Sabtu, 04 Oktober 2014

Kesalahan Wahhabi tentang Kenduri Tahlilan

Kesalahan Wahhabi tentang Kenduri Tahlilan
Jawaban terhadap artikel Ustadz Wahabi pasca Dialog Batam

Soal: Mengapa Anda mengatakan bahwa kenduri kematian selama tujuh hari itu hukumnya makruh?

Jawab: Karena kitab-kitab Syafi’iyyah semuanya mengatakan makruh, tidak ada yang mengatakan haram. Lebih jelasnya, hidangan kenduri kematian ini memiliki beberapa hukum. Pertama, dihukumi makruh apabila hidangan diambilkan dari harta keluarga duka cita. Kedua, hukumnya haram apabila hidangan diambilkan dari harta warisan, sedangkan di antara ahli waris ada mahjur ‘alaihi (orang yang dilarang mengelola hartanya semisal karena masih kecil dan belum dewasa). Ketiga, hukumnya boleh apabila hidangan hasil sumbangan dari tetangga atau kerabat jauh.

Soal: Kata sebagian Ustadz Wahabi, Syaikhul Islmaa Zakariyaa al-Anshoori mengharamkan kenduri kematian. Menurut Anda bagaimana?

Jawab: Memang Ustadz Wahabi tersebut ngeyel dengan pemahamannya bahwa Syaikhul Islaam Zakariyaa al-Anshoori mengharamkan kenduri kematian. Setelah kami lihat pernyataan Syaikhul Islaam dalam Asna al-Mathaalib, ternyata Ustadz Wahabi tersebut salah faham terhadap redaksi Syaikhul Islaam. Sepertinya belum akrab dengan redaksi kitab-kitab fiqih Syafi’iyyah.

Soal: Jadi Syaikhul Islaam sendiri tidak mengharamkan kenduri.
Jawab: Sama sekali tidak. Itu hanya pemahaman Ustadz Wahabi itu tadi.

Soal: Tolong dijelaskan secara rinci, redaksi Syaikhul Islaam dalam Asna al-Mathaalib tersebut, agar tidak menimbulkan kesalahafaman di antara kami.

Jawab: Ustadz Wahabi tersebut berkata: Justru ada keterangan dari ulama syafi'iyah akan haramnya acara kenduri kematian. Syaikhul Islaam Zakariyaa Al-Anshoori As- Syafi'i (wafat 926 H) berkata dalam kitabnya : Asna Al-Mathoolib Fi Syarh Roudh At-Thoolib (1/335, terbitan Daarul Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, Libanon, cetakan pertama dengan tahqiq DR Muhammad Taamir):

ﻭَﻳُﻜْﺮَﻩُ ﻟِﺄَﻫْﻠِﻪِ ﺃَﻱْ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻃَﻌَﺎﻡٌ ﺃَﻱْ ﺻُﻨْﻊُ ﻃَﻌَﺎﻡٍ ﻳَﺠْﻤَﻌُﻮﻥَ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺃَﺧَﺬَ ﻛَﺼَﺎﺣِﺐِ ﺍﻟْﺄَﻧْﻮَﺍﺭِ ﺍﻟْﻜَﺮَﺍﻫَﺔَ ﻣﻦ ﺗَﻌْﺒِﻴﺮِ ﺍﻟﺮَّﻭْﺿَﺔِ ﻭَﺍﻟْﻤَﺠْﻤُﻮﻉِ ﺑِﺄَﻥَّ ﺫﻟﻚ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻏَﻴْﺮُ ﻣُﺴْﺘَﺤَﺐٍّ ﻭَﺍﺳْﺘَﺪَﻝَّ ﻟﻪ ﻓﻲ ﺍﻟْﻤَﺠْﻤُﻮﻉِ ﺑِﻘَﻮْﻝِ ﺟَﺮِﻳﺮِ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻛﻨﺎ ﻧَﻌُﺪُّ ﺍﻟِﺎﺟْﺘِﻤَﺎﻉَ ﺇﻟَﻰ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻭَﺻُﻨْﻌَﻬُﻢْ ﺍﻟﻄَّﻌَﺎﻡَ ﺑَﻌْﺪَ ﺩَﻓْﻨِﻪِ ﻣﻦ ﺍﻟﻨِّﻴَﺎﺣَﺔِ ﺭَﻭَﺍﻩُ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡُ ﺃَﺣْﻤَﺪُ ﻭﺍﺑﻦ ﻣَﺎﺟَﻪْ ﺑِﺈِﺳْﻨَﺎﺩٍ ﺻَﺤِﻴﺢٍ ﻭَﻟَﻴْﺲَ ﻓﻲ ﺭِﻭَﺍﻳَﺔِ ﺍﺑْﻦِ ﻣَﺎﺟَﻪْ ﺑَﻌْﺪَ ﺩَﻓْﻨِﻪِ ﻭَﻫَﺬَﺍ ﻇَﺎﻫِﺮٌ ﻓﻲ ﺍﻟﺘَّﺤْﺮِﻳﻢِ ﻓَﻀْﻠًﺎ ﻋﻦ ﺍﻟْﻜَﺮَﺍﻫَﺔِ ﻭَﺍﻟْﺒِﺪْﻋَﺔِ ﺍﻟﺼَّﺎﺩِﻗَﺔِ ﺑِﻜُل منهما.

