Catatan : BOLEH MENGAMALKAN HADIS DHOIF untuk keutamaan AMALAN
Khitan
Khitan
Di dalam Al-Qur’an Allah SWT telah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan firman-Nya :
ثُمَّ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرهِيْمَ حَنِيْفًا. وَمَا كَانَ مِنَ اْلمُشْرِكِيْنَ. النحل:123
Kemudian Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif. Dan bukanlah dia
termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah”. [QS. An-Nahl : 123]
Hadits Tentang Khitan
بِسْــــــمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْم
1. Sejarah Khitan
Khitan sudah dilakukan orang sejak ribuan tahun yang lalu. Dan riwayat
yang paling kuat menunjukkan bahwa khitan itu pertama kali dilakukan
oleh Nabi Ibrahim AS, sebagaimana riwayat berikut :
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ
اللهِ ص قَالَ: اخْتَتَنَ اِبْرَاهِيْمُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ بَعْدَ
ثَمَانِيْنَ سَنَةً وَاخْتَتَنَ بِالْقَدُوْمِ. البخارى 7: 143
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah
SAW bersabda, "Nabi Ibrahim AS berkhitan setelah berusia delapan puluh
tahun dan beliau khitan dengan menggunakan kampak”. [HR. Bukhari juz 7,
hal. 143]
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ ص: اخْتَتَنَ اِبْرَاهِيْمُ النَّبِيُّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ
وَ هُوَ ابْنُ ثَمَانِيْنَ سَنَةً بِالْقَدُوْمِ. مسلم 4: 1839
- Kalau dibaca bilqoduum, artinya “dengan kampak”, tetapi kalau dibaca bilqodduum, artinya “di kota Qoddum”, di daerah Syam.
- Mulai saat itulah khitan telah menjadi syari’at (peraturan) pada ummat Nabi Ibrahim dan keturunannya. Nabi Muhammad SAW meneruskan syari’at itu untuk dilaksanakan oleh ummatnya.
- Telah kita ketahui bahwa pokok-pokok ajaran yang telah disampaikan Allah kepada Nabi Ibrahim AS pada umumnya diteruskan dan dilaksanakan oleh Rasulullah SAW, sehingga menjadi ajaran Islam.
Di dalam Al-Qur’an Allah SWT telah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan firman-Nya :
ثُمَّ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرهِيْمَ حَنِيْفًا. وَمَا كَانَ مِنَ اْلمُشْرِكِيْنَ. النحل:123
Kemudian Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif. Dan bukanlah dia
termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah”. [QS. An-Nahl : 123]
Dari perintah Allah tersebut maka banyak kita ketahui ajaran yang dibawa
oleh Nabi Muhammad SAW untuk ummatnya (ummat Islam), seperti ibadah
hajji, qurban dan termasuk khitan, meneruskan apa yang telah
disyari’atkan kepada Nabi Ibrahim AS.
2. Anjuran untuk berkhitan
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض عَنِ
النَّبِيّ ص قَالَ: اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ، اَلْخِتَانُ وَ اْلاِسْتِحْدَادُ
وَ نَتْفُ اْلاِبْطِ وَ قَصُّ الشَّارِبِ وَ تَقْلِيْمُ اْلاَظْفَارِ.
البخارى 7: 143
Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW,
beliau bersabda, :Fithrah itu ada lima : 1. Khitan, 2. Mencukur rambut
kemaluan, 3. Mencabut bulu ketiak, 4. Memotong kumis, dan 5. Memotong
kuku”. [HR. Bukhari juz 7, hal. 143]
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيّ ص
قَالَ: الْفِطْرَةُ خَمْسٌ اَوْ خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ، اْلخِتَانُ وَ
اْلاِسْتِحْدَادُ وَ تَقْلِيْمُ اْلاَظْفَارِ وَ نَتْفُ اْلاِبِطِ وَ قَصُّ
الشَّارِبِ. مسلم 1: 221
Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau
bersabda, "Fithrah itu ada lima, atau lima hal termasuk fithrah, yaitu :
1. khitan, 2. mencukur bulu kemaluan, 3. memotong kuku, 4. mencabut
bulu ketiak, dan 5. Memotong kumis”. [HR. Muslim juz 1, hal. 221]
Keterangan :
Fithrah, bisa berarti sunnah, kebiasaan yang dilakukan oleh para Nabi, dan bisa pula berarti Ad-Diin (agama).
عَنْ عُثَيْمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ
اَبِيْهِ عَنْ جَدّهِ اَنَّهُ جَاءَ اِلَى النَّبِيّ ص فَقَالَ: قَدْ
اَسْلَمْتُ. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ص: اَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ.
يَقُوْلُ احْلِقْ. قَالَ: وَ اَخْبَرَنِي آخَرُ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ
ِلآخَرَ مَعَهُ: اَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَ اخْتَتِنْ. ابو داود 1:
98، رقم: 356
Dari 'Utsaim bin Kulaib dari Ayahnya dari
kakeknya bahwasanya dia pernah datang kepada Nabi SAW seraya berkata;
Saya masuk Islam. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya, "Buanglah rambut
kafirmu". Maksudnya, "Cukurlah". Dan (ayahnya ‘Utsaim) berkata :
Shahabat yang lain telah mengkhabarkan kepadaku bahwasanya Nabi SAW
bersabda kepada orang lain yang bersamanya, "Cukurlah rambut kafirmu dan
berkhitanlah". [HR. Abu Dawud juz 1, hal. 98, no. 356]
Keterangan :
Hadits ini dla’if, karena sanadnya munqathi’ sedangkan ‘Utsaim dan ayahnya adalah majhul. Demikian dikatakan oleh Ibnul Qaththan, dalam Talkhiishul Habiir juz 4, hal. 223, no. 1806. Dan ‘Abdaan berkata : ‘Utsaim adalah putranya Katsiir, sedangkan Katsiir putranya Kulaib, Kulaib adalah seorang shahabat.
3. Definisi Khitan
Khitan menurut bahasa artinya “yang dipotong”. Asal katanya : Khotana –
yakhtinu – khotnan, artinya “memotong”. Adapun menurut ‘ulama fiqh,
sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi sebagai berikut :
اَلْخِتَانُ هُوَ فِى الذَّكَرِ قَطْعُ
جَمِيْعِ اْلجِلْدَةِ الَّتِى تُغَطّى اْلحَشَفَةَ حَتَّى تَنْكَشِفَ
جَمِيْعُ اْلحَشَفَةِ، وَ فِى اْلاُنْثَى قَطْعُ اَدْنَى جُزْءٍ مِنَ
اْلجِلْدَةِ الَّتِى فِى اَعْلاَ اْلفَرْجِ.
Khitan bagi laki-laki ialah memotong semua
kulit yang menutupi kepala dzakar, sehingga terbuka kepala dzakar
seluruhnya. Sedangkan bagi wanita ialah memotong sedikit bagian berupa
kulit yang berada di atas lubang kemaluan (yang menutup kelenthit).
[Diambil dari Syarah Muslim oleh Imam Nawawiy]
4. Waktunya berkhitan
Tidak ada ketentuan dalam agama umur berapa anak harus dikhitan. Ada beberapa riwayat sebagai berikut :
عَنْ عُثَيْمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ
اَبِيْهِ عَنْ جَدّهِ اَنَّهُ جَاءَ اِلَى النَّبِيّ ص فَقَالَ: قَدْ
اَسْلَمْتُ. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ص: اَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ.
يَقُوْلُ احْلِقْ. قَالَ: وَ اَخْبَرَنِي آخَرُ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ
ِلآخَرَ مَعَهُ: اَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَ اخْتَتِنْ. ابو داود 1:
98، رقم: 356
Dari 'Utsaim bin Kulaib dari Ayahnya dari
kakeknya bahwasanya dia pernah datang kepada Nabi SAW seraya berkata;
Saya masuk Islam. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya, "Buanglah rambut
kafirmu". Maksudnya, "Cukurlah". Dan (ayahnya ‘Utsaim) berkata :
Shahabat yang lain telah mengkhabarkan kepadaku bahwasanya Nabi SAW
bersabda kepada orang lain yang bersamanya, "Cukurlah rambut kafirmu dan
berkhitanlah". [HR. Abu Dawud juz 1, hal. 98, no. 356]
اِنَّ النَّبِيَّ ص خَتَنَ اْلحَسَنَ وَ اْلحُسَيْنَ يَوْمَ السَّابِعِ مِنْ وِلاَدَتِهِمَا.
Sesungguhnya Nabi SAW mengkhitan Hasan dan
Husein pada hari ketujuh dari kelahirannya. [HR. Hakim dan Baihaqi,
dari ‘Aisyah, dalam Talkhiishul Habiir juz 4, hal. 226, no. 1808]
Keterangan :
Kami telah merunut pada kitab Mustadrak Al-Hakim, dan pada kitab Sunanul Kubra. Baihaqiy yang dari riwayat ‘Aisyah, tidak kami dapatkan kata-kata “Nabi SAW mengkhitan Hasan dan Husein pada hari ketujuh”. Walloohu a’lam.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: عَقَّ رَسُوْلُ اللهِ ص عَنِ اْلحَسَنِ وَ اْلحُسَيْنِ وَ خَتَنَهُمَا لِسَبْعَةِ اَيَّامٍ. البيهقى 8: 324
Dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah SAW
mengaqiqahi Hasan dan Husein dan mengkhitan keduanya pada hari ketujuh”.
[HR. Baihaqiy juz 8, hal. 324]
Keterangan :
Hadits ini dla’if, karena dalam sanadnya ada perawi bernama Muhammad bin Mutawakkil, yang dilemahkan oleh Al-Albaniy di dalam Al-Irwaa’ul Ghaliil juz 4, hal. 383]
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ:
سُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ: مِثْلُ مَنْ اَنْتَ حِيْنَ قُبِضَ النَّبِيُّ ص؟
قَالَ: اَنَا يَوْمَئِذٍ مَخْتُوْنٌ. قَالَ: وَ كَانُوْا لاَ يَخْتِنُوْنَ
الرَّجُلَ حَتَّى يُدْرِكَ. البخارى 7: 144
Dari Sa’id bin Jubair, ia berkata : Ibnu
‘Abbas ditanya, “Seperti siapakah engkau ketika Nabi SAW wafat ?”. Ia
menjawab, “Saya pada waktu itu telah dikhitan. (Ibnu ‘Abbas) berkata :
Dan mereka (para shahabat) tidak mengkhitan anak laki-laki melainkan
setelah baligh”. [HR. Bukhari juz 7, hal. 144]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قُبِضَ النَّبِيُّ ص وَ اَنَا خَتِيْنٌ. البخارى 7: 144
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Ketika Nabi SAW wafat, saya sudah dikhitan. [HR. Bukhari juz 7, hal. 144]
5. Hukumnya Khitan
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum Khitan.
- Ada yang berpendapat bahwa khitan itu wajib bagi laki-laki maupun perempuan.
- Ada yang berpendapat bahwa khitan itu sunnah, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
- Ada yang berpendapat bahwa khitan itu wajib bagi laki-laki, tetapi tidak wajib bagi perempuan.
6. Tentang Khitan bagi wanita
Tentang Khitan bagi wanita ini terjadi berbedaan pendapat dalam memahami
dalil-dalil yang ada. Sebagian ulama berpendapat bahwa wanita juga
harus berkhitan. Adapun dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut :
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض عَنِ
النَّبِيّ ص قَالَ: اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ، اَلْخِتَانُ وَ اْلاِسْتِحْدَادُ
وَ نَتْفُ اْلاِبْطِ وَ قَصُّ الشَّارِبِ وَ تَقْلِيْمُ اْلاَظْفَارِ.
البخارى 7: 143
Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW,
beliau bersabda, :Fithrah itu ada lima : 1. Khitan, 2. Mencukur rambut
kemaluan, 3. Mencabut bulu ketiak, 4. Memotong kumis, dan 5. Memotong
kuku”. [HR. Bukhari juz 7, hal. 143]
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: اِذَا جَاوَزَ
اْلخِتَانُ اْلخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ، فَعَلْتُهُ اَنَا وَ
رَسُوْلُ اللهِ ص فَاغْتَسَلْنَا. الترمذى 1: 72، رقم: 108
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Apabila khitan
bertemu khitan, maka sungguh telah wajib mandi. Aku telah melakukannya
dengan Rasulullah SAW, maka kami mandi”. [HR. Tirmidzi juz 1, hal. 72,
no. 108]
Keterangan :
Dari hadits ini mereka memahami bahwa wanita juga harus berkhitan, karena disebutkan “apabila khitan bertemu khitan”. Dan hadits “khomsun minal fihtrah” itu difahami sebagai dalil umum, bagi laki-laki maupun wanita.Dan juga berdasar hadits-hadits sebagai berikut :
عَنْ اَبِي اْلمَلِيْحِ بْنِ اُسَامَةَ
عَنْ اَبِيْهِ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اْلخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرّجَالِ
مَكْرُمَةٌ لِلنّسَاءِ. احمد: 7: 381، رقم: 20744
Dari Abul Malih bin usamah dari ayahnya,
bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Khitan itu sunnah bagi kaum laki-laki dan
kemuliaan bagi kaum wanita”. [HR. Ahmad juz 7, hal. 381, no. 20744]
Keterangan :
Hadits ini dla’if, karena dalam sanadnya ada perawi bernama Al-Hajjaj bin Arthah, ia seorang mudallis.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيّ ص
قَالَ: اَلْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرّجَالِ وَ مَكْرُمَةٌ لِلنّسَاءِ. الطبرانى
فى الكبير 11: 186، رقم: 11590
Dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi SAW, beliau
bersabda, “Khitan itu sunnah bagi kaum laki-laki dan kemuliaan bagi kaum
wanita”. [HR. Thabrani, dalam Al-Kabir, juz 11, hal. 186, no. 1159]
Keterangan :
Hadits riwayat Thabrani ini juga diriwayatkan oleh Baihaqi di dalam Sunanul Kubra juz 8, hal. 824, dan ia berkata, “Haadzaa isnaadun dla’iifun (ini sanad yang lemah), yang benar hadits tersebut adalah mauquf.
عَنْ اُمِ عَطِيَّةَ اْلاَنْصَارِيَّةِ
اَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَخْتِنُ بِاْلمَدِيْنَةِ فَقَالَ لَهَا
النَّبِيُّ ص: لاَ تُنْهِكِيْ فَاِنَّ ذلِكِ اَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَ
اَحَبُّ اِلَى الْبَعْلِ. ابو داود 4: 368، رقم: 5271
Dari Ummu ‘Athiyah Al-Anshariyah,
bahwasanya ada seorang wanita yang biasa mengkhitan di Madinah, maka
Nabi SAW bersabda kepadanya, “Jangan kamu habiskan, karena yang demikian
itu lebih menyenangkan bagi wanita dan lebih disukai oleh suami”.
[HR.Abu Dawud juz 4, hal. 368, no. 5271]
Keterangan :
Hadits ini dla’if, karena dalam sanadnya ada perawi bernama Muhammad bin Hassan, ia majhul.
عَنِ الضَّحَّاكِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ:
كَانَتْ بِاْلمَدِيْنَةِ امْرَأَةٌ تَخْفِضُ النّسَاءَ يُقَالُ لَهَا اُمُّ
عَطِيَّةَ. فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ ص: اخْفِضِى وَلاَ تُنْهِكِى
فَإِنَّهُ اَنْضَرُ لِلْوَجْهِ وَ اَحْظَى عِنْدَ الزَّوْجِ. الحاكم 3:
603، رقم: 6236
Dari Dlahhak bin Qais, ia berkata : Dahulu
di Madinah ada seorang wanita yang biasa mengkhitan anak-anak
perempuan, ia bernama Ummu ‘Athiyah. Maka Rasulullah SAW bersabda
kepadanya, “Khitanlah, dan jangan kamu habiskan, karena yang demikian
itu lebih mencerahkan wajah, dan lebih menyenangkan suami”. [HR. Hakim
juz 3, hal. 603, no. 6236]
Keterangan :
Hadits ini dalam sanadnya ada seorang rawi bernama ‘Abdul Maalik bin ‘Umair yang masih diperselisihkan,
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ
رَفَعَهُ: يَا نِسَاءَ اْلاَنْصَارِ، اِخْتَضِبْنَ غَمْسًا وَ احْفِضْنَ وَ
لاَ تُنْهِكْنَ فَاِنَّهُ اَحْظَى عِنْدَ اَزْوَاجِكُنَّ وَ اِيَّاكُنَّ
وَ كُفْرَانَ النّعَمِ.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia mengatakannya
dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Hai para wanita Anshar, pakailah
pewarna kuku yang merata dan berkhitanlah, dan janganlah kalian
habiskan, karena yang demikian itu lebih menyenangkan suami-suami
kalian, dan hati-hatilah kalian dari mengkufuri ni’mat”. [HR. Al-Bazzaar
dari Ibnu ‘Adiy, dalam Takhiishul Habiir juz 4, hal. 225]
Keterangan :
- Hadits ini dla’if, karena dalam sanadnya Al-Bazzar ada perawi bernama Mandil bin ‘Aliy, ia dla’if. Dan dalam sanadnya Ibnu ‘Adiy ada perawi bernama Khalid bin ‘Amr al-Qurasyiy, ia lebih dla’if dari pada Mandil. [Talkhiisul Habiir juz 4, hal. 225]
- Sebagian ‘ulama memahami bahwa khitan itu khusus untuk laki-laki, sedangkan untuk wanita tidak ada hadits yang shahih dan sharih (secara tegas) yang menyuruh wanita untuk berkhitan.
- Adapun hadits tentang “apabila khitan bertemu khitan maka wajib mandi”, itu tidak mesti menunjukkan bahwa wanita itu berkhitan. Tetapi maksud hadits itu “apabila kemaluan laki-laki bertemu kemaluan wanita (bersetubuh), maka wajib mandi”. Walloohu a’lam.
7. Tentang walimah Khitan
Kami tidak menemukan hadits Nabi SAW yang shahih yang membahas tentang walimah khitan. Hanya, ada riwayat yang dla’if sebagai berikut :
عَنِ اْلحَسَنِ قَالَ: دُعِيَ
عُثْمَانُ بْنُ اَبِى اْلعَاصِ اِلَى خِتَانٍ فَاَبَى اَنْ يُجِيْبَ
فَقِيْلَ لَهُ، فَقَالَ: اِنَّا كُنَّا لاَ نَأْتِى اْلخِتَانَ عَلَى
عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ص وَ لاَ نُدْعَى لَهُ. احمد 6: 270، رقم: 17928
Dari Al-Hasan, ia berkata : ‘Utsman bin
Abul ‘Ash pernah diundang untuk mendatangi acara khitan, lalu ia menolak
menghadirinya. Kemudian dia ditanya, maka ia menjawab, “Sesungguhnya
kami di masa Rasulullah SAW tidak pernah mendatangi acara khitan dan
tidak pernah ada undangan untuk itu”. [HR. Ahmad juz 6, hal. 270, no.
17928]
Keterangan :
Riwayat ini dla’if, karena dalam sanadnya ada perawi bernama Ibnu Ishaaq, yaitu Muhammad, ia mudallis.
Walloohu ‘alam.
سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ وَ بِحَمْدِكَ اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اَنْتَ اَسْتَغْفِرُكَ وَ اَتُوْبُ اِلَيْكَ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar