Kamis, 16 April 2015

Bid'ah hasanah

BID'AH HASANAH

PERINTAH NABI 

SUPAYA MENGIKUTI BID'AH PARA SAHABAT

(SUNNAH SAHABAT)

HADITS KE-1

Artinya : 
"Pegang teguhlah Sunnah aku dan sunnah Khalifah-Khalifah Rasyidin sesudah aku, pegang teguhlah dengan gerahammu”. (Hadits riwayat Imam Abu Daud dan Tirmidzi. Lihat Sunan Abu Daud Juzu’ II hal. 201)

HADITS KE-2

Nabi bersabda,

Artinya :   
“Bahwasanya Bani Israil telah berfirqah-firqah sebanyak 72 millah (firqah) dan akan berfirqah umatku sebanyak 73 firqah, semuanya masuk neraka kecuali satu”.
Sahabat-sahabat yang mendengar ucapan ini bertanya, “Siapakah yang satu itu ya Rasulullah?” Nabi menjawab, “Yang satu itu ialah orang yang berpegang (beri i’tiqad) sebagai peganganku (i’tiqadku) dan pegangan sahabat-sahabatku”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, lihat Shahih Tirmidzi juz X)

HADITS KE-3

Tersebut dalam kitab Thabrani, bahwa Nabi bersabda:
 
Artinya :   
“Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad di tangan-Nya, akan berfirqah ummatku sebanyak 73 firqah yang satu masuk surga dan yang lain masuk neraka”. 
Bertanya para sahabat, “Siapakah firqah (yang tidak masuk neraka) itu ya Rasulullah?”
Nabi menjawab, “Ahlussunnah wal Jama’ah”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Thabrani).
Hadits yang serupa ini artinya tersebut juga dalam kitab “Al-Milal wan Nihal” juz I halaman 11, karangan Syahrastani (wafat: 548 H).

HADITS KE-4

Artinya : “Menyampaikan Rasullah SAW akan pecah ummatku menjadi 73 golongan, yang selamat satu golongan dan sisanya hancur, ditanya siapakah yang selamat Rasulullah? Beliau menjawab, “Ahlussunnah wal Jama’ah”, Beliau ditanya lagi apa maksud dari Ahlussunnah wal Jama’ah? Beliau menjawab, “Golongan yang mengikuti sunnahku dan sunnah sahabatku”. 

HADITS KE-5

Kemudian beliau memberi kami nasehat:
Artinya:
“Saya beri wasiati kamu sekalian supaya kamu bertaqwa kepada Allah, mendengar dan patuh kepada Kepala (Ulil Amri), walaupun Ulil Amri itu orang berkulit hitam sekalipun. Selanjutnya beliau mewasiatkan; siapa yang hidup lama di antara kamu kemudian aku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak. Pada waktu itu hendaklah kamu mengikut Sunnahku dan Sunnah Khalifah-khalifah Rasyidin yang dapat petunjuk yang benar. Pegang teguh semua itu dan gigitlah dengan gerahammu. Jauhilah perkara baru yang diada-adakan (bid’ah), karena “semua” yang baru yang diada-adakan itu adalah bid’ah dan “semua bid’ah” itu adalah sesat”. (HR. Abu Daud lihat Sunan Abu Daud juz 4 – hal 201)

HADITS KE-6

Nabi Muhammad SAW bersabda:

 Artinya:
Dari Mu’adz bin Jabal, bahwasanya Rasulullah SAW ketika mengutusnya ke Yaman bertanya kepada Muadz: “Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa ke hadapanmu?”  
“Saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalam Kitabullah”; kata Muadz.
Nabi bertanya lagi: “Kalau engkau tidak menemukannya dalam Kitabullah, bagaimana?”
Jawab Muadz: “Saya akan memutuskannya menurut Sunnah Rasul”.
Nabi bertanya lagi: “Kalau engkau tak menemui itu dalam sunnah Rasul, bagaimana?”
Muadz menjawab: “Ketika itu saya akan ber-ijtihad, tanpa bimbang sedikitpun”.
Mendengar jawaban itu Nabi Muhammad SAW meletakkan tangannya ke dadanya dan berkata:
“Semua puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan Rasulullah sehingga menyenangkan hati RasulNya.”

(Hadits Riwayat Imam Tirmidzi dan Abu Daud – Sahih Tirmidzi juz II, hal. 68 – 69, dan Sunnah Abu Daud, juz III – halaman 303).
Dalam hadits ini Imam Mujtahid diberi izin seluas-luasnya untuk ber-ijtihad bilamana hukum-hukum sesuatu tidak ditemui dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Ternyata dalam hadits ini Muadz bin Jabal dianjurkan berbuat “BID’AH HASANAH” seluas-luasnya.
HADITS KE-7

Dalam kitab Hadits Bukhari tersebut:

Artinya:
Dari Abdurrahman bin Abdul Qarai, beliau berkata: “Saya keluar bersama Sayyidina Umar bin Khattab (Khalifah Rasyidin) pada suatu malam bulan Ramadhan ke masjid Madinah.
Didapati dalam masjid itu orang-orang sembahyang tarawih bercerai-cerai. Ada yang sembahyang sendiri-sendiri, dan ada yang sembahyang dengan beberapa orang di belakangnya. Maka Sayyidina Umar berkata, “Saya berpendapat akan mempersatukan orang-orang ini. Kalau disatukan dengan seorang imam sesungguhnya lebih baik, serupa dengan sembahyang Rasulullah”. Maka beliau satukan orang-orang itu sembahyang di belakang seorang imam, namanya Ubai bin Ka’ab.
Kemudian pada suatu malam kami datang lagi ke masjid, lalu kami melihat orang sembahyang berkaum-kaum di belakang seorang imam. Sayyidina Umar berkata: “Ini adalah bid’ah yang baik”. (Shahih Bukhari I – hal. 242)

Hadits ini tersebut juga dalam kitab “Muwatha’ Imam Mali k, Juz I – hal. 136 – 137.

Ternyatalah dari riwayat ini bahwa sembahyang tarawih berjama’ah terus menerus dalam bulan Ramadhan adalah pekerjaan bid’ah karena tidak dikenal pada zaman Nabi. Tetapi bid’ahnya menurut Sayyidina Umar, adalah baik, – bid’ah hasanah.

HADITS KE-8
Artinya:
Dari Saib bin Yazid beliau berkata: “Adalah azan di waktu Jum’at permulaannya apabila duduk Imam di ats mimbar pada zaman Nabi, pada masa Abu Bakar dan Umar ra. Ketika zaman Utsman ra. dimana orang sudah bertambah banyak maka beliau (Sayyidina Utsman) menambah azan yang ketiga di atas zaura.
(HR. Bukhari – Shahih Bukhari I – halaman 116)
Hadits ini menyatakan bahwa pada zaman Nabi dan masa Khalifah Abu Bakar dan Umar ra. azan waktu sembahyang Jum’at ada dua kali (satu azan dan qamat). Kemudian setelah manusia berkembang ditambah azan yang ketiga, (sekarang dinamai azan pertama) dalam sembahyang Jum’at.
Dengan demikian maka azan-azan yang pertama itu adalah “bid’ah” hasanah yang diadakan oleh Khalifah Rasyidin Sayyidina Utsman, yang kita diperintahkan oleh Nabi untuk mengikutinya.
Selain membukukan Qur’an, sembahyang tarawih berjama’ah terus-menerus pada bulan Ramadhan dan azan pertama pada waktu sembahyang Jum’at, ada lagi beberapa masalah agama lainnya yang diadakan oleh Khalifah-khalifah Rasyidin Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali ra.
Ummat Islam diperintahkan oleh Nabi Muhammad saw, supaya mengikuti sunnah Khalifah Rasyidin itu.
Barangsiapa yang tidak mau mengikuti sunnah Khalifah Rasyidin, berarti tidak mengikuti sunnah Nabi. Na’udzubillah!


HADITS KE-9
Beliau berkata begini:
Artinya:
Bahwasanya Huzaifah bin Yaman datang kepada Sayyidina Utsman (Khalifah ketiga). Ketika itu Huzaifah mengepalai jihad di daerah Syam dalam memerangi Armini dan Azarbaiyan. Huzaifah sangat terkejut mendengar perbedaan-perbedaan prajurit dalam membaca Al-Qur’an. Maka datanglah Huzaifah kepada Khalifah Utsman bin Affan, lalu beliau berkata: “Hai Khalifah, buru-burulah menolong ummat Islam sebelum mereka berselisih tentang kitab suci sebagai perselisihan Yahudi dan Nashara”.
Maka Sayyidina Utsman meminta kepada Siti Hafasah agar kumpulan Qur’an yang ada di tangan beliau diberikan kepadanya untuk disalin dan kemudian dikembalikan.
Maka Siti Hafsah memberikan mushaf yang disimpannya itu kepada Sayyidina Utsman bin Affan yang ketika itu menjadi Khalifah ke-3.
Sayyidina Utsman menunjuk empat orang sahabat  untuk menyalin Qur’an itu, yaitu:
1.   Zaid bin Tsabit, penulis wahyu di zaman Rasulullah,
2.   Abdullah bin Zuber,
3.   Said bin ‘Ash,
4.   Abdurrahman bin Harits bin Hisyam.

Dari uraian kedua hadits Bukhari nampak bahwa menuliskan Qur’an dalam satu mushaf adalah sunnah Khalifah Rasyidin yang belum dikenal pada zaman Nabi.
Ini boleh juga dikatakan bid’ah, tetapi bid’ah hasanah, yaitu bid’ah yang baik.
(H.R. Bukhari, lihat Fathul Bari X, hal. 390 – 396)

Dari keterangan hadits 1 sampai 5, betapa kita diwajibkan untuk mengikuti sunnah para sahabat yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah Saw. Bahkan dalam hadits yang ke-4 selain ahlu sunnah wal jama’ah akan hancur. Dari keterangan hadits yang ke-6 pada zaman Rasulullah, cuma gandum, lembu emas dan perak. Tetapi pada zaman sekarang, padi, kerbau, uang kertas tidak dikenal (tidak ada haditsnya) akan tetapi tetap wajib dikeluarkan zakatnya. Ini juga bid’ah hasanah.

Dari keterangan hadits 7 – 9, betapa banyak bid’ah-bid’ah hasanah pada zaman sahabat. Bahkan Sayyidina Umar r.a. dengan terang mengatakan ini adalah bid’ah yang baik. Maka dengan demikian, pantaslah seperti imam mujtahid yang hafal ratusan ribu hadits yang membagikan 2 kelompok besar, bid’ah hasanah dan madhmumah. Dengan penjelasan hadits di atas yang dimaksud 
Dari potongan hadits yang ke-5 di atas dapat diambil maksud, “Ikutilah Sunnahku”, kata Nabi, “dan Sunnah Sahabatku baru”, bid’ah yang baru/menyimpang dari syari’at Islam yang baru dikatakan sesat, karena sangat banyak sekali bersangkutan dengan banyak hadits-hadits yang lain. Jika tidak asal bicara, usholli bid’ah, tahlil, maulid Nabi, yasinan sesat, baca burdah sesat. Kalau memahami hadits serampangan seperti ini semua sesat dengan sendirinya orang yang mengatakan sesat. Dia tidak merasa tiap hari melakukan kesesatan, mengapa tidak, Nabi pakai sorban, jubah, naik onta. Nah coba bayangkan sendiri, masjid pada saat itu, masjid Quba cuma dikelilingi tembok, tidak ada mihrob, menara dan sebagainya. Lebih jelas lagi sebagaimana yang termaktup hadits muslim.

Juga Nabi SAW pernah berkata: 
Artinya :    “Barangsiapa mengadakan sunnah yang bagus dalam Islam, maka diamalkan oleh orang kemudian, diberikan pahala sebagai pahala orang mengerjakan kemudian, dan tidak akan dikurangkan sedikitpun. Dan barangsiapa mengerjakan sunnah yang jelek diamalkan oleh orang, maka akan mendapat dosa seperti dosa orang yang mengerjakan kemudian, dan tidak dikurangkan sedikitpun
(HR. Muslim, syarah Muslim XIV – hal. 226) 

Jelas sekali kita dianjurkan mengadakan sunnah hasanah (Bid’ah Hasanah), dalam hadits Muslim kita dianjurkan mengerjakan Bid’ah Hasanah asal tidak bertentangan dengan syareat Islam.

1.   Rosul mendengar sandal, sahabat Bilal di surga. Dengan apa engkau mendahului aku ke surga? Bilal menjawab, aku belum pernah berwudlu baik siang maupun malam kecuali aku melanjutkan dengan sholat sunnat 2 rokaat yang aku tentukan waktunya, padahal Rosul tidak menyareatkan. ( Lihat Bukhari Muslim, (1149) (6274) )
 
2.   Ibnu Abbas mundur dari barisan jamaah sholat Rasulullah atas inisiatifnya sendiri. Rosul bertanya, “Kenapa kamu mundur?, Ibnu Abbas menjawab, “Tidak selayaknya seorang makmum lurus di sampingmu ya Rosul”, Nabi senang mendengar jawaban tadi sampai sekarang menjadi ketetapan. ( Imam Ahmad (3061) )
Inilah faham ahlu sunnah wal jama’ah yang selalu berpegang teguh pada sunnah Rasul dan para sahabatnya juga tabi’it tabi’in, karena mereka puluhan tahun mendampingi Rasul. Lain halnya dengan faham selain ahlu sunnah wal jama’ah, yang selalu mengagungkan Ibnu Taimiyah, pindah ke Basyrah dan Kuffah. Dihujat karena fahamnya yang ganjil-ganjil ke sana kemari. Dihukum oleh penguasa. Dan yang terakhir ini dihukum 18 bulan, sampai meninggal dunia. Dalam tahanan, faham ini yang dibeking oleh seorang Yahudi, yang bernama Abu Saud. Kerajaan Saudi pada saat itu, jadi tidak heran kalau dalilnya selalu mengambil ayat-ayat kuffar, untuk menghantam kaum muslimin pada saat itu. Ziarah kubur syirik, tawassul syirik, sholawat, dzikir syirik. Faham ini dikembangkan oleh Abd. Wahab/Wahabi, dia sudah terkontaminasi oleh orang Inggris yang bernama Mr. Hemper. Umat Islam dihantam dari dalam Islam itu sendiri. Menabur fitnah kesana kemari, tuduhan-tuduhan bid’ah, khurafat, pemurnian tauhid pada intinya mau menghapuskan syareat Islam dari dalam. Faham ini dikembangkan oleh Imam Satibi yang membid’ahkan dzikir sesudah shalat, juga berjabat tangan sesudah sholat, padahal sudah jelas, sudah termaktub di dalam hadits Bukhori.
Lebih jauh lagi faham itu, dikembangkan oleh Wasil bin Athok dan Rasyid Ridho. Bahkan yang lebih ekstrim lagi menuduh Sayyidina Umar Ahli Bid’ah, akan tetapi kenapa pengikut-pengikut yang ada di Indoneisa ini rela sahabat kita tercinta dikatakan sesat, perampas kekuasaan dan sebagainya. Padahal sudah jelas firman Allah swt., “Dia dijamin masuk surga (QS. At-Taubah: 100) (“sahabat adalah Umat yang terbaik”) QS. Ali Imron: 110). Bahkan kata Nabi sahabat adalah pegangan bagi umatku (HR. Muslim). Sudah jelas kiranya kita ini termasuk golongan yang mana.
Dari uraian di atas, semoga kita pandai-pandai di dalam mengambil kesimpulan. Sabda Nabi Muhammad SAW.
Artinya: Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka tiliklah dari siapa kamu mengambil pelajaran agamamu.
  • BID’AH LUGHOTAN



Ialah bid’ah secara istilah. Secara bahasa misalnya: di zaman Nabi, yang ada cuma kuda, unta, kambing, dinar dan dirham, kurma, gandum dan Al-Qur’an yang ada pada tembikar, pelepah kurma, di batuputih, dan pakaian Nabi selalu pakai gamis (sorban). Misalkan kita tidak persis sama dengan contoh di atas tidak apa-apa, karena itu cuma istilah saja.
  • BID’AH HAKIKI


Ialah bid’ah secara syar’i, yaitu amalan yang sudah ditetapkan dalam syari’at Islam. Misalkan sholat 5 waktu ditambah menjadi 6, puasa pada hari tasyrik, percaya ada nabi sesudah Nabi Muhammad. sholat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menambah-nambah ayat Al-Qur’an, pergi haji bukan ke Makkah, karena semua ini menyimpang dari syari’at yang sudah ditetapkan dalam Islam تَشرِعُوا مَالَمْ يُشَرَّعْ (mensyariatkan yang bukan syariat). Inilah namanya
فِى النَّارِ  كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٌ.  
“Kullu di situ dibatasi jangkauannya”, artinya yang bertentangan dengan syari’at atau dilarang syari’at, itulah yang sesat.   
  • SEMUA BID'AH SESAT


 Kalau kita mengartikan semua bid’ah sesat, anda akan termakan oleh bid’ah itu sendiri. Coba bayangkan:


1.     Karena kita membaca Al-Qur’an hasil bid’ah Sayyidina Umar, disetujui Abu Bakar, sebagai penulisnya Zaid bin Tsabit. (HR. Bukhori, Fathul Bari X. hal. 385 – 390)
2.     Kita membaca Al-Qur’an mushaf Utsman. Karena pada zaman Rasul ditulis di pelepah kurma, tembikar, batu putih (HR. Bukhari, Fathul Bari (390 – 396)
3.     Sholat tarawih berjama’ah dalam 1 bulan itu atas inisiatif Sayyidina Umar, apalagi membaca surat Al-Qur’an sampai khatam dan doa hotmil Qur’an dibaca pula pada akhir bulan puasa, apa itu juga bukan bid’ah? (Shahih Bukhari I, hal. 136-137)
4.     Adzan permulaan sholat Jum’at juga inisiatif Sayyidina Utsman (Shahih Bukhari I, hal. 116) dan kita diwajibkan mengikutinya. Lihatlah hadis 1 – 5. Kita mengaku ahlu sunnah wal jama’ah tetapi kenyataannya tidak mau mengikuti sunnah para sahabat.
5.     Bacaan dalam sholat سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ pada saat itu ada seorang makmum menambah bacaan
رَبَّنَاوَلَكَالْحَمْدُحَمْدًاكَثِيْرًامُبَارَكًافِيْهِ. Setelah selesai sholat, beliau bertanya, “Siapa yang membaca kalimat tadi?”. Lalu laki-laki itu menjawab, “Saya ya Rasul”. Beliau bersabda, “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya”. Al-Bukhari (799). An-Nisai (1016). Abu Dawud (770). Ahmad (4/340) dan Ibnu Khuzaimah (614). Apakah ini bukan bid’ah?
6.  Pemberian titik dalam penulisan mushaf, yang dikerjakan oleh Yahya bin Ya’mur dan penulisan harokat oleh Daudh Ad-Dauli juga tidak ada perintah Rasul, karena kalau tidak diberi titik tidak bisa membedakan mana itu “nun” atau “yak” dan “bak”. Jelas dengan adanya bid’ah tersebut, dapat memudahkan kita dalam membaca Al-Qur’an. Anda lihat Al-Masahif hal. 158. Siapa yang tidak lepas dari bid’ah semua ini, seperti Nahwu, Shorrof, Tajwid, semuanya bid’ah seperti yang dijelaskan dalam syarah Shohih Muslim:
  قَوْلُهُ صلعم وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ هذَاعَامٌ مَخْصُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبٌ البِدْعَ ( شرح صحيح مسلم )                       
Sabda Nabi SAW: “Semua bid’ah sesat” ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya (sebagian bid’ah yang menyimpang dari syariat yang sesat). (Syarah Shahih Muslim, 6/154) (Shahih Muslim Syarah Muslim XIV, hal. 226)


7.   Khutbah yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, baik pada sholat Jum’at dan sholat 2 Hari Raya Besar, semuanya bid’ah. Karena tidak ada pada zaman Rasul, sedangkan zaman Rasul semua pakai Bahasa Arab, kalau anti bid’ah kenapa dikerjakan orang-orang Wahabi itu.  

8.  Seorang Imam ketika membaca Takbir Intiqol (takbir untuk perpindahan rukuk sholat, misalnya dari berdiri ke rukuk, ke sujud) disunnahkan bersuara keras, demikian pula ketika Bilal menyampaikan aba-aba, hal ini supaya didengar oleh makmum yang lain, ini pun juga bid’ah. Kalau memang “setiap bid’ah sesat, kenapa dikerjakan oleh orang-orang Wahabi itu”. Perhatikan kalau sholat tarawih di Masjidil Haram tersebut.
9.  Satu saat ulama Wahabi bersikukuh, “Bahwa semua bid’ah itu sesat”, tidak ada pembagian sama sekali, di sisi lain mengatakan bid’ah dibagi 2 bid’ah dunia dan keagamaan (Al-Utsaimin, Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah, hal. 639 – 640). Agaknya Wahabi ini bukan munafik lagi, tapi “mencla-mencle”. Hadist mana yang membagikan yang kesatu bid’ah keduniawian dan yang kedua bid’ah keagamaan kalau bukan mengada-ada.
المَبْطُوْلُ مُتَنَاقِضٌ،لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ : وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا

فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا  ( النساء:٨٢ )
“Orang yang memiliki ajaran bathil pasti kontradiksi dengan dirinya sendiri. Karena Allah SWT telah berfirman, “Kalau kiranya Al-Qur’an bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. (QS. An-Nisa’: 82)”
Jelas kalau memang ajarannya itu benar kata Al-Qur’an tidak ada pertentangan di dalam-Nya.
10.  “Sayyidina Ali berkata, Abu Bakar bila membaca Al-Qur’an dengan suara lirih. Sedangkan Umar dengan suara keras. Dan Ammar dengan mencampur surah ini dan surah itu. Kemudian hal ini dilaporkan kepada Rasulullah sehingga beliau bertanya kepada Abu Bakar, Mengapa kamu membaca dengan suara lirih? Ia menjawab, “Allah mendengar walau suara lirih”. Lalu bertanya kepada Umar, “Mengapa membaca dengan suara keras?” Umar menjawab, “Aku mengusir setan dan menghilangkan kantuk”. Lalu bertanya kepada Ammar, “Mengapa kamu mencapur surah ini dan surah itu?” Ammar menjawab, “Apakah engkau pernah mendengarku mencampurnya dengan sesuatu yang bukan Al-Qur’an?” Beliau menjawab, “Tidak”. Beliau bersabda, “Semuanya baik”. Tidak selamanya yang belum diajarkan Nabi itu buruk. Cara Ammar inilah yang ditiru Tahlil Indonesia yang mencampur Ayat-ayat Al-Qur’an. (Imam Ahmad, 865)

11.  “Umar berkata, “Seorang laki-laki datang saat sholat berjama’ah didirikan, setelah sampai di shaf, laki-laki itu berkata,
اللهُ أَكْبَرُكَبِيْرًاوَالْحَمدُلِلّهِ كَثِيْرًاوَسُبْحَانَ اللهُ بُكْرَةً وَاَصِيْلًا
Setelah Nabi selesai sholat, beliau bertanya, “Siapa yang mengucapkan kalimat itu?” Laki-laki itu menjawab, “Saya ya Rasul”. Nabi menjawab, “Demi Allah, saya melihat pintu-
pintu langit terbuka menyambut kalimat itu”.
Ibnu Umar berkata, “Aku belum pernah meninggalkannya sejak mendengarnya”. (Shohih Muslim, (1357), At-Tirmidzi (3592), An-Nisa’i (884), Ahmad (2 / 14)
Kalau kita telusuri sebetulnya ada segudang bid’ah hasanah dalam bidang syari’at ini, cuma kenapa tidak mau kepada anjuran (wasiat Rasul) supaya mengikuti bid’ah para sahabat dan tabi’in. Rupanya identik dengan namanya “Salafi Yahudi”, kenapa dikatakan “Salafi Yahudi”, karena tokoh mereka seperti Dzul Khuwaisiroh dan Musailamah al-Kadzzab (nabi palsu) adalah antek-antek Yahudi, diteruskan oleh Ibnu Taimiyah dan Abdul Wahab (Wahabi). Itu pun bagian dari Mr. Hempher dan Abu Sa’ud yang juga seorang Yahudi. 

Yang lebih aneh lagi, kalau memperingati “Maulid Nabi Muhammad SAW”, dikatakan bid’ah sesat, tapi kalau memperingati sepekan “Haul al-Utsaimin dan Abdul Wahab sangat gairah sekali sampai-sampai tidak ada yang melebihi keduanya itu di dunia ini. Dan Muhammad SAW dianggap sudah jadi bangkai (sudah jadi tanah), “Lebih manfaat dari tongkatku ini, karena bisa dipakai untuk membunuh ular”, kata Salafi Yahudi. Itu sungguh dia telah sesat, suatu kesesatan yang nyata.
Jadi yang dimaksud surat Al-Maidah   

الْيَوْمَ اَكْمَلـْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيْنًا
adalah secara syar’i
Adapun amalan-amalan sunnah, asal tidak bertentangan dengan syari’at Islam tidak apa-apa karena sumbernya dari Al-Qur’an Hadis Yang perlu diperhatikan lagi ialah mengeluarkan zakat fitrah memakai beras, diqiyaskan pada gandum dan kurma. Rupiah diqiyaskan pada dirham dan dinar. Semua itu adalah BID'AH HASANAH yang tidak dapat kita hindari. Orang yang selalu mengatakan Bid'ah Sesat ternyata tanpa disadari mereka mengerjakannya. Semoga dapat disadari


DI ANTARA BID'AH HASANAH ADALAH :

  • MEMBACA TAHLIL

    Tahlil artinya pengucapan kalimat    لااله الاالله. Tahlilan, artinya: bersama-sama melakukan do’a bagi orang (keluarga, teman dsb) yang sudah meninggal dunia, semoga diterima amalnya dan diampuni dosanya oleh Allah SWT, yang sebelum do’a diucapkan beberapa kalimah thayyibah (kalimah-kalimah yang bagus, yang agung), berwujud hamdalah, shalawat, tasbih, beberapa ayat suci Al-Qur’an dan tidak ketinggalan Hailalah (tahlil), yang kemudian dominan menjadi nama dari kegiatan itu seluruhnya, menjadi tahlil atau tahlilan. 
    Tahlil atau tahlilan ini menjadi salah satu sasaran tembak oleh para “pembaharu”, kaum modernis untuk dihapus dari kegiatan kaum muslimin, karena dianggap keliru, bahkan sesat (na’udzu billah). 
    Dan siapa saja yang mau menelusuri budaya tahlil ini, niscaya akan mendapatkan bahwa tahlil memiliki sandaran yang kokoh dari Al-Qur’an, Al-Sunnah, serta pendapat-pendapat dari para ulama salaf yang shalih. Tidak satupun dari butir-butir upacara tahlil itu bertentangan dengan ajaran agama Islam. Untuk membuktikan hal tersebut, berikut ini akan dipaparkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits.
    Bersumber dari Hadits yang shahih:
    Artinya: “Dari Abi Hurairah RA ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah berkumpul suatu kaum di dalam salah satu rumah Allah SWT, sambil membaca Al-Qur’an bersama-sama, kecuali Allah SWT akan menurunkan kepada mereka ketenangan hati, meliputi mereka dengan rahmat, di kelilingi para malaikat, dan Allah SWT memujinya di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya”. (Sunan Ibnu Majah, [221])
    Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abi Sa’id Al-Khudri, Rasulullah SAW bersabda:
    Artinya : “Dari Abi Sa’id Al-Khudri ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Dan tidaklah berkumpul suatu kaum sambil menyebut asma Allah SWT kecuali mereka akan dikelilingi para malaikat, Allah SWT akan melimpahkan rahmat kepada mereka, memberikan ketenangan hati, dan memujinya di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya” (Shahih Muslim, [4868]).
    Mengenai keutamaan لااله الاالله ini suatu hadits khusus yang diriwayatkan dari Jabir ra. bahwa telah bersabda Rasulullah saw.
    Artinya: “Seutama-utama dzikir adalah La ilaaha illallah. Dan seutama-utama doa adalah alhamdulillah.” (HR. At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim). 
    Dan diriwayatkan dari Sayyidina Ali kw. bahwa bersabda Rasulullah saw. mengenai hadits Qudsy: berfirman Allah swt.
    Artinya: “Lailaha illallah itu perkataanku. Dan Akulah Dia. Barangsiapa mengucapkannya, masuklah ia ke dalam bentengku. Dan barangsiapa yang masuk ke dalam bentengku, amanlah ia dari siksaku.” (Dikeluarkan oleh As-Syairozi).

    Tuhan berfirman:
    Artinya: “Barangsiapa yang tidak mau mengingat Aku dia akan mendapat kehidupan yang sulit dan di akhirat akan dikumpulkan sebagai orang buta”.  (Thaha: 124).
    Nah, ayat ini mengecam kepada orang yang tidak mau dzikir kepada Tuhan maka ia akan diberi kehidupan yang “dhanka” (kehidupan gelisah), dan di akhirat sebagai orang buta, tidak tahu jalan yang akan ditempuh.
    Maka heranlah kita kenapakah ada golongan dalam Islam yang tidak menyukai dzikir ini dan yang menganggap remeh pada hal ayat Tuhan bertubi-tubi menggerakkan ummat supaya dzikir. Apakah mereka tidak membaca ayat-ayat ini? Tidak mungkin pula.
    Mungkin mereka dipengaruhi aksi “modernisasi” yaitu sebuah penyakit yang berjangkit juga dalam kalangan ummat Islam di mana-mana. 
    Yang berpendapat bahwa hadiah pahala itu tidak sampai kepada orang yang telah meninggal dunia adalah ahli bid’ah dan kaum mu’tazilah. Sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Al-Qayyim:
    Artinya: “Para ahli bid’ah dari kalangan Ahli Kalam berpendapat bahwa menghadiahkan pahala baik berupa do’a atau lainnya sama sekali tidak sampai kepada orang yang telah meninggal dunia”.  (Al-Ruh: 117).

    Membaca Al-Qur’an atas orang-orang yang telah meninggal
    Imam Syafi’i RA sendiri berpendapat sunnah membaca Al-Qur’an di dekat mayit. Imam Syafi’i RA. berkata:
    Artinya: “Disunnahkan membaca sebagian ayat Al-Qur’an di dekat mayit, dan lebih baik lagi jika mereka (pelayat) membaca Al-Qur’an sampai khatam.” (Dalil Al-Falihin, juz VI, hal. 103).
    Dan banyak riwayat yang menyatakan bahwa Imam Syafi’i RA berziarah ke makam Laits bin Sa’ad dan membaca Al-Qur’an di makam tersebut.

    Artinya: “Sudah populer diketahui oleh banyak orang bahwa Imam Syafi’i pernah berziarah ke makam Laits bin Sa’ad. Beliau memujinya, dan membaca Al-Qur’an sekali khatam di dekat makamnya. Lalu beliau berkata, “Saya berharap semoga hal ini terus berlanjut dan senantiasa dilakukan”. (Al-Dakhirah Al-Tsaminah, 64).
    Tersebut dalam hadits Muslim begini:
    Artinya: “Dari Mi’qal bin Yasar, berkata Nabi Muhammad SAW, bacakanlah untuk orang yang mati surat Yasin”. (HR. Abu Daud, lihat Sunan Abu Daud juz III, hal. 91).
    Dalam hadits ini dinyatakan bahwa orang yang telah mati baik sekali dibacakan surat Yasin, yang faedah (pahala) membacanya itu dihadiahkan kepada orang telah mati itu.
    Arti “mautakum” dalam hadits ini adalah orang yang telah mati dengan bukti bahwa Imam Abu Daud memberi judul hadits ini dengan “Babul Qiraati ‘indal maiyati” artinya “Bab membaca ayat di hadapan orang mati”.
    Tuhan berfirman dalam Al-Qur’anul Karim begini:
    Artinya: “Dan orang-orang yang beriman dan diikuti oleh anak cucu mereka tentang iman itu, Kami – kata Tuhan – akan menghubungkan anak cucu mereka dengan tidak mengurangkan sedikitpun dari amal mereka.” (At-Thur: 21).
    Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa memasuki pemakaman lalu membaca Surat Al-Fatihah, Al-Ikhlash, dan At-Takatsur, lalu berdo’a, “Aku hadiahkan pahala bacaan yang aku baca dari firman-Mu untuk semua ahli kubur dari kalangan mukminin dan mukminat”, maka semua ahli kubur itu akan memberikan syafa’at (pertolongan) kepada orang yang membaca surat tersebut” (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Al-Qasim Al-Zaila’i, Haula Khashaish Al-Qur’an, 45).
    Hadits riwayat Ma’qil bin Yasar RA.
    Artinya: “Diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Surat Yasin adalah intisari Al-Qur’an. Tidaklah seseorang membacanya dengan mengharap rahmat Allah SWT kecuali Allah SWT akan mengampuni dosa-dosanya. Maka bacalah Surat Yasin atas orang-orang yang telah meninggal di antara kamu sekalian” (Musnad Ahmad bin Hanbal, [19415]).
     
    Hadits di atas secara tegas menganjurkan membaca Al-Qur’an untuk orang yang telah meninggal dunia, karena yang dimaksud mautakum dalam hadits tersebut adalah orang-orang yang telah diambil ruhnya. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Haula Khashaish Al-Qur’an.


    Artinya: “Syekh Muhibbuddin Al-Thabari mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata mautakum dalam hadits tersebut adalah orang yang ruhnya telah berpisah dari jasadnya.

    Hadits Abu Dzar RA.


    Artinya: “Dari Abu Dzarr RA, ada beberapa sahabat berkata kepada Nabi SAW, “Ya Rasulullah, orang-orang yang kaya bisa (beruntung) mendapatkan banyak pahala. (Padahal) mereka shalat seperti kami shalat. Mereka berpuasa seperti kami berpuasa. Mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka. Nabi SAW menjawab, “Bukankah Allah SWT telah menyediakan untukmu sesuatu yang dapat kamu sedekahkan? Sesungguhnya setiap satu tasbih (yang kamu baca) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap tahlil adalah sedekah”. (Shahih Muslim, [1674])

    KEUTAMAAN BERKUMPUL UNTUK BERDZIKIR KEPADA ALLAH

    Sebagaimana berdzikir yang boleh dilakukan secara sendiri dan dalam keadaan sepi, berdzikir juga boleh dilakukan secara bersama dan terbuka. Bahkan inilah yang lebih utama dan lebih agung.

     

    "Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah  memiliki malaikat utama yang berkeliling mencari majelis-majelis dzikir di bumi. Jika mereka mendatangi majelis dzikir, maka sebagian mereka mengepakkan sayap-sayap mereka ke langit. Allah bertanya: "Dari mana kalian?" Dan Allah Maha Mengetahui. Malaikat menjawab: "Kami dari hamba-hamba-Mu yang mensucikan-Mu, mengagungkan-Mu, memuji-Mu, bertahlil kepada-Mu, meminta kepada-Mu dan mencari keselamatan dari-Mu". Lalu Allah berfirman bertanya lagi: "Apa yang mereka minta?" Dan Allah Maha Mengetahui, malaikat menjawab: Wahai Tuhan kami, mereka meminta surga". Allah bertanya: "Apakah mereka melihat surga?" Malaikat menjawab: "Tidak, wahai Tuhanku", Allah berfirman: "Bagaimana kalau mereka melihatnya?" Lalu Allah berfirman: "Mereka minta keselamatan dari apa?" Dan Allah Maha Mengetahui. Malaikat menjawab: "Dari neraka", Allah berfirman: "Apakah mereka melihat mereka?" Malaikat menjawab: "Tidak". Allah berfirman: "Bagaimana kalau mereka melihatnya?" Allah berfirman: "Saksikanlah bahwa Aku mengampuni mereka, Aku memberikan permintaan mereka dan Aku kabulkan permintaan keselamatan mereka", Malaikat berkata: "Wahai Tuhanku, di sana ada seorang hamba yang banyak berbuat salah dan dia bukan kelompok mereka". Allah berfirman: "Aku ampuni dia, mereka adalah kaum yang tak terpengaruh keburukan orang lain". (HR. Muslim dan Hakim, redaksi hadits ini adalah dari riwayat Al-Hakim).

    (HR. Muslim Nomor 7015 dan Hakim Nomor 1821, ia berkata hadits ini shahih dari jalur Muslim)

     Ternyata bacaan Al-Qur'an dan tahlil atau bentuk hadiah pahala haji, shodaqoh semuanya sampai pada si mayit, jangankan bacaan Al-Qur'an dan Tahlil, pelepah kurma saja ditancapkan bisa meringankan pada si mayit. Lihatlah Shahihul Bukhari (209). 

    Lalu alasan apalagi masih mau mengatakan bid'ah?. Tuhan berfirman: "Dan tidak pantas bagi orang mukmin laki-laki dan perempuan apabila sudah diputus suatu hukum oleh Allah dan Rasul-Nya akan memilih yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa durhaka kepada Allah dan RasulNya maka sesatlah dia suatu kesesatan yang nyata" (QS. Al-Ahzab" 36).

    والله أعلم بالصواب

Tidak ada komentar:

Posting Komentar