“Dimakruhkan bagi keluarga si mayat membuat makanan, lalu mengumpulkan masyarakat untuk memakannya. Hukum makruh ini diambil –sebagaimana dilakukan oleh penulis kitab al-Anwar-, dari redaksi kitab al-Raudhah dan al-Majmu’, yang menjelaskan bahwa hal itu bid’ah yang tidak sunnah (mustahabb). Imam al-Nawawi berdalil dalam al-Majmu’, dengan perkataan Jarir bin Abdullah al-Bajali, “Kami menganggap berkumpul kepada keluarga mayit, dan makanan buatan mereka, termasuk niyahah.” Hadits ini secara zhahir mengharamkan, apalagi bagi hukum makruh dan dan bid’ah yang cocok dengan keduanya (haram dan makruh).”

Soal: Jadi redaksi di atas, menegaskan hukum makruh, bukan haram?”

Jawab: Jelas sekali, redaksi di atas menegaskan hukum makruh, bukan haram. Coba Anda perhatikan:

“Dimakruhkan bagi keluarga si mayat membuat makanan, lalu mengumpulkan masyarakat untuk memakannya. Hukum makruh ini diambil –sebagaimana dilakukan oleh penulis kitab al-Anwar-, dari redaksi kitab al-Raudhah dan al-Majmu’, yang menjelaskan bahwa hal itu bid’ah yang tidak sunnah (mustahabb).”

Nah, tidak ada penjelasan haram kan? Justru makruh yang ditegaskan. Hukum makruh tersebut kesimpulan dari pernyataan Imam Nawawi dalam Raudhah dan al-Majmu’, yang menegaskan “bid’ah yang tidak sunnah (mustahabb)”. Maksud tidak sunnah kan makruh, bukan haram.

Soal: Bagaimana dengan pernyataan Syaikhul Islaam Zakariya sesudahnya, “Hadits ini secara zhahir mengharamkan, apalagi bagi hukum makruh dan dan bid’ah yang cocok dengan keduanya (haram dan makruh)”, apakah tidak mengarah pada keharaman?

Jawab: Jelas tidak mengarah pada kehamaran. Maksud pernyataan tersebut:

1) Secara zhahir, hadits Jadir mengarah pada keharaman
2) Syaikhul-Islaam Zakariya bermadzhab Syafi’i, bukan bermadzhab Zhahiri
3) Pernyataan tersebut dalam rangka mendalili kemakruhan, bukan keharaman. Seakan-akan Syaihul Islam berkata: “Hadits Jarir ini secara zhahir saja bisa mengarah pada keharaman, apalagi kepada kemakruhan dan kebid’ahan.”
4) Kalau Ustadz Wahabi ngeyel memahaminya mengharamkan, berarti redaksi berikutnya yang berupa:

ﻓَﻀْﻠًﺎ ﻋﻦ ﺍﻟْﻜَﺮَﺍﻫَﺔِ ﻭَﺍﻟْﺒِﺪْﻋَﺔِ ﺍﻟﺼَّﺎﺩِﻗَﺔِ ﺑِﻜُل منهما.


tidak ada gunanya. Karenanya, dalam memahami perkataan para ulama, dipahami secara keseluruhan, jangan sepotong-sepotong.

Soal: Owh iya ya. Jadi Ustadz Wahabi tersebut tidak faham terhadap maksud perkataan Syaikhul Islam Zakariya, tetapi ngeyel.

Jawab: Ya, beliau kurang faham. Karena itu, setelah periode Syaikhul Islaam, tidak ada seorang pun ulama yang mengharamkan. Termasuk murid beliau, al-Imam al-Muhaqqiq Syihabuddin Ibnu Hajar al-Haitami, dalam al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, juz 2 halaman 7. Hanya sebatas memakruhkan, dan kendurinya juga dapat pahala.

Soal: Kata Ustadz Wahabi, kok bisa makruh dapat pahala?

Jawab: Ya itulah Ustadz Wahabi memang sering tidak bisa memahami dengan baik pernyataan para ulama. Makruh dilakukan dapat pahala, karena mereka melakukan bukan karena kemakruhannya, tetapi karena factor lain yang dibenarkan oleh syari’at, seperti untuk menolak fitnah dari masyarakat dan lain sebagainya. Silahkan baca fatwa al-Imam Ibnu Hajar juz 2 hlm 7. Kalau orang melakukan perkara makruh, karena factor kemakruhannya, ya jelas tidak dapat pahala. Sama dengan merokok, pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Syafi’i hukumnya makruh. Kalau orang menghadiahkan rokok karena kemakruhannya, jelas tidak dapat pahala. Tapi kalau menghadiahkan rokok karena idkholussurur (menyenangkan saudara seiman), atau karena silaturrahmi, ya dapat pahala juga.

Soal: Apakah pendapat radikal Ustadz Wahabi tersebut, gambaran dari ulama Wahabi yang asli?

Jawab: Tidak juga. Justru ulama Wahabi yang alim, tidak begitu radikal seperti ustadz Wahabi tersebut. Misalnya, Syaikh Ibnu Baz, dalam fatwa-fatwanya cenderung toleran dan moderat.

1) MUFTI WAHABI BOLEHKAN SUGUHAN TAMU DARI KELUARGA MAYIT

أما أهل الميت إذا صنعوا ذلك فلا بأس لأنفسهم أو لضيوف نزلوا بهم فلا بأس . (مجموع فتاوى ومقالات متنوعة، ابن باز، 7/431)

Apabila keluarga mayit membuat makanan untuk diri mereka, atau untuk tamu yang singgah pada mereka, maka hukumnya boleh, tidak makruh.

ولا حرج عليهم أن يصنعوا لأنفسهم الطعام العادي لأكلهم وحاجاتهم وهكذا إذا نزل بهم ضيف لا حرج عليهم أن يصنعوا له طعاما يناسبه لعموم الأدلة في ذلك (مجموع فتاوى ومقالات متنوعة، ابن باز، 9/318)
Keluarga mayit boleh membuat makanan untuk tamu yang singgah pada mereka, dengan makanan yang relevan dengan tamunya. (9/318).

2) MUFTI WAHABI BOLEHKAN HIDANGAN RINGAN DARI KELUARGA MAYIT

حكم حضور مجلس العزاء والجلوس فيه

س : هل يجوز حضور مجلس العزاء والجلوس معهم ؟ (1)

ج : إذا حضر المسلم وعزى أهل الميت فذلك مستحب ؛ لما فيه من الجبر لهم والتعزية ، وإذا شرب عندهم فنجان قهوة أو شاي أو تطيب فلا بأس كعادة الناس مع زوارهم . (مجموع فتاوى ومقالات متنوعة، ابن باز، 13/371)

Menghadiri majlis ta’ziyah (MAJLIS TAHLILAN SAMA SAJA), hukumnya sunnah. Minum segelas gahwa dan teh, atau minyak wangi, dari keuarga mayit, hukumnya boleh.

3) MUFTI WAHABI BOLEHKAN UNDANGAN KENDURI KEMATIAN

حكم دعوة أهل الميت

من يأكل معهم ما بعث لهم

س : إذا بعث لأهل الميت غداء أو عشاء فاجتمع عليه الناس في بيت الميت ، هل هو من النياحة المحرمة؟

ج : ليس ذلك من النياحة ؛ لأنهم لم يصنعوه وإنما صنع ذلك لهم ، ولا بأس أن يدعوا من يأكل معهم من الطعام الذي بعث لهم ؛ لأنه قد يكون كثيرا يزيد على حاجتهم . (مجموع فتاوى ومقالات متنوعة، ابن باز، 13/387)

Keluarga mayit boleh mengundang orang banyak untuk makan makanan mereka hasil kontribusi atau sumbangan dari tetangga yang melebihi dari kebutuhan.

4) MUFTI WAHABI BOLEHKAN HIDANGAN KEMATIAN ‘ASYA’ AL-WALIDAIN

Tradisi di Saudi Arabia, apabila ada orang meninggal, maka setelah berlalu satu atau dua bulan, sebagian anaknya membuat hidangan makanan, lalu mengundang tetangga dan kerabat untuk makan, sebagai sedekah bagi orang tua yang meninggal. Tradisi ini disebut dengan ‘asya’ al-walidain, dan mufti wahabi membolehkan. (13/253)

عشاء الوالدين

س : الأخ أ. م. ع. من الرياض يقول في سؤاله : نسمع كثيرا عن عشاء الوالدين أو أحدهما ، وله طرق متعددة ، فبعض الناس يعمل عشاء خاصة في رمضان ويدعو له بعض العمال والفقراء ، وبعضهم يخرجه للذين يفطرون في المسجد ، وبعضهم يذبح ذبيحة ويوزعها على بعض الفقراء وعلى بعض جيرانه ، فإذا كان هذا العشاء جائزا فما هي الصفة المناسبة له ؟ (1)

ج : الصدقة للوالدين أو غيرهما من الأقارب مشروعة ؛ لقول « النبي صلى الله عليه وسلم : لما سأله سائل قائلا : هل بقي من بر أبوي شيء أبرهما به بعد موتهما ؟ قال نعم الصلاة عليهما والاستغفار لهما وإنفاذ عهدهما من بعدهما وإكرام صديقهما وصلة الرحم التي لا توصل إلا بهما »(مجموع فتاوى ومقالات متنوعة، ابن باز، 13/253)


Dalam fatwa-fatwa di atas, Syaikh Ibnu Baz, mufti Wahabi, tidak jauh beda dengan fatwa fuqaha madzhab arba’ah yang lain.

WALLAHU A’LAM

Oleh : Ustadz Muhammad Idrus Ramli










moga manfaat

Terkait :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar