorong sesorang dalam mencari ilmu, karena seseorang mengetahui bahwa ilmu merupakan perrantara untuk mencapai kekuasaan, maka ia menjadi giat belajar.”
Dalam hal ini berpendapat bahwa maksud Imam Bukhari adalah menjelaskan, sesungguhnya jabatan kepemimpinan menurut kebiasaan sering menimbulkan iri hati dan dengki, namun ada hadist yang menunjukan bahwasanya iri dan dengki tidak boleh terjadi dalam dua hal, yaitu ilmu dan kebaikan.
Tapi suatu kebaikan tidak dapat dikatakan sebagai hal yang terpuji tidak berdasarkan ilmu. Seolah-olah Imam Bukhari ingin mengatakan, “Belajarlah sebelum mendapatkan jabatan agar kalian bisa berlomba-lomba dalam kebaikan.” Dia juga mengatakan, “Apabila sebuah jabatan menurut kebiasaan bisa menghalangi pemiliknya untuk menuntut ilmu, maka tinggalkan kebiasaan tersebut dan pelajarilah ilmu agar kalian benar-benar mendapatkan ghithah yang sebenarnya.”
Adapun arti ghibthah adalah, seseorang berharap mendapatkan apa (nikmat) yang ada pada orang lain tanpa mengiginkan hilangnya nikmat dari orang tersebut.
Hasad adalah sifat yang terdapat dalam diri seseorang, sehingga ia menginginkan hilangnya nikmat yang dimiliki orang lain.
Sebagian orang berpendapat  bahwa hasad adalah menginginkan hilangnya nikmat dari orang lain untuk menjadi miliknya sendiri. Akan tetapi pendapat yang benar adalah yang mengatakan bahwa hasad adalah bersifat umum. Hal ini disebabkan manusia mempunyai tabiat selalu ingin mengungguli orang lain sehingga apabila ia melihat orang lain memiliki suatu yang tidak dimilikinya, maka ia akan berharap agar benda itu lepas dari tangannya, dengan demikian  ia akan lebih unggul atau paling tidak dapat menyamainya.
Sifat hasad dibolehkan jika nikmat tersebut dimiliki oleh orang kafir yang dijadikan sebagai sarana untuk berbuat maksiat kepada Allah. Ini adalah definisi secara umum. Adapun yang dimaksud hasad dalam hadist di atas adalah ghidthah. Maksud ghibthah adalah perasaan ingin memiliki sesuatu yang dimiliki orang lain tanpa ada perasaan ingin menghilangkannya dari pemiliknya. Hal ini juga disebut dengan persaingan dalam ketaatan, maka perbuatan ini yang mulia sebagaimana firman Allah, “untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba “. (Q.S. al-Muthafifin : 26).
Sedangkan jika persaingan itu dilakukan untuk kemaksiatan, maka termasuk perbuatan yang tercela sebagaimana firman Allah, “janganlah kalian berlomba-lomba” . Tetapi jika dilakukan dalam hal-hal yang diperbolehkan, maka hukumnya adalah mubah (boleh). Dari sini seakan-akan Rasulullah bersabda dalam hadist ini, “Tidak ada persaingan yang lebih utama dari pada persaingan dalam dua hal berikut ini, yaitu ilmu dan kebaikan”.[6]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqlani, Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Baari Syarah Sahahih Bukhari, Jakarta : Pustaka Azzam, 2002.
Isa bin Suroh, Abi Isa Muhammad bin, Sunan At-Tirmidzi jus 4, Lebanon: Darul Fikri.
Al-Bukhar i, Abi Abdillah bin Ismail, Al-Bukhari, Lebanon: Darul Fikri.
At-Tirmidzi, Muhammad Isa bin Surah, Terjemah Sunan At-Tirmidzi IV, Semarang : CV. Asy-Syifa’, 1992


[1] Muhammad Isa bin Surah At-Tirmidzi, Terjemah Sunan At-Tirmidzi IV, (Semarang : CV. Asy-Syifa’, 1992), 274
[2] Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqlani, Fathul Baari Syarah Sahahih Bukhari, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2002), 262
[3] Abi Isa Muhammad bin Isa bin Suroh, Sunan At-Tirmidzi jus 4, (Lebanon: Darul Fikri), 294
[4] Abi Abdillah bin Ismail Al-Bukhari, Al-Bukhari, (Lebanon: Darul Fikri), 29
[5] Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqlani, Fathul Baari Syarah Sahahih Bukhari, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2002), 263
[6] Ibid,. 315-317

Tidak ada komentar:

Posting Komentar