Sabtu, 03 Januari 2015

Merajut fikrah NU

Rois Syuriah PBNU, Dr KH A Hasyim Muzadi mengatakan bahwa fikrah Nadhliyah adalah kerangka berpikir yang didasarkan pada ajaran ‘ahlu as-sunnah wa al-jama’ah (Aswaja). Kerangka tersebut dijadikan landasan untuk menetukan arah perjuangan dalam rangka perbaikan umat.
Menurut Beliau dalam merespon pelbagai persoalan, baik isu-isu keagaman manapun kemasyarakatan, NU memiliki metodologi atau manhaj tersendiri. Dalam bidang akidah, NU berkiblat pada pemikiran Abu Hasan Al Asyari dan Abu Mansur Al Maturidi. Bidang fiqih mengikuti pendapat empat madzhab, baik secara manhaji maupun qauli. Sementara bidang tasawuf, mengikuti syekh Al Junaid Al Bagdani dan Abu Hamid Al Ghazali.
Fikrah nadhliyah ini mempunyai ciri khas tersendiri yang membedakan dengan pemikiran lain. Setidaknya ada lima ciri fikrah nadhliyah.
1. Fikrah tawasuttiyah (pola pikir moderat).
Yang berarti warga NU selalu bersikap seimbang dalam setiap mengsikapi persolan.
2. fikrah tasammuhiyah (pola pikir toleran).
Warga NU dapat beradampingan dengan warga dan komunitas lain walaupun berbeda agama maupun aliran.
3. fikrah islahiyah (pola pikir reformatif).
Selau berupaya menuju ke arah yang lebih baik.
4. fikrah tatawwuriyah (pola pikir dinamis).
Warga NU selalu melakukan kontekstualisasi dalam berbagai persoalan.
5. fikrah manhajiyyah (pola pikir metodologis).
Sehingga warga NU dalam berpikir harus menggunakan landasan dan tidak ngawur dalam mensikapi setiap persoalan yang muncul.
Beliau juga menguraikan bahwa secara historis epistimologi NU dalam masalah keumatan dan kebangsaan mengalami dua fase, yaitu fase taswiyah (pemurnian) dan tanmiyah (pengembangan). Dalam msalah keumatan harus ada kesinambungan antara fiqh ahkam dan fiqh dakwah. Sedangkan dalam masalah kebangsaan bisa kita lihat dalam munas Situbondo sebelum ia menjadi keputusan muktamar yang membahas sikap NU terhadap NKRI.
NU dalam menyikapi NKRI adalah bagaimana kita mengisi, bukan membongkar tatanan konsep negara yang sudah ada. Penekanannya adalah bagaimana metode pengisiannya agar syari’at tetap berjalan, tetapi NKRI tetap utuh.
Dalam menjalankan sikap tawassut dan I’tidal dalam masalah keumatan, NU menggunakan tiga pendekatan
1. fiqhu al-ahkam (fiqih hukum)
yakni dalam rangka untuk menentukan hukum fiqih dibidangi oleh Bahtsul Masa’il dan yang melakukan fiqhu al ahkam adalam umat yang siap menjalankan syari’at itu.
2. fiqhu da’wah (fiqih dakwah)
hal ini merupakan tuntunan sikap dalam hubungan dengan orang non-muslim. Yang berdasarka pada ayat yang berbunyi : “‘ud’u ‘ila sabili rabbika bi al-hikmati wa al-mau’izati hasanati wa jadil hum bi al-lati hiya ‘ahsan” ( ajaklah mereka ke jalan tuhanmu dengan hikmah dan mau’izah hasanah dan ajaklah mereka berdialog dengan cara yang terbaik).
3. fiqhu siyasah
yang merupakan sikap kebangsaan yang menghubungkan antara agama dan politik atau agama dan negara.
Lebih lanjut Beliau memaparkan tawasut dan i’tidal melahirkan langkah lanjutan yaitu tasammuh, tawazun dan tasyawwur (musyawarah). Tasammuh artinya keseimbangan antara prinsip dan penghargaan terhadap prinsip orang lain. Jika sudah melakukan tasammuh dan tawazun maka akan terdorong untu melakukan tasyawwur yaitu melakukan dialog dalam menyelesaikan persoalan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar