4. Dalil tentang tuduhan “Mendahului Allah dan Rasulullah Saw”
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui” (Quran Surat Al-Hujuraat: 1)
Ayat ini sering dikemukakan oleh kaum
Salafi Wahabi untuk menuduh bahwa orang-orang yang mengadakan acara peringatan Maulid
Nabi Muhammad Saw.,
tahlilan, ziarah para wali, dan lain sebagainya telah “mendahului Allah
dan Rasulullah Saw” dalam menetapkan suatu amalan di dalam agama. Dalam
bahasa lain, telah berbuat lancang, karena mengadakan sesuatu amalan
yang belum diperintahkan oleh Allah atau
Rasulullah Saw.
Penggunaan
dalil tersebut sepertinya tepat, padahal secara logika sangat tidak
bisa dibenarkan. Pasalnya, mana mungkin disebut mendahului sedangkan
yang didahului sudah tidak ada lagi dan tidak akan pernah ada lagi
sampai
hari Kiamat (wahyu al Quran sudah tidak turun, dan Rasulullah Saw. sudah wafat)?
Bisa disebut mendahului apabila ada suatu masalah yang ditanyakan kepada
Rasulullah Saw,
lalu ada orang yang berani angkat suara untuk menjawabnya di saat
beliau belum menjawabnya; atau Rasulullah Saw. membuat suatu keputusan
atau pilihan, lalu ada orang yang mengusulkan agar keputusan atau
pilihan itu diganti; atau ada orang yang melakukan suatu amalan sebelum
waktunya padahal waktu pelaksanaannya telah ditetapkan oleh Allah atau
Rasulullah Saw seperti: Menyembelih hewan kurban sebelum shalat ‘Ied, shalat fardhu sebelum waktunya, dan lain-lain.
Intinya,
disebut mendahului, bila proses pensyari’atan masih berlangsung di mana
wahyu masih turun dan Rasulullah Saw. masih hidup, atau bila ketentuan
amalan syari’at yang telah ditetapkan waktunya dilakukan sebelum
waktunya tiba.
Lebih fatal lagi kalau tuduhan “mendahului Allah
dan Rasul-Nya” ini diartikan bahwa orang-orang yang melakukan peringatan
Maulid atau tahlilan sudah melakukan kegiatan tersebut padahal Allah
atau Rasulullah Saw. belum menetapkan perintah atau hukumnya. Itu
berarti ada pemahaman seolah-olah wahyu masih diharap akan turun dan
Rasulullah Saw masih akan bersabda, hanya saja didahului oleh
orang-orang itu.
Bukankah proses pensyari’atan sudah selesai, dan bukankah
Islam
sudah disempurnakan sehingga tidak akan mungkin lagi turun syari’at
baru dari Allah atau dari Rasulullah Saw dalam hal menyuruh atau
melarang? Jadi tuduhan “mendahului” ini ngawur, tidak pada tempatnya,
terlalu dipaksakan, dan sangat mengada-ngada.
5. Dalil tentang tuduhan “Berlebihan Dalam Urusan Agama“
وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ (رواه أحمد)
Rasulullah
Saw bersabda: “Jauhilah oleh kalian akan ghuluw (berlebihan) di dalam
agama, karena telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab
ghuluw (berlebihan) di dalam agama” (HR. Ahmad).
Kaum
Salafi Wahabi
menggunakan dalil ini untuk menuduh orang-orang yang melakukan amalan
Maulid, tahlilan, ziarah wali, dan lain sebagainya sebagai pelaku
“ghuluw” (berlebihan) dalam beragama. Sisi “berlebihan” yang mereka
maksud di sini sepertinya adalah merasa tidak cukup dengan apa yang
dicontohkan formatnya oleh Rasulullah Saw dan para shahabat beliau, lalu
membuat amalan-amalan baru yang –menurut mereka—dimasukkan ke dalam
agama. Padahal seharusnya mereka bisa membedakan antara “amalan
bernuansa agama” dengan “amalan di dalam agama”.
Para ulama dan umat
Islam
yang melakukan amalan-amalan tersebut sesungguhnya tidak pernah
menganggapnya bagian dari agama atau syari’at, melainkan hanya sebagai
kegiatan positif (amal shaleh) yang mengandung kebaikan dan maslahat
bagi orang banyak. Dan dalam mengupayakan kebaikan atau amal shaleh
tidak ada kata “berlebihan”, sebab rumusnya di dalam agama,
“Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik”
(Quran Surat At-Taubah: 120).
Jadi, “semakin banyak kebaikan yang
dilakukan, semakin besar pula pahala atau ganjaran yang diberikan”.
Orang yang banyak berzikir bahkan setiap waktu, atau orang yang
bersedekah setiap hari, atau orang yang banyak melakukan shalat, mereka
tidak bisa dikatakan “berlebihan di dalam agama”, sebab semuanya itu
diberi pahala sesuai dengan amalannya.
Para ulama hadis
menafsirkan kata “ghuluw” (berlebihan) pada hadis di atas dengan makna
bersikap keras atau melampaui batas. Konotasinya –sebagaimana konteks
hadis itu—adalah bersikap keras dan melampaui batas dalam hal
mencari-cari sesuatu di balik perkara agama yang sebenarnya mudah
dipahami. Hal ini bisa dipahami dari hubungan ghuluw di dalam hadis
tersebut dengan ungkapan “telah binasa orang-orang sebelum kalian”.
Di
antara gambaran yang paling umum adalah kasus Bani Israil yang ketika
diperintah untuk menyembelih sapi betina, mereka malah mempersulit diri
dengan banyak bertanya atau mencari-cari perkara yang sangat mendetail
dari sapi itu. Makna seperti ini sesuai dengan riwayat hadis di atas
yang berkenaan dengan peristiwa melontar Jamratul-‘Aqabah di Mina, saat
Rasulullah Saw menyuruh Abdullah bin Abbas Ra untuk mengambilkan batu
melontar, yang tanpa bertanya lagi tentang ukurannya, segera ia ambilkan
batu seukuran kerikil atau khadzaf (yang dapat dipegang dengan dua
jari). Maka Rasulullah Saw berkata, “Dengan (batu) yang seperti ukuran
inilah hendaknya kalian melontar. Wahai sekalian manusia, jauhilah oleh
kalian akan ghuluw (berlebihan) di dalam agama, karena telah binasa
orang-orang sebelum kalian dengan sebab ghuluw di dalam agama.”
Maka,
siapakah yang semestinya lebih pantas dibilang “berlebihan di dalam
agama”, apakah para ulama dan umat Islam yang berupaya melakukan
kebaikan dan amal shaleh untuk orang banyak; ataukah kaum Salafi Wahabi
yang selalu mencari-cari pembahasan tentang amalan umat Islam yang
sebenarnya sudah dijelaskan oleh para ulama, kemudian mudah memvonis dan
menuduh dengan vonis dan tuduhan yang tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah Saw ?
Perhatikanlah vonis-vonis “
berlebihan” yang sering dilontarkan oleh kaum
Salafi Wahabi tentang amalan
Maulid, tahlilan, tawassul, ziarah kubur orang shaleh, dan lain sebagainya, di mana mereka berkata: “Tidak ada pahalanya!”, “
sesat!“, “
sia-sia“, “
musyrik!“, “
kafir!“, “
masuk neraka!“, “
tidak ada dalilnya!“, “
menambah-nambahi agama!“, “
mengada-ngada!“, “
haram!“, “
jangan bergaul dengan ahli bid’ah!“, dan lain sebagainya.
Tidak cukup dengan itu semua, mereka juga membuat istilah khusus yang mencibir
umat Islam yang senang berziarah kubur para wali dengan sebutan “
kuburiyyun“,
bahkan lebih tega lagi ketika mereka menyindir umat Islam yang senang
memuji dan menyanjung Rasulullah Saw dengan sebutan “Abdun-Nabi” (hamba
Nabi) yang mengesankan bahwa para penyanjung Rasulullah Saw benar-benar
telah menyembah Nabi Saw alias melakukan syirik (lihat Tafsir Seper
Sepuluh Dari Al Quran Al-Karim, hal. 95, buku ajaran Wahabi yang
dibagikan Cuma-Cuma).
Perhatikanlah semua ungkapan itu, apakah
Rasulullah Saw mengajarkan umatnya untuk menghukumi perkara yang tidak jelas larangannya dengan kalimat-kalimat tersebut?
***********
Pembahasan
di atas hanyalah beberapa contoh dari sekian banyak keserampangan di
dalam menggunakan dalil yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi
dalam berfatwa tentang bid’ah. Sikap serampangan itu bukan hanya
menunjukkan kecerobohan atau kekeliruan pemahaman mereka dalam
mencari-cari alasan untuk memvonis dan menghukumi amalan mayoritas umat
Islam yang mereka anggap sebagai bid’ah. Bahkan lebih dari itu, mereka
tega menggunakan dalil-dalil yang sebenarnya berbicara tentang
orang-orang kafir dan musyrik penyembah berhala, mereka berlakukan untuk
saudara-saudara mereka yang muslim.
Lihatlah satu contoh lagi
dalil yang sering mereka gunakan untuk menghukumi orang-orang yang biasa
berziarah kubur para shalihin dan para wali yang sering mereka juluki
dengan kuburiyyun, atau orang-orang yang bertawassul kepada Allah
melalui para wali atau dengan jaah (kemuliaan) mereka, yang dengan itu
mereka anggap orang-orang itu telah mengambil “perantara” dalam berdo’a
atau beribadah kepada Allah sebagaimana para penyembah berhala (lihat
Ensiklopedia Bid’ah, hal. 212), seperti yang difirmankan Allah sebagai berikut:
“Ingatlah,
hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan
orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak
menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah
dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara
mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah
tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (Quran
Surat Az-Zumar: 3).
Benarlah sebagian ulama (seperti Syaikh Ibnu
‘Abidin al-Hanafi dan yang lainnya) yang menganggap kaum Salafi &
Wahabi ini sebagai bagian dari kelompok “Khawarij” yang dianggap sesat
oleh seluruh ulama, di mana salah satu cirinya adalah seperti yang
disebutkan oleh Imam Bukhari:
باب قتل الخوراج والملحدين
بعد إقامة الحجة عليهم وقول الله تعالى {وما كان الله ليضل قوما بعد إذ
هداهم حتى يبين لهم ما يتقون} وكان ابن عمر يراهم شرار خلق الله وقال إنهم
انطلقوا إلى آيات نزلت في الكفار فجعلوها على المؤمنين (صحيح البخاري، دار
ابن كثير، اليمامة بيروت، ج. 6، ص. 2539)
Bab Membunuh
kelompok Khawarij dan Mulhidin (kafir/menyimpang) setelah menegakkan
hujjah (argumen) atas mereka. Dan firman Allah ta’ala: “Dan Allah
sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi
petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang
harus mereka jauhi” (Quran Surat At-Taubah: 115).
Dan adalah Ibnu
Umar Ra. memandang mereka sebagai seburuk-buruknya makhluk Allah, dan ia
berkata, “Sesungguhnya mereka menelusuri ayat-ayat yang turun mengenai
orang-orang kafir, lalu mereka jadikan (terapkan) ayat-ayat itu atas
orang-orang beriman.” (lihat Shahih al-Bukhari, Dar Ibnu Katsir,
al-Yamamah Beirut, juz 6, hal. 2539).
By: Ustadz
Ahmad Samanhudi – Ustadz
Imam Mustofa Mukhtar
Incoming search terms:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar