Agama Islam sudah sempurna, tidak boleh ditambah dan dikurangi. Kewajiban umat Islam adalah ittiba’.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama
bagimu ...” [Al-Maa-idah: 3]
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H) menjelaskan, “Ini
merupakan nikmat Allah Azza wa Jalla terbesar yang diberikan kepada umat
ini, tatkala Allah menyempurnakan agama mereka. Sehingga, mereka tidak
memerlukan agama lain dan tidak pula Nabi lain selain Nabi mereka, yaitu
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah
Azza wa Jalla menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan
mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin. Sehingga, tidak ada yang
halal kecuali yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang
diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali yang disyari’atkannya. Semua
yang dikabarkannya adalah haq, benar, dan tidak ada kebohongan, serta
tidak ada pertentangan sama sekali. Sebagaimana firman Allah Azza wa
Jalla :
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا
“Dan telah sempurna kalimat Rabb-mu (Al-Qur-an), (sebagai kalimat) yang benar dan adil ...” [Al-An’aam: 115]
Maksudnya benar dalam kabar yang disampaikan, dan adil dalam seluruh
perintah dan larangan. Setelah agama disempurnakan bagi mereka, maka
sempurnalah nikmat yang diberikan kepada mereka. Oleh karena itu, Allah
Azza wa Jalla berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama
bagimu ...” [Al-Maa-idah: 3]
Maka ridhailah Islam untuk diri kalian, karena ia merupakan agama yang
dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla. Karenanya Allah mengutus
Rasul yang paling utama dan karenanya pula Allah menurunkan Kitab yang
paling mulia (Al-Qur-an).
Mengenai firman-Nya : اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ “Pada hari
ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu.” ‘Ali bin Abi Thalhah berkata,
dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, “Maksudnya adalah Islam. Allah
telah mengabarkan Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang
yang beriman bahwa Allah telah menyempurnakan keimanan kepada mereka,
sehingga mereka tidak membutuhkan penambahan sama sekali. Dan Allah Azza
wa Jalla telah menyempurnakan Islam sehingga Allah tidak akan pernah
menguranginya, bahkan Allah telah meridhainya, sehingga Allah tidak akan
memurkainya, selamanya.”
Asbath mengatakan, dari as-Suddi, “Ayat ini turun pada hari ‘Arafah, dan
setelah itu tidak ada lagi ayat yang turun, yang menyangkut halal dan
haram. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kembali dan
setelah itu beliau wafat.”
Ibnu Jarir dan beberapa ulama lainnya mengatakan, “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal dunia setelah hari ‘Arafah,
yaitu setelah 81 hari.” Keduanya telah diriwayatkan Ibnu Jarir.
Selanjutnya ia menceritakan, Sufyan bin Waki’ menceritakan kepada kami,
Ibnu Fudhail menceritakan kepada kami, dari Harun bin Antarah, dari
ayahnya, ia berkata, “Ketika turun ayat: اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِينَكُمْ “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu.” Yaitu
pada haji akbar (besar), maka ‘Umar Radhiyallahu anhu menangis, lalu
Nabi Shalalllahu 'alaihi wa salalm bertanya, “Apa yang menyebabkan
engkau menangis?” ‘Umar Radhiyallahu anhu menjawab, “Aku menangis
disebabkan selama ini kita berada dalam penambahan agama kita. Tetapi
jika telah sempurna, maka tidak ada sesuatu yang sempurna melainkan akan
berkurang.” Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Engkau benar.”
Pengertian tersebut diperkuat oleh sebuah hadits yang menegaskan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْبًا، وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْبًا، فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ.
“Sesungguhnya Islam bermula dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi
asing sebagaimana permulaannya, maka berbahagialah orang-orang yang
asing.” [1]
Dari Thariq bin Syihab, ia berkata, “Ada seorang Yahudi yang datang
kepada ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, lalu berkata, ‘Wahai
Amirul Mukminin, sesungguhnya kalian membaca sebuah ayat dalam kitab
kalian. Jika ayat tersebut diturunkan kepada kami, orang-orang Yahudi,
niscaya kami akan menjadikan hari itu (hari turunnya ayat itu) sebagai
Hari Raya.’ ‘Ayat yang mana?’ tanya ‘Umar Radhiyallahu anhu. Orang
Yahudi itu berkata, ‘Yaitu firman-Nya:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
‘… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama
bagimu ...’ [Al-Maa-idah: 3]
Maka ‘Umar Radhiyallahu anhu berkata, ‘Sesungguhnya aku telah mengetahui
hari dan tempat ketika ayat itu turun kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Diturunkannya ayat itu kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, yaitu di ‘Arafah pada hari Jum’at.’”[2]
Demikianlah akhir dari penjelasan Imam Ibnu Katsir.[3]
A. Allah Azza wa Jalla Telah Menjelaskan Ushul dan Furu’ Agama Dalam al-Qur-an [4]
Anda tentu tahu bahwa Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan dalam
Al-Qur-an tentang ushul (pokok-pokok) dan furu’ (cabang-cabang) agama
Islam. Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan tentang tauhid dengan
segala macam-macamnya, sampai tentang bergaul dengan sesama manusia
seperti adab (tata krama) pertemuan, tata cara minta izin dan lain
sebagainya. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu,
‘Berlapang-lapanglah dalam majelis,’ maka lapangkanlah, niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu...” [Al-Mujaadilah: 11]
Dan firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ
بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَىٰ أَهْلِهَا ۚ
ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا
فِيهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّىٰ يُؤْذَنَ لَكُمْ ۖ وَإِن قِيلَ
لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا ۖ هُوَ أَزْكَىٰ لَكُمْ ۚ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang
bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.
Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. Dan jika
kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk
sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu, ‘’Kembalilah !’
Maka (hendaklah) kamu kembali. Itu lebih suci bagimu, dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [An-Nuur: 27-28]
Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan pula kepada kita dalam Al-Qur-an
tentang kewajiban wanita muslimah untuk memakai jilbab (busana muslimah)
yang sesuai dengan syari’at.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ
أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَّحِيمًا
“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu,
dan isteri-isteri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya
ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu agar mereka lebih mudah
untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” [Al-Ahzaab: 59]
Juga firman-Nya:
وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ
“… Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan ...” [An-Nuur : 31]
Allah juga telah menjelaskan kepada kita tentang adab masuk rumah, sebagaimana firman-Nya:
ۗ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَن تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ
الْبِرَّ مَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا
“… Dan bukanlah suatu kebajikan itu memasuki rumah-rumah dari
belakangnya, akan tetapi kebajikan itu adalah (kebajikan) orang yang
bertakwa, dan masukilah rumah-rumah itu dari pintu-pintunya ...”
[Al-Baqarah: 189]
Dan masih banyak lagi ayat seperti ini. Dengan demikian jelaslah bahwa
Islam adalah agama yang sempurna, mencakup segala aspek kehidupan, tidak
boleh ditambahi dan tidak boleh dikurangi. Sebagaimana firman Allah
Azza wa Jalla tentang al-Qur-an:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ
“… Dan Kami turunkan kepadamu kitab (Al-Qur-an) untuk menjelaskan segala sesuatu ...” [An-Nahl: 89]
Dengan demikian, tidak ada sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia baik
yang menyangkut masalah kehidupan di akhirat maupun masalah kehidupan di
dunia, kecuali telah dijelaskan Allah Azza wa Jalla di dalam Al-Qur-an
secara tegas atau dengan isyarat, secara tersurat maupun tersirat.
Adapun firman Allah Azza wa Jalla :
وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ
إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُم ۚ مَّا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِن شَيْءٍ ۚ
ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
“Dan tidak ada seekor binatangpun yang ada di bumi dan burung-burung
yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan
umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan
di dalam Al-Kitab. Kemudian kepada Rabb-lah mereka dikumpulkan.”
[Al-An’aam: 38]
Ada yang menafsirkan “Al-Kitab” di sini adalah Al-Qur-an, padahal
sebenarnya yang dimaksud yaitu “Lauh Mahfuzh”. Karena apa yang
dinyatakan oleh Allah Azza wa Jalla tentang al-Qur-an dalam firman-Nya:
“Dan Kami turunkan kepadamu kitab (Al-Qur-an) untuk menjelaskan segala
sesuatu,” lebih tegas daripada yang dinyatakan dalam firman-Nya:
“Tidaklah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab”.
Mungkin ada orang yang bertanya: “Adakah ayat di dalam Al-Qur-an yang
menjelaskan jumlah shalat lima waktu berikut bilangan raka’at tiap-tiap
shalat? Bagaimanakah dengan firman Allah Azza wa jalla yang menjelaskan
bahwa Al-Qur-an diturunkan untuk menerangkan segala sesuatu, padahal
kita tidak menemukan ayat yang menjelaskan bilangan raka’at tiap-tiap
shalat ?”
Jawabnya: Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan di dalam Al-Qur-an
bahwasanya kita diwajibkan mengambil dan mengikuti segala apa yang telah
disabdakan dan dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Hal ini berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla:
مَّن يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
“Barangsiapa yang mentaati Rasul (Muhammad) maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah…” [An-Nisaa’: 80]
Juga firman-Nya:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
“… Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah ...” [Al-Hasyr: 7]
Maka segala sesuatu yang telah dijelaskan oleh Sunnah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, sesungguhnya al-Qur-an telah
menunjukkannya pula. Karena Sunnah termasuk juga wahyu yang diturunkan
dan diajarkan oleh Allah Azza wa Jalla kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
وَأَنزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
“… Dan (juga karena) Allah telah menurunkan al-Kitab (Al-Qur-an) dan al-Hikmah (as-Sunnah) kepadamu ...” [An-Nisaa’: 113]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ إِنِّي أُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ...
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al-Kitab (Al-Qur-an) dan yang sepertinya (yaitu As-Sunnah) bersamanya.” [5]
Dengan demikian, apa yang disebutkan dalam Sunnah, maka sebenarnya telah disebutkan pula dalam Al-Qur-an.
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah
yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka
At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
_______
Footnote
[1]. HR. Muslim dalam Kitabul Iman (no. 145 (232)) dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 45, 4407, 4606, 7268) dan Muslim (no. 3017 (5)), dari Thariq bin Shihab Radhiyallahu anhu.
[3]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir (II/15-16), cet I, Maktabah Daarus Salam th. 1413 H.
[4]. Sub bahasan ini dinukil dari kutaib al-Ibdaa’ fi Kamaalisy Syar’i
wa Khatharil Ibtidaa’ oleh Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin rahimahullah.
[5]. HR. Abu Dawud (no. 4604) dan Ahmad (IV/131), dari Shahabat al-Miqdam bin Ma’dikarib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar